Kenikmatan Didalam Keluarga Besarku 9 - 13



Entah kenapa aku tertarik untuk mendahulukan Mbak Rina yang kemaluannya berjembut dan kulitnya lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya.


Maka kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku, aku pun memegang pergelangan tangan Mbak Rina sambil berkata, “Yang paling senior dulu ya. Tapi tentu harus ada foreplay dulu Mbak.”


“Terserah kamu mau pilih siapa,” sahut Mbak Rina, “Tapi apakah kamu bisa dalam semalam mengambil keperawanan kami?”


“Bagaimana nanti aja,” ucapku, “Kalau tidak bisa malam ini, Mbak Lidya kan bisa besok ya?”


“Iya,” sahut Mbak Lidya, “Kami udah bayar hotel ini untuk empat hari kok.”


“Pada banyak duit ya. Sampai cek in di hotel bintang lima untuk selama empat hari.”


“Kami kan udah kerja. Kalau perlu sampai seminggu kami di sini, karena izinnya juga untuk seminggu. Iya kan Mbak?” tanya Mbak Lidya kepada Mbak Rina.


“Iya. Santai aja. Kalau perlu, nginep sebulan juga gakpapa,” sahut Mbak Rina sambil tersenyum.


“Kalau sebulan sih bisa dipecat kita Mbak. Izinnya kan cuma seminggu.”


Aku cuma tersenyum mendengar percakapan kedua kakakku itu. Sementara lenganku sudah melingkar di pinggang Mbak Rina.


Sebenarnya waktu masih kecil kami suka mandi bareng. Tapi saat itu aku tak pernah memperhatikan tubuh telanjang mereka. Lalu setelah aku di SMP, Mama melarang kami mandi bareng lagi. Dan sejak saat itulah aku tak pernah melihat mereka dalam keadaan telanjang lagi.


Dan kini, setelah kami sama - sama dewasa, baru melingkarkan lengan di pinggang Mbak Rina saja… sudah ada getaran - getaran syur di dalam batinku.


Terlebih setelah aku meraih pergelangan tangan Mbak Rina dan sama - sama naik ke atas bed hotel yang cukup besar itu, diam - diam pnisku mulai ngaceng di balik celana dalam yang belum kutanggalkan.


Ketika aku sudah menghimpit Mbak Rina, kulihat sepasang matanya menatapku dengan sorot pasrah. “Kamu nafsu lihat aku telanjang gini?”


“Kalau gak nafsu dari tadi juga aku sudah minggat Mbak,” sahutku.


“Buka dong celana dalammu. Pengen liat pnismu, udah ngaceng apa belum?”


Aku pun menggulingkan badan ke samping Mbak Rina. Lalu kulepaskan celana dalamku, “Dari tadi juga udah ngaceng Mbak. Tuh liat …“


“Wow! Sekarang jadi gede dan panjang banget Bon. Waktu kita masih sering mandi bareng, pnismu masih kecil… !” seru Mbak Rina sambil duduk dan memegang pnisku yang memang sudah ngaceng ini.


“Dulu kan masih anak - anak Mbak. Kayak vgina Mbak aja, dulu kan gak ada jembutnya,” sahutku sambil duduk juga sambil mengusap - usap vgina Mbak Rina yang berjembut tapi pendek - pendek dan rapi itu.


“vginaku gak ono jembute lho, “sela Mbak Lidya sambil mengusap - usap vginanya.


“Hihihiii… dicukur apa diwaxing tuh?” tanyaku kepada Mbak Lidya.


“Gak diapa - apain,” sahut Mbak Lidya sambil mendelik.


Aku cuma tersenyum. Lalu mendorong kedua toket Mbak Rina agar menelentang lagi. Aku menoleh ke arah Mbak Lidya sambil mencolek vgina gundulnya “Jangan ganggu ya. Nanti setelah Mbak Rina selesai kan giliran Mbak Lidya juga,” kataku.


“Iya… aku cuma mau nonton aja,” ucap Mbak Lidya sambil merebahkan diri, celentang di samping Mbak Rina. Aku menyempatkan diri menciumi vgina Mbak Lidya, kemudian tengkurap di atas perut si item manis berambut panjang (Mbak Rina).


“Foreplay itu perlu, supaya vgina Mbak siap untuk dipenetrasi,” ucapku sambil mempermainkan pentil toket Mbak Rina.


“Iya… lakukanlah apa pun yang menurutmu paling baik.”


“Tapi yang paling enak kalau Mbak nyiapin pil anti hamil. Supaya enak, aku bisa ejakulasi di dalam vgina Mbak.”


“Sudah disiapin Bon. Aku dan Lidya sudah lama mempunyai rencana ini, tapi baru sekarang terlaksananya.”


Aku tersenyum. Lalu merayapkan mulutku dari pipi ke bibir Mbak Rina.


Mbak Rina pun memagut bibirku. Lalu melumatnya sambil memejamkan matanya. Ini membuatku semakin bergairah. Dan berusaha menganggap bahwa Mbak Rina itu bukan kakakku, melainkan seorang cewek yang baru kukenal dan siap untuk kuambil keperawanannya. Maka setelah melepaskan lumatan Mbak Rina, mulutku berpindah ke pentil toket kirinya.


Suhu badan Mbak Rina terasa menghangat. Pertanda bahwa dia sudah mulai horny.


Aku pun tak mau buang - buang waktu lagi. Aku melorot turun, sehingga wajahku berhadapan dengan vgina Mbak Rina yang berjembut pendek - pendek dan rapi itu.


Bentuk vgina kakakku yang item manis itu tampak jelas, karena jembutnya seolah cuma hiasan belaka. Tak ragu pula aku mendorong sepasang paha Mbak Rina agar merenggang jaraknya, lalu mengangakan mulut vginanya. Hmmm… bagian dalam vgina kakakku yang item manis itu tampak jelas berwarna pink. Dan bagian yang berwarna pink itulah yang menjadi sasaran awal lidahku.


Kujilati bagian dalam vgina kakakku itu, dengan tekad harus membuat liang vginanya sebasah mungkin, agar mudah diterobos oleh pnisku nanti. Karena itu sambil menjilati bagian yang berwarna pink itu, aku pun berusaha untuk mengalirkan air liurku ke dalamnya.


Aku pun berusaha mencari itilnya. Dan setelah menemukan bagian seupil yang cuma sebesar kacang kedelai itu, aku pun mulai mengintensifkan jilatanku ke situ. Bahkan ketika aku sedang menjilati itilnya ini, kusertai dengan isapan - isapan kuat. Sehingga Mbak Rina mulai terkejang - kejang sambil meremas - remas kain seprai, diiringi oleh desahan dan rintihan perlahannya, “Aaaaaah …


Aku tahu bahwa vgina Mbak Rina sudah basah kuyup oleh air liurku. Namun aku masih terus - terusan menjilati itilnya. Tujuanku adalah ingin agar Mbak Rina orgasme dalam permainan oralku. Karena kalau sudah orgasme, liang vginanya akan mengembang. Pada saat itu pula aku akan membenamkan pnisku ke dalam liang vgina yang sudah “mekar” itu.


Dan… detik - detik yang ditunggu itu pun datang. Mbak Rina menggeliat dan mengelojot. Lalu menjang tegang sekujur tubuhnya. vginanya pun terasa bergerak - gerak sedikit. Berarti dia sudah orgasme…!


Lalu dengan sigap kuletakkan moncong pnisku di mulut vgina Mbak Rina.


Mbak Lidya pun tampak serius memperhatikan semua ini. Sehingga aku ingin iseng juga, untuk menjawil toketnya yang menggantung ke bawah, karena dia setengah tengkurap untuk memperhatikan semua ini.


Setelah merasa moncong pnisku berada di arah yang ngepas, kudorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… blesssss… pnis ngacengku membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tehnaga. Blessss… melesak lagi sampai hampir separohnya.


“Udah masuk ya? “Mbak Rina menatapku dengan sorot pasrah.


“Sudah,” sahutku, “Sakit nggak?”


“Nggak. Cuma ada kayak disuntik… tadi… sekarang mah gak lagi…”


Sambil mulai mengayun pnisku perlahan - lahan, kubisiki telinga Mbak Rina, ““Mbak sudah jadi milikku sekarang…”


Dia menyahut terengah, “Bi.. biarin aja… dimiliki oleh adikku sendiri… gakpapa… ooo… ooooh… Booon… ini mulai enak lagiiiii…”


“Sekarang kita mulai bersetubuh Mbak… enak kan?” ucapku sambil agak mempercepat entotanku.


“Eeee… enak sekali Booon… ooooh… ini luar biasa enaknya Booon…”


Sebagai jawaban, kupercepat entotanku sampai kecepatan normal. Memang liang vgina Mbak Rina masih sangat sempit. Sehingga agar entotanku berada di dalam kecepatan standar, lumayan banyak energi yang harus kukerahkan.


Namun aku bukan hanya mengentot liang vgina sempit Mbak Rina. Aku pun mulai menjilati lehernya yang sudah keringatan, sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanannya.


Desahan dan rintihan Mbak Rina pun mulai tak terkendalikan lagi, “Boooon… oooooohhhhh… ini luar biasa enaknya Booon… entot terus Booon… entooot teruuuussss… entoooot… entoooottttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… ooooh… pnismu enak sekali Boon… entoootttt… entoooootttt…


Pada saat itu pula Mbak Lidya jadi duduk bersila, sambil memperhatikan peristiwa yang sedang terjadi antara aku dan Mbak Rina. Mbak Lidya memperhatikannya dengan serius, sambil mempermainkan pentil toketnya.


Terdorong oleh perasaan kasihan kepada kakak langsungku (tidak terhalang oleh kakak lain), aku pun menyempatkan diri menjulurkan tanganku ke arah vgina Mbak Lidya… lalu kuelus - elus vgina yang bersih dari jembut itu. Aku seolah berkata, sabarlah… nanti tiba giliran vginamu yang akan kuentot…





Demi Mbak Lidya yang tampak sudah gak sabaran menunggu, kuintensifkan entotanku di dalam liang vgina Mbak Rina yang super sempit tapi sudah licin ini.


Mbak Rina pun semakin menggeliat - geliat sambil merintih - rintih histeris. Terlebih setelah aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, sambil meremas - remas toket kanannya… semakin menggila pula rintihan dan desahan nafas Mbak Rina sibuatnya, “Aaaaa… aaaaah… Boooon… ini luar biasa enaknya Booon…


aaaaaaah… aaaaaah… entot terus Booon… entot teruuuussss… makin lama makin enak Booon… serasa sedang melayang - layang di langit… aaaaah… aaaa… aaaaahhhh… entot teruis Booon… entot terussss… entoooootttt… entooootttt… ooooooohhhh… enaaaak…


Di tengah riuhnya raungan - raungan histeris Mbak Rina, diam - diam aku menyelidik. Ya… aku akan berusaha bertahan, meski nanti Mbak Rina mencapai orgasmenya, aku tak mau ngecrot cepat - cepat. Karena masih ada Mbak Lidya yang belum kuapa - apain.


Maka aku pun mengentot Mbak Rina sambil mengatur nafas dan jalan pikiranku. Manakala aku mearasa terlalu enak dan bisa melesat ke arah puncak kenikmatanku, cepat kupelankan entotanku. Pelan sekali. Dan setelah pernafasanku teratur kembali, barulah aku mempercepat kembali entotanku.


Akhirnya Mbak Rina berkelojotan, dengan tubuh sudah bermandikan keringat.


Lalu ia memejamkan mata sambil menahan nafasnya, dengan tubuh mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.


Pada saat itulah kubenamkan pnisku sedalam mungkin, sampai moncongnya menyundul dan mendorong dasar liang vgina Mbak Rina.


Lalu… Mbak Rina mengelojot, dengan nafas terhembus kembali… dengan liang vgina berkedut - kedut erotis. Lalu ia terkapar dan terkulai lunglai, sementara pnisku terasa seperti berada di liang yang basah dan hangat.


Kudiamkan pnisku sejenak. Kemudian perlahan - lahan kutarik dari liang vgina Mbak Rina. Kemudian menoleh ke arah Mbak Lidya yang sedang menatapku juga. Dengan sorot nafsu seorang cewek di kala horny.


Sebelum pindah ke atas perut Mbak Lidya, masih sempat kulihat genangan darah di bawah kemaluan Mbak Rina. Darah perawan kakakku yang item manis itu.


“Sama Mbak Rina udahan?” tanya Mbak Lidya ketika aku sudah tengkurap di atas perutnya.


“Iya… dia sudah orgasme,” kataku sambil melirik ke arah Mbak Rina yang tampak seperti terlena tidur, “Mbak udah horny sejak tadi ya?”


“Iya… udah gak sabaran, pengen ngerasain enaknya dientot sama pnismu,” sahut Mbak Lidya sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kemudian mencium dan melumat bibirku dengan penuh kehangatan.


“Dahulu kita cuma bisa cipika - cipiki ya,” ucap Mbak Lidya setengah berbisik, “Sekarang bisa ciuman bibir dengan bibir.”


“Iya. Bahkan sebentar lagi bibirku dengan bibir vgina Mbak juga bakal berciuman.”


“Iya Bon. Aku pengen sekali merasakan enaknya vgina dijilatin.”


“Memangnya Mbak belum pernah merasakannya sama sekali?”


“Ya belum lah. Kalau sudah dijilatin vgina segala, pasti ujung - ujungnya ke entotan. Makanya aku masih perawan sampai detik ini juga. Tapi kalau sama adek sendiri, aku rela menyerahkan keperawananku.”


“Gak punya niat mempertahankannya sampai kawin kelak?”


“Alaaah… Mbak Weni juga gak mempertahankan keperawanannya di masa masih gadis. Sekarang malah hidup senang, karena suaminya tajir walau pun usianya udah tua.”


Aku cuma tersenyum, sambil memainkan pentil toket Mbak Lidya.


Lalu berkata, “Siap - siap Mbak… aku mau jilatin vgina Mbak. Biar pnisku lebih mudah dimasukkannya ke dalam liang vgina Mbak.”


“Iya. Jilatin deh sepuasmu. Pokoknya saat ini semua terserah kamu, karena kamu yang sudah pengalaman dalam soal sex,” sahut Mbak Lidya.


Aku pun melorot turun. Sehingga wajahku langsung berhadapan dengan vgina Mbak Lidya.


Kutepuk - tepuk vgina yang agak tembem dan tanpa jembut sehelai pun itu. Lalu kuciumi vgina itu, sekaligus ingin membuktikan apakah ada aroma yang kurang sedap atau tidak. Kalau ada aroma yang kurang sedap, akan kusuruh cebok dulu sebersih mungkin, agar nyaman menjilatinya.


Tapi ternyata aroma vgina Mbak Lidya sangat natural. Tidak ada aroma yang kurang sedap dari vgina plontosnya itu. Maka kudorong sepasang paha putih mulusnya, agar jaraknya serenggang mungkin. Kemudian dengan kedua tanganku pula kungangakan mulut vginanya selebar mungkin, sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar.


Lalu dengan penuh gairah ujung lidahku mulai “menari” di permukaan yang lembut, hangat, agak basah dan berwarna pink itu…!


Mbak Lidya agak tersentak. Tapi lalu diam saja ketika aku mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahap sekali. Mulutku seolah terbenam di permukaan vgina Mbak Lidya, sementara desahan - desahan erotisnya pun mulai terdengar, “Aaaa… aaaaah… Booon… aaaaa… aaaaaahhhhh… aaaaa…


Seperti yang kulakukan kepada Mbak Rina tadi, kali ini pun sama. Sambil menjilati bagian dalam mulut vgina Mbak Lidya ini, kualirkan air liurku sebanyak mungkin ke dalamnya. Kemudian kufokuskan untuk menjilati itilnya yang tampak mengkilap sebesar kacang kedelai itu.


Semakin menggeliat - geliat pula Mbak Lidya dibuatnya. Bahkan kedua tangannya meremas - remas rambutku sambil merintih - rintih histeris, ”Ini lebih enak lagi Booon… ooooo… oooooohhhhh… enak sekali Booon… enak sekaliii… oooooohhhhh… jilatin terus itilnya Boooon… itilnyaaaa… itiiiiilllll …


Dengan penuh semangat kujilati terus itilnya, terkadang disertai isapan - isapan kuat. Sehingga itil Mbak Lidya jadi kelihatan lebih menonjol, jadi agak “mancung”. Sementara air liurku pun semakin banyak kualirkan ke dalam celah vginanya.


Kali ini aku tak mau menunggu sampai Mbak Lidya orgasme. Karena aku pun tak kuat menahan nafsu lagi, ingin segera melakukan penetrasi.


Maka kujauhkan mulutku dari vgina Mbak Lidya. Kemudian kuletakkan moncong pnisku tepat di bagian yang berwarna pink itu.


Aku masih sempat melirik ke arah Mbak Rina yang tampak masih tepar. Seperti ketiduran sambil membelakangi kami.


Lalu… kudorong pnisku sekuat tenaga. Uuuuuggggggghhhhhh…!


Kepala pnisku mulai masuk dengan sulitnya. Kudorong lagi, dengan mengerahkan segenap tenagaku. Berhasil…! pnisku mulai membenam sampai lehernya. Kudorong lagi sekuat tenaga… uuuughhhhh…! Masuk lagi sampai separohnya…!


“Sudah masuk ya? “tanya Mbak Lidya dengan tatapan pasrah.


“Sudah,” sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya, “Sekarang Mbak sudah mulai jadi milikku.”


“Milikilah sepuasmu Bona Sayaaaang…” sahut Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.


Dengan hati - hati aku mulai menggerakkan pnisku, maju mundur perlahan. Dan berusaha agar jangan sampai terlepas, karena takut sulit membenamkannya lagi.


Mbak Lidya belum orgasme. Sehingga liang vginanya terasa lebih sempit daripada vgina Mbak Rina tadi.


Namun makin lama liang vgina Mbak Lidya makin menyesuaikan diri dengan ukuran pnisku. Sehingga aku makin lancar mengentotnya, sambil menyedot - nyedot pentil toketnya.


Sambil mengusap - usap rambutku, Mbak Lidya pun mulai merintih - rintih histeris, “Oooo… oooo… ooooohhhh… Boooon… rasanya seperti melayang - layang gini Booon… lu… luar biasa enaknya Booon… pnismu enak sekali Booon… begini rasanya dientot yaaaaa… oooooh… Booonaaaa…


Aku pun mulai melengkapi entotanku dengan jilatan - jilatan di leher Mbak Lidya yang sudah mulai keringatan. Sementara pnisku mulai bermaju - mundur dalam kecepatan normal.


Semakin menggila jugalah rintihan - rintihan histeris Mbak Lidya dibuatnya. “Booon… kamu benar - benar mampu membuatku nik… nikmaaaat… ooooh… Booonaaaaa… ini luar biasa nikmatnya Booon… entot teruuuussss… entoooootttttttt…”


Sementara itu kulihat Mbak Rina sudah duduk bersila di samping Mbak Lidya, sambil tersenyum - senyum padaku. Mungkin dia terbangun karena mendengar rintihan - rintihan Mbak Lidya yang terlalu keras.


Lalu Mbak Rina menepuk pantatku sambil berkata, “Kalau bisa, setelah dengan Lidya nanti entot aku lagi ya Bon.”


“Iiii… iya Mbaaak…” sahutku dengan gerakan pnis yang semakin lancar mengentot liang vgina Mbak Lidya…





Permintaan Mbak Rina bahwa ia ingin kusetubuhi lagi setelah persetubuhanku dengan Mbak Lidya ini selesai, adalah permintaan yang harus kukabulkan. Dan itu berarti bahwa aku harus berusaha sekuat tenaga agar jangan ngecrot di dalam vgina Mbak Lidya.


Tapi vgina Mbak Lidya ini… sangat aduhai… terlalu enak buatku. Bahkan mungkin vgina Mbak Lidya ini menempati peringkat pertama di antara perempuan - perempuan yang pernah kuentot…! Liang vgina Mbak Lidya ini paling enak di antara vgina - vgina yang pernah kuentot…!


Ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot Mbak Lidya, aku tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme beberapa saatg sebelumnya. Seharusnya cepat kucabut pnisku dari vgina Mbak Lidya, lalu pindah ke vgina Mbak Rina.


Tapi aku sudah telanjur menghayati betapa nikmatnya liang vgina Mbak Lidya ini. Sehingga pnisku tetap gencar mengentot vgina Mbak Lidya yang aduhai ini. Dan pura - pura tidak tahu bahwa Mbak Lidya sudah orgasme.


Justru setelagh orgasme, liang vgina Mbak Lidya jadi semakin enak rasanya. Masih tetap sempit, tapi jadi licin dan hangat. Sementara Mbak Lidya pun tampak seperti kerasukan, mungkin saking enjoy merasakan nikmatnya entotan pnisku.


“Entot terussss Booon… makin lama makin enak rasanyaaaa… entottt yang lebih kencang Boon… iyaaaa… iyaaaa… gila… luar biasa enaknya Booon… entooottttt… entooooootttt… entoooooootttttt… aaaaaaaa… aaaaah… enaaaak Booon… pnismu memang luar biasa enaknyaaaa…


Aku tak sekadar memainkan pnisku yang bermaju mundur terus di dalam liang vgina Mbak Lidya. Bibir dan lidahku pun ikut beraksi. Terkadang mencium dan melumat bibir Mbak Lidya, terkadang menjilati lehernya yang sudah dibasahi keringat, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.


“Sekalian cupangin leherku Booon… ini nikmat sekali… nikmaaat… “erang Mbak Lidya sambil mendekap pinggangku erat - erat.


Kuikuti saja permintaan kakakku itu. Kusedot - sedot lehernya sekuatku. Sehingga meninggalkan bekas merah kehitaman.


Takut kalau bekas cupanganku jadi masalah, karena besok Mbak Lidya akan menghadiri acara wisudaku, aku hanya berani meninggalkan bekas satu titik saja di leher Mbak Lidya. Kemudian aku mengalihkan aksi mulutku ke toket Mbak Lidya yang masih kencang padat ini. Di badan toket itulah aku mencupanginya.


Namun semua ini terlalu indah bagiku dan juga bagi Mbak Lidya.


Pada suatu saat Mbak Lidya berkelojotan lagi. Kemudian mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.


Pada saat itu pula aku tak bisa menahan diri lagi. Kugencarkan entotanku secepat mungkin, kemudian kutancapkan pnisku di dalam liang vgina Mbak Lidya, sampai menyundul dasar liang vgina aduhai itu.


Lalu kami seperti sedang kerasukan. Saling jambak, saling remas seolah - olah ingin menghancurkan tulang di balik daging dan kulit yang kami remas ini.


Sepasang mata indah Mbak Lidya terbeliak. Nafasnya tertahan. Lalu liang vginanya terasa mengedut - ngedut kencang… disusul dengan gerakan seperti spiral yang seolah tengah meremas pnisku yang sedang gawat juga ini.


Tak kuasa lagi aku menahannya. Moncong pnisku langsung menembak - nembakkan lendir kenikmatanku di dalam liang vgina Mbak Lidya… croooooooootttttttt… crootttttt… crooootttt… crotttcrootttt… crooootttt…!


Aku terkapar di atas perut Mbak Lidya. Lalu terkulai lunglai di puncak kepuasan birahi.


Mbak Lidya pun terkulai lunglai. Memejamkan sepasang mata indahnya, mungkin sedang meresapi nikmat yang baru saja dialaminya.


Meski lemas, kutarik pnisku dari liang vgina Mbak Lidya. Lagi - lagi kusaksikan genangan darah yang sudah mulai mengering di bawah vgina Mbak Lidya.


Dua orang perawan telah kurenggut kesuciannya. Atas kehendak mereka sendiri.


Aku pun turun dari bed menuju kamar mandi. Ternyata Mbak Rina mengikuti langkahku dan ikut masuk ke dalam kamar mandi.


“pnismu sudah lemas ya Bon,” ucap Mbak Rina sambil memegang pnisku yang masih berlepotan air mani bercampur dengan lendir libido Mbak Lidya.


“Iya Mbak,” sahutku dengan perasaan kasihan juga, karena mungkin dia pikir aku bisa langsung menyetubuhinya setelah selesai dengan Mbak Lidya barusan. Lalu kupeluk leher Mbak Rina sambil berkata, “Sabar ya Mbak. Nanti setelah ngaceng lagi, pasti Mbak yang bakal kuentot.”


“Barusan pnismu ejakulasi di dalam vgina Lidya?”


“Iya. Gak kuat lagi menahannya.”


Mbak Rina mencium bibirku, lalu berkata setengah berbisik, “Aku juga pengen ngerasain disemprot oleh air manimu Bon.”


“Iya Mbak.”


“Bagaimana nih caranya supaya pnismu bisa ngaceng lagi?”


“Kalau Mbak mau, oral aja pnisku.”


“Bukan gak mau, tapi belum tau caranya.”


“Sebentar Mbak… aku mau kencing dulu.”


“Aku pengen seperti di bokep yang pernah kutonton. Kencingin vginaku nih,” ucap Mbak Rina sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bokong, sekaligus mengangsurkan vginanya ke dekat pnisku.


Ah, ada - ada aja kakakku yang satu ini. Tapi tanpa membantah kulakukan juga apa yang diminta olehnya itu. Kuarahkan moncong pnisku ke vgina Mbak Rina. Lalu kupancarkan kencingku ke vgina berbulu tipis dan pendek - pendek itu.


“Hihihiiii… air kencingmu panas,” kata Mbak Rina sambil menepuk - nepuk vginanya yang sudah basah oleh air kencingku, “Kita sekalian mandi aja yuk. Biar bisa saling menyabuni seperti waktu masih anak - anak dahulu. ““


“Boleh. Biar aku bisa nyabunin vgina Mbak, sementara Mbak juga bisa nyabunin pnisku.”


Mbak Rina memegang pnisku yang masihlemas ini sambil berkata, “Waktu masih kecil aku sering nyabunin pnismu ini. Tapi pada saat itu pnismu hanya sebesar kelingking. Sekarang pnismu jadi segede pergelangan tanganku… hihihihiiii…”


“vgina Mbak juga waktu itu belum ada jembutnya. Sekarang kan jadi berjembut.”


“Kamu gak suka kalau aku membiarkan jembutku meski sudah dirapikan gini?”


“Aku sih yang berjembut suka, yang gundul juga suka. Sama aja. Punya kelebihan masing - masing,” sahutku sambil memutar keran shower air hangat.


Air pun memancar dari shower yang berada di atas kepala kami. Memang aku pun merasa perlu mandi, karena badanku penuh dengan keringat bekas “perjuangan” belah duren dua kali tadi.


Lalu kami pun melakukan hal yang sering kami lakukan di masa kecil, yaitu saling mnyabuni. Tapi dengan bentuk fisik dan perasaan yang jauh berbeda. Ketika Mbak Rina sedang menyabuniku, ketika sedang menyabuni pnisku ia berjongkok. Lalu belajar tentang bagaimana caranya felatio (mengoral pnis). Sehingga pnisku mulai membesar…


Ketika giliranku menyabuni sekujur tubuh Mbak Rina, maka setelah dibilas dengan air hangat shower, aku berjongkok di depannya, untuk menjilati vginanya yang sudah bersih dan harum sabun mandi.


“Duuuh Booon… aku jadi horny berat nih,” ucap Mbak Rina setelah cukup lama aku menjilati vgina dan itilnya.


“Di sana aja yuk…” ucapku sambil menunjuk ke meja washtafel yang bisa diduduki pinggirnya. Meja washtafel yang ditutupi granit coklat itu.


Mbak Rina langsung setuju saja. Ia melangkah duluan ke meja washtafel itu. Kemudian kuatur agar ia duduk di meja washtafel itu, dengan sepasang kaki mengangkang di pinggirannya.


Lalu dengan perjuangan yang lumayan berat, akhirnya aku berhasil membenamkan pnisku, sambil berdiri menghadap kakakku yang sedang duduk mengangkang di pinggiran meja washtafel itu.


Ketika aku mulai mengentotnya, Mbak Rina memegang sepasang bahuku. Sambil berdesah - desah lagi.


Tiba - tiba terdengar suara Mbak Lidya di belakangku, “Pantesan hilang… rupanya lagi begituan lagi di sini yaaa?”


Mbak Rina yang menyahut, “Kalau mau joint, mandi dulu sana Lid. Biar bersih dan segar badanmu.”


“Iya Mbak… badanku udah lengket - lengket sama keringat nih. Asyik juga dientot di dalam kamar mandi ya? Bikin aku jadi horny lagi neh… !”





Setelah Mbak Lidya selesai mandi, kami sepakat untuk melanjutkan semuanya ini di luar kamar mandi. Tepatnya di atas sebuah sofa putih.


Di situlah kami habis - habisan melakukannya. Melakukan persetubuhan threesome FFM, yang membuat keringat kami bercucuran kembali.


Namun kami sangat bergairah melakukannya, terutama diriku.


Ya, aku tak usah munafik, bahwa semuanya ini indah sekali. Sebagai pengalaman pertamaku berthreesome.


Nikmat sekali. Karena dengan seenaknya aku bisa mengentot Mbak Rina, lalu kupindahkan pnisku ke dalam liang vgina Mbak Lidya. Benamkan lagi ke dalam liang vgina Mbak Rina dan begitu seterusnya.


Lewat tengah malam barulah kami tertidur nyenyak.


Dan keesokan harinya aku bisa menghadiri wisudaku secara normal, meski badanku terasa lunglai.


Yang paling menyenangkan adalah, aku lulus dengan cumlaude. Membuat kedua kakakku ikut bangga.


Sepulangnya dari gedung yang digunakan untuk upacara wisuda itu, kutraktir kedua kakakku makan di sebuah restoran yang paling kusukai di Tugu Kidul.


Pada saat sedang makan itulah handphoneku berdering. Ketika kulihat di layar ponselku, ternyata Mbak Artini yang nelepon.


Agar leluasa, aku menerima call dari Mbak Artini itu di tempat yang sepi, agak jauh dari kedua kakakku. Lalu :


“Ya Mbak…”


“Maaf kalau mengganggu ya. Acara wisudanya udah selesai belum?”


“Sudah selesai Mbak. Ini lagi makan siang bersama kedua kakakku.”


“Aduh gimana ya… jadi kurang enak nyampaikannya.”


“Ada apa Mbak?”


“Barusan ada telepon dari Mbak Lies. Dia ingin Bona datang hari ini juga ke tempatnya. Karena dia sudah cukup lama menunggu. Jadi kalau serius, dia minta hari ini juga Bona datang ke rumahnya.”


“Diantar sama Mbak kan?”


“Tentu aja.”


“Pakai motor aja ya Mbak.”


“Memang sebaiknya pakai motor. Kalau pakai mobil, jalannya jadi mutar jauh.”


“Oke Mbak. Selesai makan siang, aku akan secepatnya pulang.”


“Terus kedua kakakmu gimana tuh?”


“Biarin aja. Mudah - mudahan mereka mengerti. Karena ini kan masalah pekerjaan yang menentukan masa depanku.”


“Ya syukurlah kalau gitu. Aku mau dandan dulu sambil menunggu Bona pulang.”


“Iya Mbak, silakan.”


Kemudian aku menghampiri kedua kakakku yang sudah selesai makan.


“Aku harus ke luar kota sekarang juga, “laporku.


“Lho ada urusan apa?” tanya Mbak Lidya.


“Urusan pekerjaan. Calon bossku minta ketemu hari ini juga.”


“Apa gak bisa besok lagi? Kamu kan masih capek gitu Bon,” kata Mbak Rina.


“Kalau hari ini aku tidak datang, aku bakal dicoret dari daftar pelamar. Calon bossku sudah menunggu sejak berbulan - bulan yang lalu. Dia akan menempatkanku di perusahaannya setelah diwisuda. Rupanya beliau gak sabar lagi, karena sudah lama menunggu, sejak aku belum bikin skripsi.”


“Ya udah,” kata Mbak Rina, “Karena menyangkut masa depanmu, dahulukan aja urusan kerjamu.”


“Terus kamu mau langsung tinggal di luar kota?” tanya Mbak Lidya.


“Belum tau Mbak. Siapa tau aku bakal ditempatkan di Jabar, bisa dekat nanti sama Mbak Rina dan Mbak Lidya.”


“Ya udah kalau gitu. Makanan ini biar aku yang bayar,” kata Mbak Rina.


“Sudah dibayar sama aku tadi Mbak. Mmm… Mbak Rina dan Mbak Lidya bisa pulang sendiri ke hotel kan?”


“Bisa dong. Kita kan lahir besar di Jogja. Masa gak hafal jalan di sini?”


Begitulah. Akhirnya aku berpisah dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.


Aku pulang ke rumah kos dengan taksi, sementara Mbak Rina dan Mbak Lidya entah mau terus ke mana. Mungkin juga mereka pulang ke hotel, untuk beristirahat setelah kugauli habis - habisan tadi malam.


Mbak Artini menyambutku dengan pelukan dan ciuman mesranya. “Selamat ya atas sudah diwisudanya kekasihku tersayang…” bisiknya.


“Terima kasih Mbak. Ternyata Mbak sudah dandan secantik ini…” sahutku sambil menepuk bokong Mbak Artini yang gede itu, yang selalu mengundang gairahku belakangan ini.


“Aku berdandan untukmu Sayang. Bukan untuk orang lain.”


“Tapi kalau aku ditempatkan di daerah yang jauh dari Jogja gimana? Kita bisa sulit berjumpa dong.”


“Tapi kan ada hari - hari liburnya. Biarin aku yang datang nanti, setelah ditentukan di mana tempat untuk ketemuannya. Ayo kita langsung berangkat aja. Biar hati Mbak Lies tenang.”


“Tanah kakak Mbak itu luas?”


“Bukan luas lagi. Di Jateng, Jabar dan Jatim juga ada. Almarhum suaminya kan tuan tanah.”


“Owh… jadi dia itu janda?”


“Iya. Sama seperti aku. Tapi nasibnya sangat baik. Menikah dengan duda tajir melintir yang sangat mencintainya, meski usianya sudah tua. Setelah suaminya meninggal, tanahnya yang di sana - sini itu jadi milik Mbak Lies.”


“Umur berapa Bu Lies itu?”


“Sepuluh tahun lebih tua dariku.”


“Kok jauh gitu ya beda kakak sama adik?”


“Dia kan kakak sulungku. Dari dia ke aku ada dua orang kakakku.”


“Dari Mbak ke bawah, ada adik?”


“Ada, cuma seorang. Sekarang tinggal di Kalimantan, dengan suaminya. Saudara - saudaraku perempuan semua Bon. Ohya… bawa sekalian pakaianmu Sayang. Siapa tau Mbak Lies nyuruh kamu langsung tinggal di tempatnya.”


“Iya Mbak. Kebetulan aku sjudah menyimpan beberapa stel pakaian dalam ranselku.”


Beberapa saat kemudian Mbak Artini yang mengenakan celana jeans dan baju kaus ditutupi oleh mantel tebal, sudah duduk di belakangku, di atas motor gede kesayanganku yang sudah kupacu menuju ke luar kota. Di atas boncengan motor gedeku ini, Mbak Artini selalu mendekap pinggangku erat - erat, seolah takut jatuh, seolah tak mau berpisah lagi denganku.


Dengan petunjuk dari Mbak Artini, kukemudikan motorku melewati jalan alternatif yang belum diaspal. Tapi menurut Mbak Artini, lewat jalan tikus itulah kami akan cepat sampai. Karena kalau melewati jalan aspal, memutarnya jauh sekali.


Lewat jalan alternatif itu pun, setelah melewati hutan belantara dan pesawahan, tiga jam kami baru tiba di depan rumah calon bossku itu.


Di depan rumah calon bossku itu aku tertegun. Gila, rumah ini di daerah pedesaan. Tapi megahnya luar biasa. Terdiri dari tiga lantai, dengan gaya minimalis.


Memang di zaman sekarang segala hal bisa menyebar sampai ke daerah terpencil sekali pun. Baik budaya, mode, mau pun segala hal yang sedang ngetrend di kota, bisa dengan cepat mengalir ke daerah pinggiran. Terbukti dengan gadis - gadis yang tinggal di kampung ini, kelihatan sudah mengikuti mode zaman now.


Dan rumah calon bossku itu, bukan sekadar besar dan megah, tapi modelnya pun sudah mengikuti perkembangan zaman now. Model minimalis yang tampak sangat kokoh. Dijaga oleh beberapa orang satpam pula.


Pada saat itu kebetulan pintu garasi sedang terbuka, sehingga aku bisa melihat beberapa mobil mahal tersimpan di dalam garasi itu. Bukan hanya satu mobil.


Mbak Artini langsung membawaku ke dalam rumah yang luar biasa megahnya itu.


Lalu memintaku untuk duduk menunggu di ruang tamu dengan furniture serba kekinian ini.


Tak lama kemudian, Mbak Artini muncul, bersama seorang wanita yang usianya kira - kira sebaya dengan Mama. Dan… maaaak… wanita itu tinggi montok… lebih montok daripada Mbak Artini…!


Tapi kuakui bahwa wanita itu berparas cantik, berkulit putih bersih pula. Sementara rambutnya… inilah salah satu tanda bahwa segala jenis model sudah merambah ke pelosok tanah air. Ya, rambut Bu Lies itu dicat jadi kecoklatan (brunette). Tapi beliau tampak pantas saja kelihatannya. Mungkin pada suatu saat aku pun akan menyuruh Mama agar mengecat rambutnya seperti Bu Lies ini.


Wanita itu menatapku dengan sorot tajam, seperti sedang menilai diriku. Tapi aku bersikap biasa - biasa saja. Aku berdiri sambil mengangguk sopan.


“Ini Mbak Lies yang sering kuceritakan itu Bon.”


Dengan agak gugup aku berkata, “Iya… perkenankan saya memperkenalkan diri… nama…”


Belum selesai aku bicara, calon bossku itu memotong, “Namamu Bona kan?”


“Hehe… betul Bu,” sahutku sambil menjabat tangan wanita montok semok itu.


“Jadi gimana wisudanya tadi? Tinggi nilainya?” tanya wanita bernama Lies itu sambil duduk di sofa.


“Alhamdulillah, saya lulus dengan cumlaude Bu,” sahutku.


“Syukurlah. Aku memang butuh insinyur pertanian yang cerdas. Bukan sekadar asal lulus,” ucap Bu Lies.


“Iya Bu.”


Lalu Bu Lies menjelaskan tentang arah agro bisnisnya secara panjang lebar. Dia bukan sekadar tuan tanah biasa, tapi juga bergerak di bidang agro bisnis. Dia menampung sayur - sayuran dan buah - buahan untuk dikirim ke Jakarta.


Tapi tugas utamaku adalah mengelola lahan yang tidak produktif, agar jadi lahan yang menghasilkan.


“Besok pagi deh kita survey lahan - lahan yang tidak produktif itu. Sekarang sudah hampir malam. Ohya… kamar paling depan itu bisa dijadikan kamarmu Bon,” kata Bu Lies.


“Tapi aku mau langsung pulang ke Jogja lagi sekarang Mbak,” ucap Mbak Artini menyela.


Bu Lies menoleh ke arah adiknya, “Minta anter aja sama Pak Karto tuh. Bona takkan bisa ngantger kamu pulang kan?”


“Iya, gakpapa. Minta anter sama Pak Karto aja,” sahut Mbak Artini.


“Kemaren aku transfer ke rekening tabunganmu. Udah diterima kan?”


“Sudah Mbak. Terima kasih ya mbakyuku yang cantik,” sahut Mbak Artini sambil mengecup pipi Bu Lies.


Kemudian Mbak Artini berdiri dan melangkah ke pintu depan. Kulihat di luar ia berbicara dengan seorang lelaki tua. Mungkin itu sopirnya Bu Lies yang bernama Karto itu.


Sesaat berikutnya Mbak Artini kembali ke ruang tamu dan berkata padaku, “Gak apa - apa kan ditinggal sendirian di sini? Aku mau pulang ke Jogja.”


“Iya Mbak. Silakan.”


Mbak Artini menghampiri Bu Lies sambil berkata, “Aku pulang dulu ya Mbak.”


“Iya. Terima kasih sudahnganterin Bona ke sini Ar.”


“Sama - sama Mbak,” sahut Mbak Artini yang lalu cipika - cipiki dengan Bu Lies.


“Jaga diri baik - baik ya Ar,” ucap Bu Lies sambil mengusap - usap rambut Mbak Artini.


Kemudian Mbak Artini melambaikan tangannya ke arahku, “Kalau lagi libur, main ke Jogja ya Bon.”


“Iya Mbak.”


Setelah Mbak Artini berlalu, diantarkan oleh mobil dan sopir Bu Lies, aku masih duduk di ruang tamu sambil menunggu Bu Lies yang masih berdiri di teras depan. Sebenarnya aku ingin mengantarkan Mbak Artini sampai di teras depan. Tapi aku takut kalau hubungan rahasiaku dengan Mbak Artini tercium oleh Bu Lies.


Tak lama kemudian Bu Lies masuk lagi ke ruang tamu sambil berkata, “Ini kamar yang bisa dijadikan kamarmu Bon. Coba ikut sini.”


Spontan aku berdiri sambil menjinjing ranselku, mengikuti Bu Lies yang sudah membuka pintu yang paling depan di rumah megah ini.


Ternyata kamar yang disediakan untukku besar sekali. Ada ruang kerja yang dibatasi oleh partisi kaca blur, ada kamar mandi tersendiri pula.


Yang membuatku agak heran, ada pintu lift segala. Untuk apa lift menuju kamar ini?


Sebelum aku bertanya, Bu Lies menjelaskan: “Nah inilah kamarmu Bon. Ada ruang kerjanya yang dilengkapi oleh komputer dan jaringan internet. Karena kita harus memantau kegiatan di lapangan, baik yang di Jateng, Jabar, Jatim dan juga kegiatan di Jakarta.”


“Iya Bu.”


“Ohya, itu ada pintu lift, langsung menuju kamarku di lantai tiga. Jadi kalau aku mau turun atau naik dan sedang malas pakai tangga, aku pakai lift itu. Nanti kalau kegiatanmu sudah banyak, kalau sekali - sekali ada sesuatu yang emergency, kamu boleh pakai lift itu dan langsung menuju kamarku. Kamu juga jangan kaget kalau tiba - tiba aku muncul di kamar ini.


“Siap Bu.”


“Masalah tugas - tugas dan gajimu, nanti aja kita bahas sambil makan malam ya.”


“Siap Bu.”


“Sekarang mandilah dulu. Peralatan mandi tersedia lengkap di kamar mandi itu. Nanti kalau sudah mandi, kutunggu di ruang makan ya Bon.”


“Iya Bu. Memang badan saya penuh debu bekas di perjalanan menuju ke sini tadi. Jadi perlu mandi dulu. Hehehee…”


“Mandilah. Selesai mandi ditunggu di ruang makan ya Bon.”


“Siap Bu.”


Bu Lies keluar dari kamar yang sudah menjadi kamarku ini. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.


Aku memang lupa membawa peralatan mandi, handuk pun tidak bawa. Tapi untunglah semua peralatan mandi tersedia di kamar mandi, semuanya masih baru. Handuk, sabun cair, shampoo, odol dan sikat gigi masih baru semua.


Aku pun buru - buru mandi sebersih mungkin.


Setelah mandi dan mengganti pakaianku dengan pakaian bersih yang kubekal dari rumah kos, aku pun keluar dari kamar. Agak celingukan, karena banyak lorong, sehingga aku tidak tahu harus ke mana untuk menuju ruang makan.


Untung ada pembantu menghampiriku. Langsung kutanya, “Ruang makan di sebelah mana Mbak?”


“Oh… ke sebelah sana Den,” sahutnya sambikl menunjuk ke arah lorong yang di paling kanan.


Aku pun melangkah ke lorong yang ditunjukkan itu.


Sampai mentok di ruang makan yang besar ruangannya, serba modern pula furniture dan peralatannya.


Rupanya Bu Lies sengaja ingin ditemani makan malam di ruang makan yang super mewah itu.


Pada saat makan itu pula Bu Lies membahas tugas - tugasku dan juga besarnya gaji yang akan kuterima. Nominal gaji yang akan kuterima sangat mengejutkan. Karena menurutku besar sekali. Tapi dengan tenang Bu Lies berkata, “Pokoknya nanti jangan terlalu hitungan dengan tenaga dan pikiran. Karena aku pun tak menghitung - hitung gaji dan penghasilan tambahan untukmu nanti Bon.


“Siap Bu.”


“Pokoknya kalau prestasi kerjamu bagus, aku akan mengangkatmu sebagai tangan kananku.”


“Siap Bu.”


“Jangan terlalu kaku lah. Gak usah manggil boss padaku, jangan pula bilang siap - siap. Karena kita bukan militer, polisi juga bukan. Kamu juga gak usah membahasakan diri saya - sayaan. Larena kata saya itu berasal dari sahaya alias budak. Hamba sahaya itu kan budak. Kamu bukan budak. Pakai kata aku saja, biar lebih akrab kedengarannya ya.


“Siap… eh… iya Bu.”


“Nah sekarang istirahatlah sepuasnya. Karena besok pagi kita akan berjalan menaiki beberapa bukit kepunyaanku.”


“Iya Bu. Terima kasih,” sahutku sambil berdiri, “Selamat malam.”


“Malam,” sahut Bu Lies.


Keesokan paginya, ketika matahari baru saja terbit, Bu Lies sudah menungguku di luar kamarku. Sengaja aku mengenakan sweater biru tuaku, karena kuperkirakan udara di puncak bukit itu bakal dingin. Yang membuatku heran, Bu Lies menutupi seluruh badannya dengan selimut yang tidak tebal.


“Nah bagus kamu pakai sweater begitu. Di puncak bukit itu dingin hawanya.”


“Ibu pakai selimut begitu supaya gak kedinginan?”


“Iya. Kalau udaranya gak dingin, selimutnya bisa dipakai buat duduk - duduk di puncak bukit nanti.”


“Kita mau jalan kaki ke bukit itu Bu?”


“Iya. Itu bukitnya, dari sini juga kelihatan jelas,” kata Bu Lies sambil menunjuk ke bukit yang menjulang tinggi di belakang rumahnya.


“Oh, iya… iyaaa… kirain jauh,” sahutku sambil mengikuti Bu Lies yang sudah melangkah ke belakang rumah megahnya.


“Ini sekalian olahraga Bon,” kata Bu Lies di depanku, “Apalagi badanku montok begini. Kalau malas olahraga bisa gendut dan obesitas nanti.”


“Iya Bu.”


Lewat jalan setapak kami mulai menuju bukit itu. Tampaknya luas dan tinggi sekali bukit itu. Tapi dengan senang hati aku mengikuti langkah Bu Lies dari belakangnya.


Setelah tiba di lereng bukit itu, jalan yang harus kami tempuh makin lama makin menanjak. Tapi Bu Lies tidak kelihatan capek. Bahkan pada suatu saat ia melemparkan selimutnya padaku sambil berkata, “Tolong pegangin aja selimutnya Bon. Kayaknya udara sedang tidak terlalu dingin.”


Kutangkap selimut itu. Kulipat dan lalu kugantungkan di bahuku, seperti sedang memakai selendang.


Tapi ketika perhatianku tertuju ke arah Bu Lies… wow… Bu Lies memang memakai sweater juga seperti aku. Tapi bawahannya itu… rok mini yang benar - benar mini… sementara aku berjalan di belakangnya di jalan setapak yang mendaki pula. Ini membuat pemandangan yang luar biasa. Karena terkadang rok mininya itu ditiup angin, sehingga bokong gedenya terbuka penuh, celana dalamnya pun kelihatan jelas.


“Bon… kamu tau Artini pernah dijodohkan dengan seorang cowok, tapi ternyata cowok itu gay?”


“Iiii… iya Bu. Beliau pernah menceritakan soal itu.”


“Kasian adikku itu. STatusnya janda. Padahal masih perawan.”


“Begitu ya Bu?”


“Kamu normal Bon?”


“Maksud Ibu normal apanya?”


“Suka sama cewek, bukan sama sejenis?”


“Owh… iya Bu. Saya… eh… aku normal seratus persen Bu.”


Tiba - tiba Bu Lies mengangkat rok mininya, sehingga bokong dan celana dalamnya terbuka sepenuhnya. “Ayo jawab yang jujur. Kalau melihat pantat begini, kamu nafsu gak?”


“Iii… Ibu sangat seksi… tentu saja aku tergiur Bu… tapi maaf, aku takut disebut lancang dan kurang ajar nanti.”


“Kamu punya pacar nggak?”


“Nggak punya Bu.”


“Masa cowok seganteng kamu gak punya pacar? Jangan - jangan kamu gay juga ya?”


“Amit - amit, aku normal Bu. Hanya saja aku ingin menyelesaikan kuliah dulu, baru kemudian mikirin soal cewek.”


“Masa sih? Terus kamu bisa tergiur melihat pantatku… kok bisa? Aku kan sudah tua. Sedangkan kamu baru duapuluhtiga menuju duapuluhempat tahun kan?”


“Anu Bu… boleh jujur gak?”


“Iya. Harus jujur ngomongnya.”


“Aku ini pengagum wanita setengah baya.”


“Terus… sekarang pnismu ngaceng nggak?” tanya Bu Lies sambil menghentikan langkahnya.


“Iiii… iya Bu… nga… ngaceng.”


“Coba lihat… sengaceng apa pnismu.”


Meski ragu - ragu, kulaksanakan juga perintah Bu Lies itu. Kuturunkan ritsleting celana jeansku, lalu kupelorotkan celana jeans berikut celana dalamku, sehingga pnis ngacengku tersembul seperti sedang menunjuk ke arah Bu Lies.


“Woooow! pnismu segede dan sepanjang ini Bon?! “seru Bu Lies sambil memegang pnisku yang memang sudah ngaceng ini.





Aku tak menyangka semuanya ini akan terjadi begini cepatnya. Tapi aku tetap menggunakan akal sehatku. Kalau bossku menginginkannya, tiada alasan bagiku untuk menolaknya. Lagipula Bu Lies memang seksi habis di mataku.


Selimut itu sudah dihamparkan di atas rerumputan liar di antara pepohonan yang mirip hutan tak terawat ini. Aku disuruh berlutut dengan dada agak rebah ke belakang. “Tak usah telanjang bulat. Dengan begini pun kita bisa melakukannya. Hitung - hitung test aja, apakah kamu lelaki sejati atau sebangsa mantan suami Artini…


Lalu Bu Lies berjongkok sambil menyeret celana dalamnya ke samping. Dia membelakangiku, sehingga kurang jelas seperti apa bentuk vginanya. Yang jelas, sambil berjongkok dia berhasil membenamkan pnisku ke dalam liang vginanya. Lalu bokong gede itu naik turun dengan gesitnya, sehingga pnisku terasa dibesot - besot oleh liang licin yang empuk dan hangat.


“vginaku kepenak mboten?” tanyanya.


“Saestu kepenak Buuu…” sahutku sambil memejamkan mata, karena memang terasa liang vgina Bu Lies itu luar biasa enaknya.


“Ini sekadar tes aja Bon. Kalau kurang puas, nanti lanjutkan di rumah aja ya.”


“Iii… iya Bu.”


“Uedaaan… pnismu ini gede tenan Bon. Sampai seret gini mainnya.”


“Mungkin karena punya Ibu terlalu kecil, jadi sempit…”


“Hihihihiiii… ini luar biasa enaknya Bon…” ucap Bu Lies ketika ayunan bokongnya mulai menggila. Terkadang kudengar suara desahannya yang aaah oooh… aaah… ooooh…


Sebenarnya ada yang kutakutkan. Takut ada orang lewat lalu memergoki kami sedang beginian.


Untungnya Bu Lies tak kuat lama - lama. Hanya belasan menit dia mengayun bokongnya. Lalu menggelepar dan ambruk.


“Wah, duweku sampun metu Bon. Kamu belum kan?”


“Belum Bu.”


“Nanti lanjutin di rumah ya,” ucap Bu Lies sambil mengangkat bokongnya tinggi - tinggi, sehingga pnisku pun terlepas dari liang vginanya yang seperti apa bentuknya. Belum jelas. Baru bentuk buah pantat gedenya saja yang jelas di mataku.


Bu Lies membetulkan celana dalamnya yang terseret ke samping. Kemudian duduk di atas selimut yang dihamparkan itu.


Aku pun membetulkan letak celana dalam dan celana jeansku, lalu duduk di samping Bu Lies. “Tau gak, kenapa aku gelis metu mau?”


“Kenapa Bu?”


“Karena sejak suamiku meninggal, baru sekarang aku merasakan lagi enaknya pnis. Apalagi sekalinya ketemu pnis yang panjang gede gitu. Ya cepet keluarlah aku.”


“Iya Bu.”


Kemudian kami membicarakan masalah lahan di bukit dan sekitarnya itu. Memang tampak seperti hutan yang tidak terurus. Dan Bu Lies memasrahkan padaku untuk mengelola bukit itu menjadi lahan yang produktif. Jangan sekadar ditumbuhi oleh pohon kayu murahan dan rumput liar belaka.


Aku menyanggupinya. Untuk mengubah bukit dan lahan di sekitar lerengnya, tanpa mengganggu eko system agar tidak terjadi erosi.


Setelah membahas masalah pendayagunaan lahan tidak produktif itu, kami pun pulang lagi.


Di jalan menuju pulang, masih sempat Bu Lies berkata, “Nanti setelah makan malamn, kuncikan dulu pintu kamarmu. Kemudian naik lift ke lantai tiga ya.”


“Iya Bu.”


“Kamu akan menjadi orang kesayanganku Bon. Kamu sudah siap kusayangi sebagai kekasih tercintaku?”


“Siap Bu.”


“Apakah aku cukup memenuhi syarat untuk dijadikan kekasihmu?”


“Sangat memenuhi syarat. Ibu bukan hanya cantik tapi juga seksi. Kebetulan aku memang pengagum wanita setengah baya pula. Jadi… heheheee… kalau Ibu berkenan, dijadikan suami Ibu pun aku mau.”


“Gak usah jauh - jauh dulu mikirnya. Biar bagaimana aku juga tau diri. Usia kita terlalu jauh bedanya. Yang penting kamu bisa selalu memuasi hasrat birahiku, sudah cukup bagiku.”


“Jadi kita menjalin hubungan rahasia aja Bu?”


“Iya. Kata orang hubungan gelap justru lebih nikmat daripada hubungan suami - istri.”


“Hehehee… iya Bu. Hmmm… gak nyangka bintangku bakal bersinar terang di kampung ini Bu.”


“Nanti malam kuat berapa set main sama aku?”


“Mmm… mungkin sampai tiga atau empat kali bisa Bu.”


“Hihihihi… kebayang vginaku bakal keenakan kalau sering dientot sama pnis panjang gedemu Bon.”


“Iya Bu. Aku juga bakal merem melek kalau sering maen sama Ibu. Heheheee…”


“Tapi ingat Bon… kita harus bermain rapi. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan di luaran.”


“Iya Bu.”


“Kamu tidak perlu terlalu fokus pada diriku. Kalau ada cewek yang cocok dengan seleramu, silakan aja mainkan. Yang penting aku tetap dapet jatah minimal tiga kali seminggu.”


“Heheheee… iya Bu… iyaaa…”


“Ohya, kamu bisa nyetir mobil?”


“Bisa Bu.”


“Punya SIM?”


“Punya Bu. SIM C punya, SIM A juga punya.”


“Baguslah kalau begitu. Kapan - kapan kita tour ke daerah wisata yang indah - indah, kamu yang nyetir mobilku ya.”


“Iya Bu. Aku siap nyetir ke mana aja. Mau ke Jabar atau Jatim juga aku sanggup Bu.”


“Baguslah. Soalnya… entah kenapa ya… begitu ketemu sama kamu, aku langsung punya perasaan sayang padamu Bon.”


“Terima kasih Bu. Aku akan berusaha takkan pernah mengecewakan Ibu dalam hal apa pun.”


“Ingat ya… nanti setelah makan malam masuk ke dalam kamarmu. Tutup dan kunci pintu kamarmu. Kemudian pakai lift naik ke lantai tiga, itu langsung ke dalam kamarku.”


“Iya Bu.”


Beberapa saat kemudian kami tiba di rumah megah itu. Bu Lies masuk lewat pintu belakang, sementara aku masuk lewat pintu depan, kemudian masuk ke dalam kamarku.


Memang agak letih juga sehabis jalan kaki naik dan turun dari bukit itu. Tapi aku menyempatkan diri untuk duduk di belakang meja kerjaku, menyalakan komputer dan meneliti line perusahaan Bu Lies. Tentu saja dengan password yang sudah diberikan oleh Bu Lies, sehingga aku bisa membuka situs punya perusahaan Bu Lies.


Dari lalu lintas keuangannya aku mulai bisa menilai betapa besarnya omzet agro bisnis punya Bu Lies itu. Kelak harus aku yang memeriksa dan mengatur semuanya ini.


Dengan kata lain, usaha Bu Lies itu bukan main - main. Meski beliau tinggal di pedesaan begini, omzet harian perusahaannya sudah milyaran. Bukan hitungan juta lagi.


Tiba - tiba terdengar bunyi ketukan di pintu kamarku. Lalu aku membuka pintu itu. Seorang pembantu membungkuk sopan sambil berkata, “Ibu sudah menunggu di ruang makan, untuk makan siang Den.”


“Oh iya. Terima kasih,” sahutku sambil menutupkan pintu dan melangkah menuju ruang makan.


Di ruang makan Bu Lies sudah menungguku. Senyumnya tampak ceria ketika aku sudah menghampirinya di ruang makan yang segalanya serba mewah itu.


Kemudian aku duduk berhadapan dengan Bu Lies, terbatas oleh meja makan.


“Kepada semua pembantu di sini, aku sudah bilang bahwa Bona itu tangan kananku. Orang kepercayaanku. Makanya mereka pasti takut - takut kalau sudah berhadapan denganmu.”


“Iya Bu. Aku memang sudah siap untuk menjadi tangan kanan Ibu,” sahutku.


“Nggak sia - sia aku menunggu kedatanganmu selama berbulan - bulan. Karena ternyata kamu adalah orang yang kuinginkan dalam segala hal, termasuk dalam masalah pribadiku.”


“Iya Bu. Terima kasih atas kepercayaan Ibu padaku. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan Ibu sampai kapan pun.”


“Ohya… kamu harus bisa merencanakan gebrakan baru dalam agro bisnis kita Bon. Jangan sekadar mengandalkan yang sudah berjalan saja.”


“Iya Bu. Maaf… apakah Ibu punya izin impor buah - buahan?”


“Oh… belum punya Bon. Kamju bisa mengurus izinnya kan? Memang bagus tuh. Masayarakat perkotaan kan lebih suka makan buah impor. Boleh direncanakan dan dilaksanakan soal impor itu Bon. Senang aku mendengar idemu itu.”


“Iya Bu. Kita bisa sebar buah - buahan impor itu ke setiap kotabesar di Indonesia.”


“Iya, iya iyaaa… kamu sudah mengobarkan semangat baru di hatiku Bon.”


Kemudian kami makan siang bersama. Sambil makan pun aku mengungkapkan beberapa rencana bisnis yang semuanya disetujui oleh Bu Lies. Namun aku tak bisa mengungkapkan jenis bisnisnya secara mendetail, karena termasuk rahasia perusahaan. Yang jelas, semuanya bisnis legal. Bukan bisnis abu - abu, apalagi bisnis hitam.


Menunggu datangnya malam terasa lama sekali. Padahal aku sudah ingin sekali menggemuli tubuh tinggi montok wanita setengah baya itu.


Namun akhirnya tiba juga saatnya selesai makan malam. Kemudian aku masuk ke dalam kamarku. Menutupkan dan mengunci pintu kamar. Mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama. Berkaca sebentar di depan cermin besar yang tergantung di dinding. Kemudian dengan hanya mengenakan sandal jepit, kupijat tombol lift dan masuk ke dalamnya.


Lift pun melesat ke lantai tiga. Ternyata benar. Pintu lift itu langsung menghubungkanku ke kamar Bu Lies.


Bu Lies yang sudah mengenakan kimono sutera putih, menyhambutku dengan senyum hangat. Memegang kedua pergelangan tanganku sambil berkata, “Kita turunkan dulu isi perut sehabis makan malam barusan ya.”


Aku mengangguk sambil tersenyum. Harum parfum mahal pun mulai tersiar ke penciumanku. Kemudian tanganku diraih, agar duduk berdampingan di atas sofa putih bersih. Ya… kamar Bu Lies ini serba putih bersih. Lagi - lagi aku menemukan bukti, bahwa orang yang tinggal di pedesaan belum tentu suka warna - warni yang norak.


Namun semuanya tidak kuperhatikan lagi setelah Bu Lies memegang tanganku sambil berkata, “Tadi di puncak bukit kamu ora iso ndelok vginaku toh? Nah sekarang lihatlah sepuasmu. Mau diapain juga silakan.”


Bu Lies merentangkan kedua sisi kimono putihnya sehingga aku bisa menyaksikan dengan jelas. Bahwa Bu Lies tidak mengenakan apa - apa lagi di balik kimono putih itu. Sehingga sepasang toket gedenya terbuka penuh. vginanya pun tampak jelas di mataku. Tembem dan bersih dari jembut, mirip vgina Mbak Artini…


Nafsu birahiku langsung bergejolak. Dan langsung bersila di atas karpet, di antara kedua kaki Bu Lies yang putih mulus… sambil mendekatkan wajahku ke vgina tembem dan bersih dari jembut, yang tampak seperti sedang tersenyum malu - malu itu…!


Tanpa ragu lagi kuciumi vgina alias vgina alias heunceut alias pepek alias puki alias ketut Bu Lies itu…!


Bu Lies malah mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Mau dijilatin juga boleh. Jilatinlah vginaku sepuasmu Bon.”


Bicara begitu Bu Lies sambil memajukan letak bokongnya, sehingga vgina bersih dan tembem itu mendekati mulutku. Maka tanpa basa - basi lagi kungangakan mulut vgina Bu Lies dengan kedua tanganku. Sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lebar. Bagian itulah yang lalu kujilati dengan lahap. Harum parfum mahal pun semakin tersiar ke penciumanku.


Mungkin sekujur tubuh Bu Lies selalu diharumkan oleh parfum itu. Sehingga vginanya pun menyiarkan harumnya parfum mahal itu. Ini membuatku semakin bergairah untuk menjilati bagian yang berwarna pink itu. Sementara jempol kiriku mulai menggesek - gesek itilnya yang tampak menonjol “mancung”.


“Booon… oooo… oooohhhh… Booooon… aku makin sayang sama kamu Boooon… sayang sekali Booon… ooooohhhhhh… ooooohhhhh… aku sayang kamu Booon… sayaaaang kaaamuuuu… oooo… oooooooohhhhh… Booonaaaaa… “desahan dan rintihan Bu Lies mulai berhamburan dari mulutnya.


Bahkan beberapa saat kemudian Bu Lies seperti tak kuasa lagi menahan nafsunya. Ia mengusap - usap rambutku sambil berkata terengah, “Suuu… suuudah Booon… ayo kita lanjutkan di bed aja… biar nyaman… udah Booon… aku udah horny berat niiih…”


Kuikuti saja keinginan Bu Lies. Kujauhkan mulutku dari vginanya, lalu bangkit berdiri dan mengikuti langkah Bu Lies menuju bednya yang serba putih bersih itu.


Di dekat bed itu Bu Lies menanggalkan kimononya. Aku pun cepat menanggalkan baju dan celana piyamakiu. Dan langsung telanjang, karena sengaja aku tidak mengenakan celana dalam sebelum naik ke lantai tiga ini.


Kemudian aku merayap ke atas perut Bu Lies sambil memegangi pnisku yang sudah ngaceng berat ini. Bu Lies pun ikut memegangi leher pnisku dan mencolek - colekkan moncongnya ke mulut vginanya yang sudah basah oleh air liurku. Kemjudian ia mengedipkan matanya sebagai isyarat agar aku mendorong pnis ngacengku.


Maka kudesakkan pnisku sekuat tenaga. Dan membenam sedikit demi sedikit ke dalam liang vgina Bu Lies… blessssssss… hmmmm… tadi di puncak bukit itu aku tidak begitu merasakan nikmatnya bersetubuh dengan majikanku yang bertubuh tinggi montok dengan bokong dan toket serba gede ini. Tapi sekarang aku benar - benar merasakan enaknya ketika pnisku sudah terbenam seluruhnya ke dalam liang vgina Bu Lies.


Bu Lies pun mengerang histeris, “Sudah masuuuuk semuaaaaa Booon… ooooh… pnismu memang gede dan panjang banget. Ini sampai mentok di dasar liang vginaku Booon…”


Aku pun mulai mengayun pnisku perlahan - lahan. Dan terasa sekali legitnya liang vgina Bu Lies ini. Sehingga aku pun berkata terengah, “Ta… tadi waktu di bukit… belum terasa enaknya vgina Ibu ini. Ta… tapi sekarang terasa benar… vgina Ibu sangat legit… pasti bakal bikin aku ketagihan kelak…


“Kapan pun kamu mau ngentoit aku, tinggal naik aja ke lantai tiga ini. Kecuali kalau aku lagi datang bulan, pasti harus istirahat dulu,” sahut Bu Lies sambil merangkul leherku ke dalam pelukannya. Kemudian menciumi bibirku dengan lahapnya. Disusul dengan bisikan, “Ayoooo… entotlah aku sepuasmu Bona Sayaaaang …


Tanpa banyak bicara lagi, kupercepat gerakan pnisku, bermaju mundur di dalam liang vgina yang terasa licin tapi legit ini.


Bu Lies pun mulai merintih - rintih histeris, “Aaaaa… aaaaaaah… Booonaaaa… aaaaaah… pnismu memang luar biasa enaknya Booon… iyaaaaa… iyaaaaa… entot teruuussss booon… entoootttt teruuuusssss… iyaaaa… iyaaaaa… entooootttttttt… entoooooooootttttt… sambil emut pentil tetekku Booon…


kiyaaaaa… luar biasa enaknya pnismu ini Booon… aku sudah dua kali menikah… tapi baru sekali ini merasakan enaknya dientooootttt… aaaaa… aaaaaaah… Boooonaaaaa… Booonnnaaaaaa… enaaaak sekali Booon… entoooottttt… entoooottttttt… iyaaaaaaaaa… entoooottttt …


Dalam keadaan seperti ini, aku mulai menyadari salah satu kelebihan perempuan berbokong gede. Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Lies, biji pelerku sama sekali tidak menyentuh kain seprai. Hanya terombang - ambing di depan vgina Bu Lies saja. Ini karena saking gedenya pantat Bu Lies, sehingga pada waktu menelentang, vginanya berada kurang lebih sejengkal dari kain seprai.


Sementara itu aku pun teringat ucapan para pakar seksuologi. Bahwa dalam hubungan sex itu harus ada “take and give” (menerima dan memberi). Jadi kaum lelaki pun jangan hanya ingin merasakan enaknya saja vgina pasangannya, tapi juga harus berusaha memberi kenikmatan pada pasangannya itu.


Itulah sebabnya, ketika sedang gencar - gencarnya mengentot vgina Bu Lies, aku pun bukan hanya mengemut dan meremas toket gedenya. Aku pun berusaha “menyempurnakan”nya dengan jilatan - jilatan lahap di lehernya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil.


Karuan saja Bu Lies jadi merem melek dibuatnya. Bahkan pada suatu saat jilatanku beralih ke ketiaknya yang tercium harum parfum juga. Maka rintihan - rintihan Bu Lies pun semakin menjadi - jadi dibuatnya, “Booonnnaaaa… oooo… oooooh… Boooon… kamu sangat pandai membuatku keenakaaaaan… iyaaaaaa…


iyaaaa… entot terus Booon… pnismu luar biasa enaknya Booonaaaa… entooot teruuuussss… entoooott… sambil jilatin dan gigit - gigit ketekku juga Booon… aaaaaah… ini luar biasa enaknyaaaaaa… luar biaaasaaaaaa… entooot teruuuussss… entoooottttt… entoooottttt… Boooonaaaaaa…


Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)