Kenikmatan Didalam Keluarga Besarku 14 - 17



Aku sengaja ingin memperlihatkan keperkasaanku, supaya Bu Lies ketagihan, ingin dientot terus olehku kelak.


Sudah dua kali Bu Lies orgasme. Tapi pnisku masih tangguh. Masih memompa liang vgina legitnya Bu Lies.


padahal keringatku mulai membasahi tubuhku. Keringat Bu Lies juga sama, tampak membasahi tubuhnya di sana - sini.


Sampai pada suatu saat, Bu Lies berkelojotan sambil mengerang, “Aku mau lepas lagi Bon… bisa dibarengin nggak?”


“Mudah - mudahan bisa Bu,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Sambil menyedot - nyedot pentil toket gedenya.


Dan Bu Lies mulai berkelojotan… kemudian mengejang tegang dengan perut agak terangkat ke atas.


Pada saat itulah aku pun menancapkan pnisku di dalam liang vgina Bu Lies. Moncong pnisku sampai menabrak dan mentok di dasar liang vgina wanita setengah baya itu. Lalu liang sanggama Bu Lies terasa berkedut - kedut kencang, diikuti dengan gerakan spontan yang seperti spiral… laksana meremas dan memilin pnisku yang tengah meletuskan lendir kenikmatanku.


Crooot… cooootttt… crooooootttt…


crooooootttttt… crooooooooottttt… crooootttt…!


Aku menggelepar, lalu terkulai di atas perut Bu Lies.


Bu Lies pun terkulai. Namun sesaat kemudian dia mencium bibirku dengan lahapnya, disusul dengan bisikannya di dekat telingaku, “Terima kasih ya Sayang. Kamu telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Ini takkan kulupakan sampai kapan pun.”


“Ibu juga telah memberikan sesuatu yang sangat berarti bagiku. Punya panjenengan luar biasa enaknya,” sahutku.


Kemudian kucabut pnisku dari dalam liang vgina Bu Lies.


Bu Lies pun duduk, lalu turun dari bed, “Ayo kalau mau bersih - bersih di kamar mandi, “ajaknya.


Aku pun mengikuti langkah Bu Lies masuk ke dalam kamar mandi pribadinya.


Begitu berada di dalam kamar mandi, Bu Lies langsung duduk di atas kloset. Dan aku berjongkok di depan kloset itu.


“Heh… mau apa kamu malah jongkok di situ Bon?” tanya Bu Lies.


“Pengen liat punya Ibu seperti apa kalau sedang kencing… hehehee…”


“Hihihiiii… ada - ada aja. Iya liatin deh. Sekalian cebokin setelah aku kencing ntar ya.”


“Iya Bu. Mau kok aku nyebokin Ibu.”


“Mau nyebokin apa mau megang - megang vginaku?”


“Hehehee… mau dua - duanya Bu,” sahutku sambil menarik shower dan siap - siap untuk menceboki Bu Lies.


Lalu terdengar bunyi kencing Bu Lies di dalam kloset. Sweerrrr… kecewesssss kecewessss …


Aku pun langsung mendekatkan shower ke vgina Bu Lies, sementara tangan satunya lagi siap untuk menceboki vgina bu boss.


“Baru sekali ini aku ngalami dicebokin sama orang lain. Bona… Bona… kamu mulai jadi tangan kananku luar dalam.”


“Iya. Ibu juga mulai jadi atasan luar dalam.”


Bu Lies bangkit dari kloset, sementara aku justru baru mulai kencing. Kemudian kubasuh pnisku yang masih berlepotan lendir. Pada saat itulah Bu Lies memelukku dari belakang. Sambil berbisik, “Masih kuat main berapa kali lagi?”


“Mungkin tiga kali lagi juga masih kuat Bu. Soalnya p;unya Ibu luar biasa legitnya.”


“Hihihiiii… begitu ya?”


“Iya Bu. Luar biasa enaknya.”


Bu Lies menjawab dengan bisikan di dekat telingaku, “pnismu juga luar biasa enaknya Sayang.”


Kemudian kami keluar dari kamar mandi, menuju bed kembali. Di situlah Bu Lies meremas - remas pnisku dengan lembut sambil berkata, “Kalau anak muda sih dipegang dan diremas - remas begini juga pasti bisa tegang lagi. Naaaah… sudah ngaceng lagi nih Bon.”


“Iya… mau dilanjutkan Bu?” tanyaku.


“Ayooo… ganti posisi ya. Sekarang main posisi doggy. “Bu Lies menungging di atas bed, sambil menepuk - nepuk bokong gedenya.


Dan… begitulah. Kami bersetubuh lagi dalam posisi doggy.


Tak cuma itu. Setelah malam makin larut, kami bersetubuh lagi untuk ketiga kalinya. Kali ini main posisi WOT. Bu Lies main di atas, aku main di bawah.


Dan aku seolah ingin memperlihatkan keperkasaanku, agar Bu Lies merasa sangat membutuhkanku untuk pemuas nafsu birahinya.


Menjelang subuh, aku menyetubuhi Bu Lies lagi untuk keempat kalinya. Kali ini kembali ke posisi missionary. Aku di atas, Bu Lies di bawah.


Hari demi hari kulalui dengan penuh gairah. Bukan sekadar gairah kerja, tapi juga gairah sex. Karena hari - hari yang kulewati selalu ditemani oleh sex.


Bu Lies pun semakin baik padaku. Transfer demi transfer mengalir ke buku rekening tabunganku. Kalau dihitung secara kasar, saldo rekening tabunganku sudah bisa dipakai untuk membeli mobil baru. Tapi untuk apa beli mobil? Bukankah keenam mobil mahal Bu Lies yang tersimpan di garasi bisa kupakai kapan dan ke mana saja?


Pada suatu hari…


Ketika aku sedang berdiri di halaman rumah Bu Lies, sambil mengamati lucunya ikan - ikan koi berenang di kolam hias, seorang wanita setengah baya bergaun batik tampak menghampiriku, diantarkan oleh seorang satpam.


Setelah dekat dan jelas, aku terkejut karena wanita bergaun batik itu adalah Mama…!


“Bona…! “seru Mama sambil merentangkan kedua tangannya.


“Mama…! “aku pun menghambur ke dalam pelukannya.


Kami cipika - cipiki sambil berpelukan.


Lalu Mama kubawa masuk, langsung ke dalam kamarku.


“Barusan pakai apa Mama ke sini?” tanyaku setelah mengajak Mama duduk berdampingan di atas sofa yang tak jauh dari bedku.


“Pakai ojek. Dari Subang sih pakai Bus. Turun di Solo. Dari Solo pakai ojek ke sini.”


“Capek sekali dong Mama,” ucapku sambil meremas - remas tangan Mama.


“Memang capek sekali Sayang. Tapi karena ada sesuatu yang sangat penting, mama lupain rasa capeknya. Mama ini sedang hamil Sayang.”


“Hamil? Sudah berapa bulan hamilnya?”


“Baru tiga bulan. Belum kelihatan gede ya perut mama?”


“Belum”


“Kamu maskih ingat kan waktu mama ke Jogja dan memadu birahi sama kamu itu tiga bulan yang lalu kan?”


“Ja… jadi… yang di dalam perut Mama itu anakku?”


“Ya iyalah. Anak siapa lagi?”


“Terus kalau ketahuan sama Papa gimana?”


“Mama sudah cerai sama Papa. Vonis di pengadilan baru diputuskan seminggu yang lalu. Jadi… biarin aja Papa tau mama hamil juga gak apa - apa. Karena mama bukan istri dia lagi. Ohya… rumah bossmu ini megah sekali Bon. Kayak istana aja ini sih.”


“Iya Mam. Kebetulan majikanku sangat baik padaku. Dan…”


Belum selesai aku bicara, tiba - tiba terdengar suara Bu Lies di ambang pintu yang tidak kututupkan, “Ada tamu Bon?”


Mama menoleh ke arah Bu Lies yang masih berdiri di ambang pintu. Lalu Mama berseru, “Ini Lies?!”


Bu Lies menghampiri Mama. Dan terbelalak sambil berseru, “Maryani?!”


“Iya Lies… ya Tuhaaan… kita bisa berjumpa lagi setelah lebih dari duapuluh tahun berpisah yaaa?”


“Yani… Yani… gak nyangka kita bisa berjumpa lagi…” ucap Bu Lies sambil mengajak Mama duduk berdampingan di sofa, sementara aku cuma berdiri heran dan bingung. Karena tak mengira kalau Bu Lies kenal sama Mama.


“Syukurlah kamu sekarang sudah sukses begini Lies… kamu majikannya Bona kan?”


“Iya,” sahut Bu Lies, “Panjang ceritanya Yan. Waktu itu aku nekad jadi TKW di Hongkong. Gak taunya aku ditaksir sama orang Indonesia yang sukses di Hongkong. Dia duda aku janda, ya kawinlah kami di Hongkong. Suamiku itu luar biasa tajirnya. Dia dianggap big boss di Hongkong juga. Tapi usianya sudah tua.


Setelah sepuluh tahun kami hidup bersama di Hongkong, akhirnya suamiku mengajak pulang ke Indonesia. Maklum usianya mulai tergolong udzur. Gak taunya setelah berada di tanah air dia jadi sakit - sakitan. Dan akhirnya meninggal sekitar lima tahun yang lalu. Almarhum menitipkan surat wasiat pada penasehat hukumnya.


“Jadi sekarang kamu melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh almarhum suamimu?” tanya Mama.


“Iya. Kalau gak ada peninggalan almarhum, bagaimana bisa aku seperti sekarang ini.”


“Punya anak berapa dari almarhum suamimu itu?”


“Nggak punya. Dia yang mandul Yan. Ohya… bagaimana dengan Fajar? Apakah dia sehat - sehat aja?”


Mama berdiri dan menghampiriku. Lalu memegang bahuku sambil berkata, “Ini Fajar Lies…”


“Haaa? Bona ini Fajar?!” Bu Lies tampak kaget sekali.


“Iya. Ini Fajar… anak kandungmu Lies,” kata Mama yang lalu menoleh padaku sambil berkata, “Bersujudlah di kaki ibu kandungmu Sayang…”


“Ja… jadi?” cetusku bingung dan kaget.


“Bu Lies ini adalah ibu kandungmu Sayang. Waktu kamu masih kecil sekali, hidupnya sengsara sekali. Lalu dia nekad untuk menjadi TKW di Hongkong. Dan kamu diberikan pada mama dengan perjanjian bahwa dia takkan mengganggu gugat dirimu di kemudian hari. Tapi sekarang keadaan ibumu sudah berubah jadi orang sukses.


Aku manjut saja pada suruhan Mama. Lalu berlutut di depan Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu. Kemudian kuciumi kakinya sambil bercucuran air mata. Karena aku sangat sedih menghadapi kenyataan ini. Bagaimana tidak, wanita yang terus - terusan kusetubuhi itu ternyata ibu kandungku…!





Secara gamblang Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menceritakan asal - usulku yang sebenarnya. Bahwa ayahku bukan lelaki yang bertanggung jawab. Ketika Bu Lies hamil tua, malah minggat dengan seorang cewek muda belia. Dahulu Bu Lies dan Mama tetangga dekat dan masih sama - sama tinggal di Jogja.


Karena itu Bu Lies menyandarkan hidup kepada Mama. Saat itu Mama memang bukan orang tajir, tapi kehidupannya jauh lebih baik daripada Bu Lies. Maka terjadilah perjanjian, bahwa kalau bayinya sudah lahir akan diberikan kepada Mama. Tapi biaya melahirkan dan makan sehari - hari Bu Lies ditanggung oleh Mama.


Lalu lahirlah bayi itu yang lalu diberi nama Fajar oleh Bu Lies. Mama senang sekali karena belum punya anak laki - laki, Mama meminta agar Fajar tetap disusui oleh Bu Lies. Sementara diam - diam Bu Lies mendaftarkan diri untuk menjadi TKW di Hongkong, yang kata orang - orang gede gajinya itu. Bu Lies pun terbang ke Hongkong yang dibiayai oleh yayasan yang biasa merekrut para TKW untuk bekerja di luar negeri.


Setelah setahun tinggal di Hongkong, Bu Lies berjumpa dengan seorang pengusaha asal Indonesia yang sudah sukses di Hongkong. Kebetulan pengusaha asal Indonesia itu baru ditinggal mati oleh istrinya.


Kebetulan pula Bu Lies di masa mudanya memang cantik. Pengusaha tajir melilit itu pun jatuh cinta kepada Bu Lies.


Tanpa memandang usia yang berbeda jauh, Bu Lies pun menerima lamaran pengusaha itu. Lalu mereka menikah di Hongkong. Dan tetap tinggal di sana dengan status yang berbeda. Bu Lies bukan TKW lagi, melainkan sudah jadi istri seorang pengusaha besar.


Sepuluh tahun kemudian, suami Bu Lies mengajak pulang ke Indonesia, karena usianya sudah tua sekali dan tidak sanggup mengembangkan usahanya lagi di Hongkong. Katakanlah dia sudah ingin pensiun dari dunia bisnis. Namun simpanannya di bank sangat banyak. Tanahnya pun di pulau Jawa banyak. Ada yang di Jabar, Jateng dan Jatim.


Setelah berada di tanah air, suami Bu Lies yang sudah tua renta itu pun jadi sering sakit. Dan akhirnya meninggal dunia lima tahun yang lalu. Atas dasar surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum suami Bu Lies, semua harta dan simpanannya di bank diwariskan kepada Bu Lies semua.


“Begitulah ceritanya,” kata Bu Lies di akhir penuturannya, “Memang setelah berada di tanah air, aku sering ingat pada anakku. Tapi aku ingin jadi orang yang teguh pada perjanjian. Karena pada saat aku memberikan dirimu kepada wanita baik yang jadi Mama angkatmu ini aku sudah menandatangani perjanjian.


Bu Lies yang ternyata ibu kandungku itu menbghela nafas panjang. Lalu melanjutkan, “Untungnya wanita yang kamu panggil Mama ini bijaksana orangnya. Kalau tadi dia tutup mulut, aku takkan menyangka kalau Fajar itu kamu Bon. Aku sangat menghargai kebijaksanaan mamamu ini. Sehingga aku bisa ditertemukan dengan satu - satunya anak kandungku, yakni kamu Bona.


Mama menjawab lirih, “Aku sangat menyayangi Bona laksana sayangnya ibu kepada anak kandungnya. Tapi hubungan darah di antara kalian berdua tak boleh diputuskan begitu saja. Jadi begini saja… Bona tetap manggil Mama padaku, lalu kepada Lies mungkin bagusnya manggil Mamie, supaya tidak tertukar - tukar ya.


“Iya… iyaaa… aku setuju itu,” sahut Bu Lies yang mulai saat ini harus kupanggil Mamie itu.


“Jadi Bona tetap boleh menganggapku mamanya, tapi dia juga haruis menerima bahwa Lies itu mamie kandungnya. Tentang di mana Bona mau tinggal, bebas sajalah. Mau ke rumahku di Subang… pintu rumahku tetap terbuka sampai kapan pun buat Bona. Mau tinggal di sini apalagi, karena dia punya pekerjaan pula di sini kan?


Mamie memegang bahuku sambil bertanya lembut, “Keinginan Bona sendiri bagaimana?”


Spontan kujawab, “Pokoknya aku sayang keduanya, baik kepada Mama mau pun kepada Mamie. Malah semakin menyenangkan karena mulai saat ini aku jadi punya ibu dua orang. Heheheee…”


“Iya… kami berdua sayang kamu Bon,” kata Mamie alias Bu Lies, “Ohya… sekarang Yani mau nginep di sini kan?” Mamie menatap ke arah Mama.


“Sayang sekali… sekarang sih aku gak bisa nginap Lies. Kapan - kapan deh aku sengaja nginap di sini, biar kita bisa ngobrol panjang lebar.”


“Memangnya ke Subang mau naek apa?” tanya Mamie.


“Dari Solo ada bus yang lewat Subang Lies.”


“Mmmm… begini aja,” kata Mamie, “Sekarang anterin Mama ke Subang, ya Bon.”


“Iya Bu, eh Mamie,” sahutku.


“Waduh… dari sini ke Subang itu jauh sekali Lies.”


“Nggak apa - apa. Yang penting Bonanya sanggup kan?” Mamie menoleh padaku.


“Sanggup Mamie.”


“Sebentar… aku mau ngomong dulu sama Bona ya Yan,” kata Mamie.


“Silakan,” sahut Mama.


Lalu Mamie memijat tombol lift sambil memegang pergelangan tanganku. Pintu lift terbuka, aku dan Mamie masuk ke dalamnya. Kemudian lift itu bergerak ke lantai tiga.


Di kamarnya Mamie memegang kedua tanganku sambil berkata, “Ternyata kita ini ibu dan anak kandung Sayang.”


“Iya Mam. Aku kaget sekali mendengar semuanya ini. Sedangkan kita sudah melangkah begitu jauh. Bagaimana ke depannya nanti?”


Mamie ma;lah mencium bibirku. Lalu berkata setengah berbisik, “Takdir juga yang membuat kita harus seperti ini. Biarin aja. Kita lanjutkan aja hubungan rahasia kita. Kamu masih mau melanjutkannya nggak?”


“Mau Mam. Sudah telanjur jauh sih.”


“Bagus. Mamie juga udah telanjur jatuh cinta padamu Sayang. Biarlah kita lanjutkan aja. Tapi awas… Mama jangan sampai tau ya.”


“Iya Mamie.”


“Sekarang antarkan dulu Mama pulang gih. Mumpung masih siang. Pilihlah mobil mana yang mau kamu pakai. Ingat… sekarang semua yang kumiliki adalah milikmu juga, karena kamu satu - satunya anak kandungku.”


“Iya Mam. Tapi Mamie masih bisa hamil kan?”


“Bisalah. Selama belum menopause, berarti perewmpuan itu masih bisa hamil.”


“Lalu kalau Mamie hamil olehku nanti gimana?”


“Justru itu yang mau kubicarakan denganmu. Tapi besok aja setelah kamu pulang dari Subang, kita bicarakan lagi semuanya secara matang yaaa. Mmm… Bona… Bona… ternyata kamu ini anak kandungku… tapi aku telanjur jatuh cinta padamu mmmmmwuaaaaah… “Mamie mencium bibirku. Lalu mengeluarkan dua gepok uang seratusribuan dari brankas.


Diserahkannya uang itu padaku sambil berkata, “Yang seikat kasihkan sama Mama, yang seikat lagi untuk membeli pertamax dan makan di jalan.”


“Iya Mam. Terima kasih. Tapi Mam… masih ada yang kuinginkan,” kataku sambil menyingkapkan daster Mamie, “Pengen megang vgina Mamie dulu ah…”


Mamie melotot, tapi lalu menahan tawanya. Dan dibiarkannya saja kurayapkan tanganku kebvalik celana dalamnya, lalu mengelus - elus vginanya sebentar.


Kemudian kukeluarkan lagi tanganku dari balik celana dalam Mamie. “Aku pamit dulu ya Mam,” ucapku setelah mencium bibir Mamie dengan kehangatanku.


“Iya… ati - ati di jalan ya Sayang. Gak usah ngebut.”


“Iya Mamie Sayang.”


Kemudian aku dan Mamie masuk ke dalam lift dan turun ke kamarku lagi, di mana Mama masih duduk di sofa kamarku.


“Ayo Mam… sekarang aja pulangnya mumpung masih siang?“tanyaku sambil menyerahkan seikat uang pemberian Mamie, “Ini dari Mamie,” kataku.


“Iiih banyak banget Lies?!”


“Ah ala kadarnya aja Yan. Mohon maaf gak disuguhin makan. Tapi Bona udah dikasih duit tuh buat makan di jalan.”


“Iya, terima kasih ya Lies. Kapan mau maen ke Subang? Aku udah bubar sama suamiku lho.”


“Ohya?! Kenapa?”


“Biasa penyakit laki - laki. Maen gila mulu sama cewek yang jauh lebih muda daripada aku.”


“Begitu ya?! Gak ada mendingnya. Aku pilih yang jauh lebih tua, biar udah kenyang maen perempuan. Tapi ya gitu… gak ditinggal maen gila sama cewek, tapi ditinggal mati Yan.”


“Gak apa - apa. Kita jalanin aja suratan takdir kita masing - masing.”


“Iya, iyaaaa… semoga perjalanannya lancar ya Yan.”


“Iya Lies. Aku pamit ya,” kata Mama sambil cipika - cipiki dengan Mamie.


Beberapa saat kemudian Mama sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan Mamie yang sudah kujalankan menuju Solo, kemudian memutar menuju Jogja.


“Bagaimana perasaanmu sekarangf? Bingung atau gimana?” tanya Mama.


“Malah jadi plong. Karena Mama bukan ibu kandungku. Jadi aku bebas melakukan apa pun dengan Mama sekarang kan?”


“Iya. Hihihiiii… pikiranmu kok malah sama dengan pikiran mama.”


“Berarti Mama juga kangen entotanku lagi kan?”


“Iyaaa… lagi hamil gini mama malah pengen begituan mulu.”


“Kalau gitu kita cek in aja di Jogja… di hotel yang kita pakai dahulu itu Mam. Hitung - hitung nostalgia.”


“Iya. Hotel itu sangat bersejarah bagi kita ya.”


“Mmm… Mbak Weni, Mbak Rina dan Mbak Lidya pada tau gak kalau aku ini bukan anak kandung Mama?”


“Nggak ada yang tau. Kan waktu kamu mama terima dari Mamie, mereka masih kecil - kecil. Weni juga baru berumur tiga tahun. Belum ngerti apa - apa.”


“Kalau sudah terbuka gini, apakah mereka bakal dikasihtau atau nggak?”


“Kasihtau aja. Gak apa - apa. Toh hubunganmu dengan mereka bakal tetap baik.”


“Iya. Aku akan tetap menganggap mereka saudara - saudaraku,” sahutku dengan pikiran melayang - layang. Teringat apa yang sudah kulakukan dengan Mbak Weni, dengan Mbak Rina dan Mbak Lidya.


Sedan built up Jerman yang kukemudikan ini pun meluncur terus ke arah Jogjakarta.





Setibanya di hotel yang bersejarah bagiku dan bagi Mama, kami mendapatkan kamar paling belakang. Dan gairahku tak terkendalikan lagi. Mungkin karena aku sudah tahu bahwa Mama itu bukan ibu kandungku. Selain daripada itu Mama sedang hamkil, membuatku penuh kepenasaranan. Seperti apa vgina wanita yang sedang hamil itu.


Mama pun tampaknya sudah kangen sekali padaku. Begitu masuk ke dalam kamar hotel, Mama merangkul leherku ke dalam pelukannya. Lalu mencium dan melumat bibirku dengan hangatnya.


Sambil menanggalkan gaun batiknya, Lalu Mama berkata, “Kamu mama urus sejak bayi dengan penuh kasihsayang Bon. Mama sayang sekali padamu, laksana sayangnya seorang ibu kepada anak kandungnya. Tapi sejak kita melakukan semuanya di dalam hotel ini, pandanganku padamu jadi berubah. Laksana memandang seorang pangeran yang datang untuk mengobati luka di hati mama.


“Aku juga sama Mam. Dan sekarang, setelah aku tau Mama bukan ibu kandungku, aku jadi semakin bergairah lagi… terlebvih - lebih setelah mendengar Mama sedang hamil… hihihiiiii… jadi gemes… ingin melihat dan merasakan vgina wanita hamil…”


“Jadi biarkan aja janin di perutku ini tetap tumbuh dan membesar nanti?” tanya Mama sambil melepaskan beha dan celana dalamnya.


“Biarkan saja Mam. Biar nanti aku yang membiayai semuanya. Sekarang statusku kan sudah jelas, sebagai anak tunggal seorang wanita yang berada.”


“Nanti kalau Rina dan Lidya tau, gimana ya?”


“Biarin aja. Kalau perlu, kuhamili juga mereka nanti. Supaya tidak ada yang complain pada kehamilan Mama.”


“Hihihiiii… jadi rame dong rumah di Subang nanti. Ada tiga bayi lahir ke dunia. Memangnya kamu bisa memperlakukan mereka sekehendak hatimu?”


Sambil mengusap - usap perut Mama yang belum kelihatan buncit, aku menyahut, “Bisa Mam. Tapi tentu saja aku takkan sewenang - wenang pada Mbak Rina dan Mbak Lidya. Yang jelas, pada waktu aku diwisuda itu kan mereka datang ke sini.”


“Iya, memang mama yang nyuruh mereka datang untuk menghadiri wisudamu.”


“Nah… mereka ingin merasakan seperti apa rasanya bersetubuh itu. Lalu mereka menyerahkan keperawanan mereka padaku. Tapi jangan marahi mereka nanti ya Mam. Kalau Mama marahi mereka, bisa - bisa minggat mereka nanti dari rumah.”


“Owh… begitu? Mmmm… mama mau pura - pura tidak tau aja soal itu sih.”


“Itu lebih baik Mam. Tapi pada saat itu mereka sudah menyiapkan pil anti hamil segala. Makanya kalau aku mau menghamili mereka, aku akan melarang mereka memakai pil anti hamil lagi.”


“Menurut mama sih, ide menghamili mereka itu kurang tepat Bon. Kalau masalah mama hamil nanti, mama akan berusaha membuat mereka bisa menerima kenyataan ini. Bahwa mereka akan punya adik baru… anakmu ini,” kata Mama sambil mengusap - usap perutnya.


“Iya… makanya nanti Mama jelaskan saja, bahwa aku ini bukan anak Mama. Dan kita sengaja melakukan hubungan badan, sebagai balas dendam kepada Papa yang main gila terus,” ucapku sambil menggerayangi vgina Mama yang selalu membangkitkan kerinduanku.


Aku mengangguk sambil menjauhkan tanganku dari vgina Mama. Kemudian kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat seperti Mama.


Lalu aku naik ke atas bed di mana Mama sudah celentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya. Tadinya aku ingin mulai dengan menjilati vginanya yang selalu menggiurkan itu… tembem dan agak ternganga, dengan jengger membuka ke luar pula.


Tapi Mama berkata, “Jangan pake jilat - jilatan vgina segala. Ini udah basah sekali Sayang. Belakangan ini vgina mama memang sering basah, sambil membayangkan dientot sama kamu lagi. Masukkan aja pnismu langsung Bona Sayang…”


Mendengar ucapan Mama seperti itu, aku pun mengikuti keinginannya. Langsung aku tengkurap sambil mengarahkan moncong pnisku ke mulut vgina Mama. Dan… benar saja. Begitu kudorong pnisku, langsung masuk sekujurnya ke dalam liang vgina Mama tercintaku.


“Tuh kan… langsung ambles semua…” ucap Mama sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya.


“Gak apa - apa perutku menghimpit perut Mama begini?”


“Nggak apa - apa. Masih kecil kok perutnya. Nanti kalau perut mama sudah buncit, tanganmu harus menahan agar perutmu tidak terlalu menghimpit perut mama. Ayo entotin pnismu Sayang.”


Aku pun mulai mengentot seperti yang Mama inginkan. Memang becek liang vgina Mama kali ini. Tapi hal ini justru membangkitkan gairahku untuk melampiaskan kekangenanku kepada Mama yang telah merawatku dari bayi hingga dewasa. Bahkan aku sendiri yang dikuliahkan sampai S1. Sementara anak - anak kandungnya sendiri (Mbak Rina dan Mbak Lidya) hanya memiliki ijazah D3.


Karena itu aku ingin sekali membalas kebaikan Mama itu dengan apa pun yang bisa kulakukan.


Mama pun tampak sangat enjoy dengan aksiku kali ini. Mulutku terus - terusan disumpal dengan lumatan hangatnya yang seolah ingin melekatklan bibirnya ke bibirku selama persetubuhan ini berlangsung.


“Bon… kenapa ya kali ini mama merasa lebih enak disetubuhi olehmu? Nih… niiiih… niiiih Booooon… ini mama udah mau lepas Boon… “desis Mama yang sedang merapatkan pipinya ke pipiku.


Lalu Mama berkelojotan. Entotanku pun sengaja kupercepat, untuk menanggapi situasi seperti ini.


“Booonaaaa… aaaaaa… “mulut Mama ternganga. Nafasnya tertahan. Sekujur tubuhnya mengejang. Perutnya agak terangkat. Dan kubiarkan pnisku menancap di dalam liang sanggama Mama. Liang yang lalu terasa berkedut - kedut kencang. Disusul dengan hembusan nafas Mama, “Aaaaaaaah… luar biasa nikmatnya Boooon…


Kutatap wajah cantik Mama yang tampak memancarkan sinarnya yang begitu cemerlang.


“Kok cepat sekali lepasnya Mam?” tanyaku sambil mengusap - usap dahi Mama yang keringatan.


Mama menyahut, “Karena Mama terlalu kangen padamu Sayang. Jadi… entotanmu terasa nikmat sekali. Makanya mama gak bisa bertahan lama. Jangan digerakkan dulu pnismu ya. Mama ingin menghayati keindahan yang barusan mama rasakan.”


“Iya… santai aja Mam,” sahutku sambil memperhatikan handphoneku di atas meja kecil di samping bed yang tengah kupakai menyetubuhi ibu angkatku ini. Aku berusahamenjangkaunya. Dan berhasil.


Ternyata ada WA dari… Mbak Artini alias tanteku…!


Kubuka WAnya. Isinya singkat sekali*-Sayang… aku kangen sekali padamu Yang… -*


Aku tercenung sesaat. Lalu meletakkan hapeku di bawah bantal. Tanpa kubalas.


Padahal aku sedang berada di Jogja. Kalau aku mau, dalam tempo 15 menit pun aku sudah bisa tiba di rumah Tante Artini. Memang aku harus memprioritaskan wanita yang satu itu. Karena biar bagaimana, akulah yang telah merenggut keperawanannya.


Tapi dia itu adik kandung Mamie. Berarti dia itu tanteku sendiri.


Lalu apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menghentikan hubungan rahasiaku dengan ibu kos yang sudah begitu mencintaiku?


Tidak.


Secara moral aku harus menghentikan hubunganku dengannya. Tapi secara kemanusiaan, aku tak boleh mencampakkannya begitu saja. Aku harus berusaha untuk tetap membahagiakannya. Tapi bagaimana kalau Mamie tahu bahwa aku punya hubungan dengan Mbak Artini? Apakah Mamie takkan marah?


Akhirnya aku mengayun kembali pnisku dengan gerakan yang lumayan cepat. Dan berusaha untuk membuat Mama orgasme lagi. Lalu aku akan berpura - pura ejakulasi pada saat dia orgasme nanti. Agar dia mengira telah terjadi pencapaian puncak kenikmatan secara berbarengan. Kemudian aku akan berpura - puramau ke rumah temanku dulu karena ada urusan “penting”.


Booon… oooh… Boooon… ini sudha mulai enak lagi Saayaaaang… iyaaaa… iyaaaa. entot terus Booon… entot teruuuuussssss… ini luar biasa enaknyaaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaah… “Mama merintih - rintih sambil berusaha menggoyangkan bokongnya… memutar - mutar dan meliuk - liuk.


Belasan menit semuanya ini berlangsung. Sehingga wajah dan leher Mama mulai mengkilap oleh keringatnya sendiri.


Sampai pada suatu saat, Mama menatapku sambil berkata terengah, “Sayang… ooooh… mama mau lepas lagi Sayaaaang…”


“Iya Mam… barengin ya… aku juga udah mau ngecrot…” ucapku berbohong. Padahal aku masih jauh dari ejakulasi.


Lalu kupercepat entotanku, sementara Mama sudah berkelojotan lagi. Dan akhirnya mengejang tegang. Pada saat yang sama kutancapkan pnisku sedalam mungkin.


Lalu ketika liang vgina Mama berkedut - kedut kencang, aku pun mengejut - ngejutkan pnisku seolah sedang ejakulasi…!


Lalu… aku pura - pura terkulai lemas di atas perut Mama.


“Oooooh… indah sekali…” ucap Mama sambil menciumi bibirku, “Terima kasih ya Sayang.”


Tampaknya Mama tidak menyadari bahwa aku belum ejakulasi.


Lalu kucabut konmtolku dari liang vgina Mama. Kemudian turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi sambil menjinjing pakaianku.


Di kamar mandi aku kencing. Lalu kucuci pnisku yang berlepotan lendir vgina Mama.


Kemudian kukenakan semua pakaianku. Dan keluar dari kamar mandi.


Kulihat Mama masih terkapar celentang di atas bed. Aku pun mengambil hapku dari bawah bantal, sambil berkata, “Mama bisa ditinggal sebentar di sini? Aku ada urusan penting yang harus kuselesaikan di Jogja ini.”


“Iya, selesaikanlah urusanmu dulu Sayang. Mama malah ingin tidur dulu, karena masih terasa capek sekali,” sahut Mama sambil memeluk bantal guling. Dalam keadaan masih telanjang bulat.


Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan punya Mamie, yang sudah kuluncurkan di jalan aspal. Menuju rumah Mbak Artini…!


Mbak Artini yang mengenakan daster berwarna pink, tampak sedang menyiram pot - pot tanaman hias yang berderet di teras depan. Dan terkejut ketika melihatku turun dari mobil di dekat teras itu.


“Bona?!” serunya dengan wajah ceria.


“Iya Tante. Sengaja WAnya tidak kubalas karena tadi aku sedang di jalan menuju ke sini.”


Lalu aku mengikuti Mbak Artini, melangkah masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tamu, Mbak Artini sudah tak kuasa menahan diri. Ia memeluk dan menciumi bibirku. “Aku kangen sekali padamu, Sayang.”


“Sama… aku juga kangen sekali. Hanya waktunya belum ada. Ini juga kebetulan sedang disuruh mengantarkan Mama ke Subang. Makanya kusuruh Mama istirahat dulu di hotel, karena aku ingin menjumpai kekasihku yang jelita dan seksi ini,” sahutku sambil memegang kedua tangan Mbak Artini.


Lalu kami duduk berdampingan di sofa ruang keluarga.


“Mbak sudah mendengar berita dari Bu Lies?”


“Berita apa? Belum ada berita apa - apa Sayang.”


“Ternyata Mbak Ar ini tanteku. Karena aku ini anak kandung Bu Lies yang sekarang harus dipanggil Mamie olehku.”


“Haaaa?! yang bener Sayang…”


“Betul Mbak. Tanyakan saja langsung pada beliau kalau gak percaya sih. Dahulu sebelum terbang ke Hongkong sebagai calon TKW, Mamie pernah memberikan bayi kepada Bu Maryani. Bayi itu sudah diberi nama Fajar. Nah… Fajar itu aku Mbak. Tapi sama Bu Maryani namaku diganti jadi Bona Perdana.”


“Ooooh… iyaaaa… iyaaaa…! Saat itu Mbak Lies masih sengsara hidupnya. Suaminya menghilang pula entah ke mana. Iya, iya… aku masih ingat benar masalah itu Bon.”


“Jadi Mbak ini sebenarnya tanteku. Tapi hal itu jangan dijadikan kendala hubungan di antara kita berdua. Hubungan kita harus jalan terus ya Mbak.”


“Iya sih… oooh… ini bnenar - benar mengejutkan Bon. Tapi aku sudah telanjur cinta berat padamu Sayang. Meski pun kita tidak boleh menikah, tapi hubungan kita harus tetap jalan ya Bonaku Sayang.”


“Iya Mbak. Nanti deh kalau sedang banyak waktu kita rundingkan lagi masalah hubungan kita ini,” ucapku sambil merayapkan tanganku ke balik daster pink Mbak Artini. Sampai menemukan celana dalam. Dan kuselinapkan tanganku ke balik celana dalam itu. Sampai menemukan celah vgina Mbak Artini yang seharusnya kupanggil tantge Artini ini.


“Aaaah… soal panggilan sih jangan dipikirin. Apa aja… mau manggil Mbok juga boleh. Hihihiii…”


“Hush. Masa Mbok? Emangnya Mbak bakul jamu? Kalau kita sedang berdua aja, aku mau akan tetap manggil Mbak aja, tapi kalau ada orang lain mau manggil Tante ya.”


“Iya, iya. Terserah kamu aja Sayang. Yang penting cintaku jangan dicampakkan begitu saja. Bisa bunuh diri aku nanti kalau ditinggalkan olehmu.”


“Gak mungkin Mbak. Biar bagaimana Mbak ini sosok penting bagiku. Pertama, Mbak telah menyerahkan kesucian Mbak padaku. Kedua, aku takkan mungkin berjumpa dengan ibu kandungku kalau tidak ada Mbak.”


“Hmmm… Mbak Lies pasti sayang sekali padamu setelah tau siapa dirimu ya?”


“Iya, beliau sangat sayang padaku Mbak. Tapi nanti kalau ada telepon dari Mamie, jangan bilang Mbak sudah tau dariku. Jangan bilang juga kalau aku datang ke sini. Karena Mamie menyuruhku mengantarkan Mama pulang ke Subang. Bukan untuk menemui Mbak… eh Tante…”


“Hihihiii… jadi aku jatuh cinta pada keponakanku sendiri ya?” ucap Tante Artini sambil mencubit pipiku. Sementara jemariku mulai menyelundup ke dalam celah vgina di balik celana dalam dan daster pinknya, “Ooooh… Booon… kalau sudah dicolok - colok gini aku langsung horny berat Boon…”


“Ayo kita main. pnisku juga udah ngaceng berat nih…” sahutku sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalam dan daster pinknya.


Tante Artini bangkit berdiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu mengajakku masuk ke dalam kamarnya.


Di dalam kamarnya, Tante Artini melepaskan daster dan behanya. Celana dalamnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh tinggi montoknya menjadi telanjang bulat di depan mataku. Ketelanjangan yang senantiasa menggiurkan dan membangkitkan gairah birahiku.


Aku pun menelanjangi diriku sendiri. Lalu menerkam tubuh putih mulus yang menggiurkan itu, dengan segenap hasrat birahiku.


Untungnya tadi aku berjuang untuk menahan diri agar jangan ejakulasi di dalam vgina Mama. Sehingga persetubuhan dengan Mama tadi bisa kuanggap sebagai foreplay belaka.


Kali ini aku benar - benar akan menyetubuhi Tante Artini dan akan dicrotkan di dalam liang vginanya yang tetap masih sempit menjepit ini.


Dengan segenap hasrat birahi kuemut pentil toket Tante Artini yang sebelah kiri, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya. Suhu badan Tante Artini pun mulai menghangat.


Terlebih setelah mulutku melorot turun ke arah pusar perutnya. Kujilati pusar perutnya sebentar, kemudian melorot turun lagi sampai mulutku berhadapan dengan vgina tembemnya yang sangat indah dan tampak sedang tersenyum manis itu.


Sepasang paha putih mulus itu pun merenggang. Dan dengan lahap kujilati vgina tembem yang bentuknya sangat indah itu.


Tante Artini mulai menggelinjang… menggeliat - geliat erotis, dengan desah - desah nafasnya yang sudah lama kurindukan, “Aaaaaah… Boooon… aku tetap cinta kamu Sayaaaang… berat sekali cintaku ini padamu Bonaaaa… aaaaa… aaaaaah… jangan terlalu lama jilatinnya… aku sudah merindukan pnismu Sayang…


Aku pun hanya sebentar menjilati vgina dan itil tante Artini. Lalu kuletakkan moncong pnisku di ambang mulut vgina tembemnya. Dan kudorong dengan sekuat tenaga.


Blesssssss… pnisku melesak masuk sedikit demi sedikit ke dalam liang vgina yang luar biasa sempitnya ini.


Sesaat kemudian aku mulai mengentot tanteku yang usianya cuma beda enam tahun denganku ini.


Rintihan - rintihan histeris Tante Artini p;un mulai berkumandang di dalam kamar ini.


“Booonaaaa saayaaaang… aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaah… Boooonaaaaa… aku makin cinta padamu Sayaaaang… oooooohhhhh… aku sudah sangat merindukan semuanya ini… aaaa… pnismu selalu membuatku merinding dalam nikmaaaaat… aaaaaaa… aaaaah… entotlah aku sepuasmu sayangkuuuuu…





Untung sekali, setibanya di rumah Mama, di Subang, Mbak Rina dan Mbak Lidya masih berada di kantornya. Sehingga aku tak perlu salah tingkah di depan Mama.


Aku pun langsung meninggalkan Subang, meski Mama menahanku agar menginap dulu di rumahnya. Ya… rumah itu ternyata memang milik Mama. Bukan dibeli dengan uang Papa. Karena itu setelah Papa bercerai dengan Mama, maka Papa lah yang harus angkat kaki dari rumah itu.


Mama memang rajin berbisnis, tak sekadar jadi IRT biasa. Bahkan kata Mama, penghasilan bisnisnya sekarang sudah jauh melampaui gaji dan penghasilan tambahan Papa.


Stamina fisikku masih cukup tangguh untuk nyetir kembali. Karena tadi malam menginap di hotel dan… menyetubuhi Mama sekali lagi. Bahkan dalam ronde kedua itu (diselang 1 ronde dengan Tante Artini), aku sangat lama menyetubuhi Mama. Sehingga Mama berkali - kali orgasme. Kemudian aku benar - benar ngecrot di dalam vgina Mama, bukan berpura - pura lagi.


Karena itu waktu aku meninggalkan Subang, staminaku masih sangat segar.


Tapi jarak dari Subang ke Solo bukan jarak dekat. Sehingga ketika aku tiba di rumah Mamie, hari sudah cukup malam, sekitar jam sepuluh malam.


Mamie tampak senang sekali melihatku sudah pulang.


“Kok cepat sekali pulangnya? Kirain mau nginap di rumah Mama barang seminggu gitu, “sambut Mamie di dalam kamarku. Sambil mendekap pinggangku.


“Gak tau kenapa, rasanya aku gak bisa berjauhan dengan Mamie berlama - lama,” sahutku yang sedikit mengandung gombal.


“Sama… setelah tau bahwa kamu itu anak mamie, malah gak mau pisah lama - lama sama kamu Sayang,” ucap Mamie disusul dengan mendaratkan kecupan hangat di bibirku, “Ayo… sekarang sih mau tidur di kamar mamie juga boleh.”


“Tapi aku mau mandi dulu di kamar Mamie ya,” sahutku.


“Boleh. Apa pun boleh kamu lakukan dan boleh kamu miliki,” ucap Mamie yang disusul dengan bisikan, “Bahkan vgina mamie juga boleh kamu miliki seumur hidup.”


“Hihihihiii… iya Mam. Punya Mamie itu luar biasa enaknya…” sahutku sambil mengikuti langkah Mamie menuju pintu lift. Lalu kami naik ke lantai tiga.


“Kalau kamu mau, tiap malam bobo sama mamie juga boleh. Hitung - hitung kompensasi, karena waktu masih bayi gak pernah bobo sama mamie,” kata Mamie yang malam itu mengenakan kimono sutera berwarna orange dengan bintik - bintik merah bertaburan di sana sini.


“Tapi aku sudah dewasa sekarang Mam. Dua bulan lagi juga usiaku genap duapuluhempat tahun.”


“Kali aja kamu merindukan pelukan ibu sepanjang malam.”


“Tapi setelah dewasa gini, kalau dipeluk Mamie pasti pnisku ngaceng Mam.”


“Ya gak apa - apa. Kalau ngaceng kan tinggal masukin ke dalam vgina mamie. Sekarang ngaceng nggak?”


“Belum. Aku mau mandi dulu ya. Badanku penuh debu di sepanjang jalan dari Subang ke sini tadi.”


“Iya, mandi dulu deh, biar seger badannya.”


Lalu aku masuk ke dalam kamar mandi Mamie yang jauh lebih lengkap daripada kamar mandiku di lantai dasar. Sabun, shampoo dan sebagainya import semua. Ada bathtub segala di dalamnya. Sehingga aku bisa berlama - lama berendam dengan air sabun hangat, sambil menerawang ke mana - mana.


Namun malam itu aku hanya mandi dengan shower air hangat. Menyabuni sekujur tubuhku, lalu membilasnya lagi. Kemudian mengambil handuk baru untuk mengeringkan tubuhku. Dan mengambil kimono putih yang all size dan banyak terlipat di dalam lemari kaca kamar mandi.


Setelah mengenakan kimono itu aku menyisir rambut di depan cermin besar yang menempel di dinding kamar mandi.


Kemudian keluar dari kamar mandi dan melompat ke atas bed, di mana Mamie sedang menelentang sambil nonton televisi yang dipasang di dinding.


“Daripada nonton tivi mendingan nonton bokep Mam,” kataku sambil meletakkan tanganku di atas perut Mamie.


“Memangnya kamu punya filmnya?” tanya Mamie.


“Banyak. Tapi di kamarku. Ambil dulu ya.”


“Iya.”


Lalu aku melangkah ke dalam lift dan meluncur turun ke kamarku.


Kuambil external hardisk 2 Tb, yang isinya beribu - ribu bokep. Lalu aku naik lagi ke lantai tiga, untuk menyambungkan external HD itu ke smart TV Mamie.


“Gak pakai CD player Bon?” tanya Mamie.


“Sudah gak zaman pakai player sekarang sih Mam. Lagian televisi Mamie ini termasuk Smart TV. External HD ini menyimpan ribuan bokep Mam… nanti kalau ada yang menarik, kita praktekkan ya.”


“Iya Sayang,” sahut Mamie lembut.


Setelah External HD itu tersambung dengan TV, aku pun mengambil remote control. Dan menyetelkannya ke USB. Setelah tersambung, aku merebahkan diri di samping Mamie.


Video pertama adalah seorang anak muda dan seorang wanita setengah baya yang melakukan hubungan sex outdoor.


“Ini mengingatkan kita ya Mam. Kan untuk pertama kalinya aku merasakan legitnya vgina Mamie di puncak bukit itu kan?” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke balik kimono Mamie. Ternyata Mami tidak memakai celana dalam. Mungkin dia sudah siap untuk berhubungan sex denganku, jadi semuanya dimudahkan.


“Iya… waktu itu mamie sedang horny mulu. Lantas gak kuat lagi menahannya. Duuuh.. Bona Sayang… kalau vgina mamie udah digerayangin gini… mamie suka langsung horny.”


“Kan mau nonton bokep dulu Mam.”


“Biarin aja film itu main, kita juga main yok… mamie sudah kepengen dientot nih sama pnis gedemu…” ucap Mamie sambil melepaskan tali kimonoku, kemudian membuka kimono yang sedang kupakai ini. Sehingga pnisku yang sudah mulai ngaceng ini langsung terbuka.


Dan Mamie langsung memegang pnisku, sambil menjilati moncong dan lehernya. Bahkan lalu mengulumnya dengan lahap. Dan mulai menyelomoti pnisku tak ubahnya anak sedang menyelomoti permen loli.


Tak cuma itu. Mamie pun mengalirkan air liurnya ke badan pnisku, lalu dengan bantuan air liur itu Mamie mengurut - urut badan pnisku yang tidak terkulum oleh mulutnya.


Karuan saja pnisku jadi ngaceng berat. Tapi Mamie tampak masih asyik menyelomoti pnisku. Maka kubiarkan saja Mamie melakukan apa pun yang diinginkannya.


Sampai akhirnya Mamie menelentang sambil berkata, “Ayo… masukin aja pnismu sekarang. vgina mamie sudah basah nih.”


Tadinya aku ingin membalas untuk menjilati vgina Mamie juga. Tapi karena kedua paha Mamie sudah direntangkan lebar - lebar, aku pun segera merangkak ke atas perutnya, sambil memegangi leher pnisku. Lalu meletakkan moncongnya di mulut vgina Mamie yang bentuknya mirip - mirip vgina Tante Artini (maklum adik - kakak).


Dan kudorong pnisku dengan sekuat tenaga. Blessssss… menyelundup masuk ke dalam liang vgina Mamie…!


“Adudududuuuuuh… pnismu memang enak sekali Sayaaaang… sejak aku tau bahwa kamu ini anak kandungku, ini pertama kalinya pnismu dimasukin ke dalam liang vagina mamie yaaa…”


“Iya Mamieku Sayaaaang,” sahutku sambil mencium bibir Mamie, yang lalu disambutnya dengan lumatan hangat.


“Mwuaaaaaaahhhhh… kamu ini seolah menjelma jadi dua sisi bagi mamie. Sebagai anak semata wayang mamie, sekaligus sebagai suami mamie… aaaaah… kita tak usah bertanya kenapa harus jadi seperti ini… lanjutkan saja hubungan fisik kita seperti ini ya Sayaaang…”


“Iya Mam… kalau hubungan ini dihentikan di tengah jalan, aku bisa murung dan melamun mulu nanti… bahkan mungkin aku akan menjauhi Mamie dengan perasaan bersalah…”


“Kamu tidak bersalah. Kan yang mengawalinya mamie sendiri di puncak bukit itu Sayang. Ayolah… entotkan pnismu… jangan direndem terus… nanti keburu jadi ager pnisnya… hihihihiiii…”


“Tapi kalau Mamie hamil nanti gimana?” tanyaku sambil mengayun pnisku perlahan - lahan.


“Gak mungkin. Sebelum kita bersetubuh di puncak bukit itu, mamie sudah disuntik oleh dokter. Jangan sampai hamil. Anakku cukup satu saja. Cukup kamu saja seorang. Tapi kamu jangan jadi anak yang manja ya. Jadilah anak yang rajin dan ulet dalam berbisnis. Demi masa depanmu sendiri.”


“Iiii… iya Mamieku…” sahutku yang mulai mempercepat entotanku.


Mamie pun tidak berbicara lagi. Bahkan mulai mendesah dan merintih histeris lagi seperti biasa. “Iyaaaaa… aaaaaah… iyaaaaaa… aaaahhhh… pnismu ini… luar biasa enaknya sayaaaaang… entot teruuuusssss… entoooot teruuuussss… iyaaaaa… iyaaaaa… entooooooottttt… entoooootttttt …


enak sekaliiiii… enaaaaaak… iyaaaaaa… entooooootttttt… entooooot… pnismu enaaaaaak… entoooootttttt… aaaaaah… aaaaaa… aaaaahhh… pentil tetekku sedoooot… sedoooootttt kayak bayi netek… iyaaaaa… iyaaaaaa… entooooottttt… iyaaaaa… aaaaa… aaaaahhh…


Rintihan - rintihan histeris Mamie dibarengi dengan dengus - dengus nafasku. Sementyara entotan pnisku semakin menggila. Seolah mesin pompa yang sedang memompa liang vgina ibu kandungku.


Terkadang mulutku nyungsep di atas toket gedenya, mengemut dan menyedot - nyedot pentilnya. Terkadang menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sementara tangan kiriku tetap asyik meremas - remas toket kanan Mamie.


Ketika tangan Mamie terjulur ke bawah kepalanya, kujilati pula ketiaknya yang beraroma parfum mahal. Membuat bokong gede Mamie semakin menggelepar - gelepar, memutar - mutar. meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Sehingga pnisku terasa dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh liang vginanya yang licin, empuk tapi legit ini.


Aku sudah hafal bahwa Mamie tidak ingin disetubuhi terlalu lama. Yang penting, pada waktu Mamie sudah mau orgasme, aku pun harus secepatnya berejakulasi. Bahkan kalau bisa, dilepasin bareng - bareng lebih disukainya.


Karena itu, ketika keringatku mulai merembes dari pori - pori kulitku, ketika Mamie mulai berkelojotan, aku pun mempercepat ayunan pnisku.


Maju - mundur - maju - mundur dengan cepat sekali. Sampai akhirnya… ketika sekujur tubuh Mamie mengejang tegang, pnisku pun ditancapkan di dalam liang vginanya.


Lalu… ketika liang vgina Mamie terasa mengejut - ngejut, pnisku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.


Crrrroooottttt… crooootttttcrottt… croooootttttt… crottttt… crooooottttt… crooootttt…!


Kami sama - sama terkapar sambil berpelukan. Lalu terkulai lunglai di dalam kepuasan sedalam lautan.


“Mamie puas sekali… Terima kasih ya Sayang,” ucap Mamie yang disusul dengan kecupan mesranya di bibirku.


Setelah mencabut pnisku dari liang vgina Mamie, aku merebahkan diri di samping ibuku. Sambil menonton bokep yang masih tayang di layar televisi LED besar itu.


“Ohya… tadi ada tantemu yang dari Kalimantan datang. Dia tidur di kamar yang berdampingan dengan kamarmu.”


“Tante yang mana? Aku kan baru tau Tante Artini doang.”


“Adik - adik mamie ada empat orang. adik yang pertama bernama Surtini, tinggal di Semarang. Adik yang kedua bernama Haryati, tinggal di Surabaya. Adik yang ketiga bernama Artini… mantan ibu kosmu itu. Nah yang sedang nginap di rumah kita itu suka dipanggil Tari. Nama lengkapnya sih Muntari.”


“Jadi… Tante Tari itu adik bungsu Mamie?”


“Iya Sayang. Dia dijadikan istri muda seorang pengusaha batubara yang sudah tua. Tapi nikahnya secara diam - diam. Cuma nikah siri. Setelah sekian lamanya dijadikan istri muda, lama - lama ketahuan oleh istri pertamanya. Lalu Tari terus - terusan diteror oleh istri pertama. Sehingga akhirnya dia minta cerai saja.


“Sudah punya anak berapa orang?”


“Belum punya anak. Untung juga gak punya anak. Jadi gak repot ngurusin anak dalam status jandanya. Usianya masih sangat muda lho. Cuma setahun lebih tua darimu.”


“Jadi umurnya baru duapuluhlima tahun?”


“Iya. Waktu mamie melahirkan kamu, usia Tari baru setahun. Dia kan adik seayah beda ibu.”


“Owh… memangnya ayah Mamie berpoligami?”


“Nggak. Kan nenekmu meninggal duluan. Kemudian kakekmu menikah lagi. Maka lahirlah Tari itu.”


“Jadi… walau pun usianya cuma beda setahun, aku tetap harus manggil Tante padanya?”


“Seharusnya memang begitu. Kata orang - orang tua, kita tidak boleh merusak sirsilah. Status dalam keluarga harus tetap sesuai dengan kedudukannya. Meski usianya lebih muda darimu, tetap saja kamu harus manggil Tante padanya.”


Aku terdiam. Karena tayangan bokep di layar televisi lebih menarik perhatianku. Sepasang manusia tampak sedang bersetubuh di dalam mobil pick up.


Dan… diam - diam pnisku ngaceng lagi.


Untung Mamie pun terangsang oleh adegan di layar televisi itu. Sehingga kami bersetubuh lagi. Tentu dalam durasi yang lebih lama daripada persetubuhan yang pertama tadi…!


Bahkan di ronde kedua ini bermacam - macam posisi kami praktekkan. Sehingga keringat kami bercucuran kembali.


Lebih dari sejam kami melakukannya.


Dan setelah Mamie berkali - kali orgasme, aku pun akhirnya memuntahkan lendir maniku lagi di dalam liang vgina Mamie yang sangat legit itu.


Lalu kami tertidur sambil berpelukan. Dalam keadaan sama - sama telanjang, tapi ditutupi selimut tebal…


Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)