Sengaja aku mengenakan pakaian lengkap dengan sepatu karet. Agar waktu kembali ke kamarku nanti, tiada yang mencurigaiku.
Setelah di luar terasa aman, tiada seorang teman pun kelihatan, aku berjalan sambil berusaha tidak menimbulkan bunyi langkah.
Aku masuk ke dalam rumah ibu kos lewat pintu samping, tanpa mencopot sepatuku. Karena kalau sepatuku ditinggalkan di luar, takut kelihatan oleh salah seorang teman kosku.
Mbak Artini menyambutku di ambang pintu kamarnya. Dan berkata perlahan, “Pakai sepatu segala? Kayak mau pergi jauh aja. Hihihiii…”
“Waktu ke kembali ke kamarku kan bisa alesan abis lari pagi Mbak,” sahutku, “Maaf ini sepatuku gak ditinggalin di luar, takut kelihatan temen sepatunya.”
“Iya gak apa - apa,” sahut Mbak Artini sambil meraih pergelangan tanganku ke dalam kamarnya.
Saat itu Mbak Artini mengenakan celana legging dan baju kaus serba hitam. Ditutupi dengan sweater berwarna merah.
Setelah menutup dan menguncikan pintu kamarnya, tiba - tiba Mbak Artini melepaskan celana legging hitamnya. Dan… ternyata tidak ada celana dalam di balik celana legging itu. Sehingga aku bisa langsung melihat kemaluannya yang tembem dan sangat bersih dari jembut itu…!
“Sudah lama kamu menginkan ini kan?” tanyanya sambil mengusap - usap vgina plontosnya, dengan senyum dan tatapan yang sangat menggoda…!
Aku langsung berlutut di depan kaki Mbak Artini, “Duuuh Mbak… mimpi apa aku tadi malam ya… tiba - tiba saja apa yang selama ini kukhayalkan menjadi kenyataan.”
Mbak Artini mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Sebenarnya aku juga sudah lama sekali mengkhayalkan semua ini. Tapi aku menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Dan sekarang adalah waktu yang tepat itu Bon.”
Aku tak mau berbasa - basi lagi. Kuciumi vgina tembem yang bentuknya sangat indah itu. Tapi hanya sebentar aku menciumi vgina Mbak Artini, karena ia berkata, “Lepasin dulu dong pakaianmu Bon.”
“Siap Mbak,” sahutku sambil berdiri. Lalu kutanggalkan busanaku sehelai demi sehelai. Hanya celana dalam yang kubiarkan masih melekat di tubuhku. Sepatu karet yang sudah kulepaskan, kuletakkan di dekat pintu. Lalu menghampiri Mbak Artini lagi… Mbak Artini yang sudah telanjang bulat…!
Aku terlongong menyaksikan Mbak Artini yang sudah telanjang bulat itu. Tubuhnya tinggi montok, kulitnya putih mulus, wajahnya manis dan menggoda itu.
Aku belum tahu kenapa Mbak Artini bisa menjadi janda. Padahal tubuhnya begitu menggiurkan, dengan bokong dan toket sama - sama gede, dengan wajah manis pula. Lalu kenapa dia bisa bercerai dengan suaminya? Entahlah. Aku tidak perlu menanyakannya. Yang terpenting bagiku sekarang adalah… ingin merasakan nikmatnya menyetubuhi tubuh yang sangat menggiurkan itu…
Tapi tentu saja aku tak boleh bertindak kasar. Aku harus melakukannya dengan step by step.
“Kenapa celana dalamnya gak sekalian dilepasin?” tanya Mbak Artini sambil meraih tanganku agar naik ke atas bednya yang berseprai putih bersih.
Setelah berada di atas bed, kulepaskan celana dalamku.
“Booonaaa…! pnismu gede dan panjang banget… !” Mbak Artini terperanjat setelah melihat pnisku yang memang ukurannya di atas rata - rata ini. Lalu digenggamnya pnisku yang sudah agak tegang tapi belum ngaceng total ini.
“Sejak menjanda, baru sekali ini aku menyentuh pnis lelaki lagi. Sekalinya ketemu pnis lagi… begini gagahnya… kalau dalam pewayangan mungkin pnismu ini layak disebut pnis Werkudoro alias Bimo. Hihihihi… kebayang…”
“Kebayang apanya Mbak?” tanyaku sambil tersenyum.
“Kebayang enaknya kalau udah dientotin di dalam vginaku.”
“Tapi aku pengen jilatin vgina Mbak dulu. Boleh?” tanyaku.
Mbak Artini tersenyum sambil mengangguk. Lalu menelentang sambil mengusap - usap vginanya. “Tentu aja boleh,” ucapnya, “Memang harus dijilatin dulu, biar mudah dimasukin pnismu nanti.”
Melihat Mbak Artini sudah menelentang sambil menepuk - nepuk dan mengusap - usap vginanya, aku pun spontan tengkurap di antara sepasang paha putih mulusnya. Sementara wajahku sudah tepat berada di atas vgina Mbak Artini yang luar biasa indahnya itu.
Ya… bentuk vgina Mbak Artini memang lain. Sangat cantik kelihatannya, karena selain tembem, labia mayoranya pun tersembunyi di balik ketembeman bagian luarnya.
Aku merasa beruntung mendapatkan Mbak Artini yang sudah lama kuidam - idamkan itu. Dan aku tak menyangka kalau hatinya pun sudah runtuh, tapi sengaja bertahan agar aku konsentrasi ke kuliahku dulu.
Lalu kungangakan pintu masuk ke surga dunia itu dengan kedua tanganku, sehingga bagian dalam vginanya yang berwarna pink itu mulai kelihatan. Dan dengan sangat bernafsu kujilati bagian yang berwarna pink itu.
Mbak Artini pun memegangi kepalaku yang berada di bawah perutnya.
Sejenak kuhentikan jilatanku, untuk berkata, “vgina Mbak luar biasa. Seperti yang masih perawan.”
“Memang masih perawan. Dan aku sudah memutuskan untuk memberikan keperawananku padamu Bon,” sahutnya sambil mengusap - usap rambutku.
“Haaa? Mbak seorang janda muda tapi masih perawan?” tanyaku kaget.
“Ceritanya panjang. Nanti aja jelasinnya. Sekarang lanjutkan licking-nya, Bon.”
“Iya,” sahutku dengan gairah semakin bergejolak. Kemudian kulanjutkan permainan oralku yang sudah terlatih berkat pengaklamanku dengan Mbak Weni dan Mama.
Kujilati bagian yang berwarna pink itu secara intensif. Tak terkecuali, kucari kelentitnya yang bersembunyi di bagian atas kemaluan wanita 30 tahunan yang mengaku masih perawan itu.
Mbak Artini pun mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas kain seprai putih bersih itu.
Aku belum tau benar tidaknya Mbak Artini itu masih perawan. Karena aku bukan seorang dokter. Sehingga belum bisa memastikan kebenaran pengakuannya itu. Tapi perawan atau tidak, bukan masalah penting bagiku. Yang pentging, aku sudah sangat bernafsu, sehingga aku menjilati vgina Mbak Artini dengan sangat bersemangat.
Sampai pada suatu saat terdengar suaranya, “Mungkin sudah cukup basah Bon… masukin aja kontolmu…”
“Iya,” sahutku setelah menjauhkan mulutku dari vgina ibu kosku. Kemudian kuambil tissue dari meja di samping bed, untuk menyeka mulutku yang berlepotan air liurku sendiri. Sementara Mbak Artini sudah merenggangkan kedua pahanya lebar - lebar.
Dengan penuh gairah kuletakkan moncong kontolku di mulut vgina Mbak Artini yang sudah agak terbuka sedikit itu. Lalu kuarah - arahkan moncong kontolku agar letaknya ngepas.
Kemudian kudorong sekuat tenaga, tapi… malah meleset ke bawah. Kuletakkan lagi moncong kontolku pada posisi yang mungkin lebih tepat. Kemudian kudorong lagi sekuatnya. Lagi - lagi meleset.
Hmmm… gak nyangka akan sesulit ini. Lebih sulit daripada waktu pertama kali mau menyetubuhi Mbak Weni.
Tapi berkat perjuangan dan keuletanku, akhirnya aku berhasil membenamkan kontolku, meski baru sampai lehernya saja.
“Sudah mulai masuk ya,” ucap Mbak Artini sambil merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu ia menatapku dengan senyum manis di bibir sensualnya.
“Baru sedikit… sepertinya Mbak memang masih perawan,” sahutku.
“Bukan sepertinya! Aku memang belum pernah disetubuhi lelaki…!” ucap Mbak Artini tajam. Sambil mencubit pipiku. “Disumpah juga aku mau. Bahwa aku masih perawan. Dan Bona adalah lelaki pertamaku.”
“Iya maaf… barusan aku salah ngomong…” sahutku sambil bersiap - siap untuk mendorong kontolku lagi, agar masuk lebih dalam.
Lalu kudesakkan kontol ngacengku sekuatnya. Makin jauh membenam ke dalam liang vgina Mbak Artini.
Maka mulailah aku mengayun kontolku perlahan - lahan. Dalam gerakan pendek - pendek. Di dalam liang vgina ibu kosku yhang luar biasa sempitnya ini.
Namun setelah kuentot secara perlahan dan hati - hati, akhirnya ku berhasil mengentotnya secara normal. Mungkin karena liang vgina Mbak Artini sudah menyesuaikan diri dengan ukuran kontolku.
Mbak Artini pun mulai menggeliat - geliat lagi, diiringi oleh rintihan - rintihannya yang terdengar seperti bisikan - bisikan erotis di telingaku.
“Bona… oooh… Booon… ternyata seperti ini rasanya disetubuhi oleh lelalki ini yaaa… oooo… oooooh… Booonaaaa… aku sudah menjadi milikmu, Sayaaaang…”
Itulah pertama kalinya Mbak Artini memanggilku Sayang. Senang hatiku mendengarnya… mendengar ucapan mesra dari perempuan yang sudah lama kugilai ini.
Sambil tetap mengentotnya, kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman dan lumatanku. Dia pun menyambut dengan lumatan yang lebih hangat lagi, sementara tangannya meremas - remas sepasang bahuku.
“Aku juga sayang sekali sama Mbak,” ucapku setelah ciuman kami terlepas.
“Jadi… Mbak sudah lama jatuh hati padaku?” tanyaku tanpa menghentikan entotanku.
“Jatuh cinta…! Bukan jatuh hati lagi.”
Aku terkejut sehingga lepas kontrol. Dan aku terlalu jauh menarik kontolku, sehingga terlepas dari liang vgina Mbak Artini. Tapi pada saat yang sama, aku jadi bisa melihat darah yang bertetesan dari vgina Mbak Artini… berjatuhan ke atas seprai. Mungkin ada sekitar 1 sendok teh darah yang bertetesan ke kain seprai putih bersih itu.
Inilah untuk pertama kalinya aku menyetubuhi perawan. Lalu kenapa Mbak Artini mengaku janda tapi masih perawan? Soal itu mungkin nanti dia akan menjelaskannya sendiri. Yang penting sekarang, aku harus memasukkan lagi kontolku yang terlepas dari liang surgawi ibu kosku.
“Gak nyangka… Mbak ternyata masih perawan,” ucapku setelah kontolku terbenam lagi seluruhnya di dalam liang kenikmatan ibu kosku.
“Aku dijodohkan dengan seorang cowok. Aku sih menurut saja pada keinginan orang tua. Lalu aku dinikahkan. Gak taunya cowok itu tidak tertarik pada perempuan. Dia hanya menyukai sesama jenis kelaminnya.”
“Gay maksud Mbak?”
“Iya. Aku sudah berusaha untuk merangsangnya dengan berbagai macam cara. Tapi dia tidak terangsang sedikit pun. Makanya aku minta cerai tiga bulan setelah menikah dengan cowok gay itu. Jadi… aku memang janda, tapi masih perawan. Dan sekarang aku berikan keperawananku kepada orang yang kucintai dan bernama Bona ini.
“Iya Sayaaaang, “aku pun membalas dengan kata sayang. Kemudian kucium bibibrnya sambil mengayun kontolku kembali. Bermaju mundur di dalam liang vgina Mbak Artini yang luar biasa sempitnya ini, “Sekarang aku merasakannya… bahwa aku memang mencintaimu Bon… gak tau diri ya… perempuan sudah usia tigapuluh mencintai anak muda…
“Umurku juga sudah menuju duapuluhempat Mbak. Jadi beda usia kita hanya enam tahun,” sahutku sambil menghentikan ayunan kontolku sejenak. “Kalau soal perasaan, pertama kali aku melihat Mbak, aku langsung tergila - gila sama Mbak. Tapi aku tak mau memaksakan diri. Karena takut disangka ingin digratiskan kosku di sini.
“Kata orang… lelaki mengucapkan cintanya dulu, kemudian masuk ke dalam hati. Kalau perempuan dirasa - rasakan dulu di dalam hati. Lalu kalau sudah mengucapkannya, berarti sudah berada di puncak cintanya Bon.”
Aku mengungkapkan perasaanku dalam sikap dan perilaku. Bukan secara lisan dan gombal - gombalan.
Ketika aku mulai mengayun kembali pnisku, mulutku terus - terusan menciumi bibir sensual Mbak Artini, sebagai perwujudan cintaku padanya. Terkadang lidahku menjilati leher jenjangnya yang sudah mulai keringatan, diiringi dengan gigitan - gigitan kecil.
Dan ini membuatnya merintih - rintih histeris, namun suaranya perlahan sekali. Mungkin karena takut kedengaran oleh anak - anak kos lain.
“Booon… aaaaaa… aaaaah… Booon… aku rasanya seperti me… melayang - layang di langit tinggi Booon… aku makin sayang padamu… makin cinta padamu Booon… ini luar biasa nikmatnya sayaaaaang… aaaaaah… indah sekali Booon…”
Aku tak cuma meniciumi bibir dan menjilati leher jenjangnya. Aku pun mulai mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut, tidak berani keras - keras meremasnya.
Semakin menggeliat - geliat dan merintih - rintihlah Mbak Artini dibuatnya. Terlebih ketika aku menjilati ketiaknya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil pula… semakin menggelinjang - gelinjang pula tubuh seksinya itu.
Bahkan pada suatu saat Mbak Artini seperti panik. “Bon… ini rasanya ada yang mau meluap dari dalam vginaku Booon…” ucapnya dengan tubuh berkelojotan.
“Lepasin aja Mbak. Itu pertanda mau orgasme…” sahutku sambil mempercepat entotanku.
“Iiii… iiiiya Booon… oooo… oooooooooh… aaaaaaa…”
Lalu sekujur tubuh seksi itu mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.
Aku pun menghentikan dulu entotanku. Karena ingin menyaksikan dan merasakan sesuatu yang indah. Bahwa liang vgina Mbak Artini mengejut - ngejut, disusul dengan gerakan seperti spiral… sambil meluapkan lendir libidonya, yang membuat liang sanggama Mbak Artini jadi basah sekali.
Lalu nafas Mbak Artini yang tertahan agak lama itu pun dihembuskan, “Aaaaaaah… indah sekali Sayaaaaang…” ucapnya lirih. Namun wajahnya tampak lebih cantik dari biasanya. Mungkin itulah yang disebut aura wanita yang terpancar setelah mengalami orgasme.
Setelah mencium dan melumat bibir Mbak Artini, aku mengusap - usap pipinya yang masih keringatan sambil berkata, “Setelah orgasme, Mbak jadi kelihatan lebih cantik dari biasanya.”
“Masa sih?! Tapi yang jelas aku merasa sudah jadi milikmu seorang.”
“Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mbak?”
“Lepasin di dalam vginaku aja.”
“Nggak apa - apa?”
“Maksudnya?”
“Kalau Mbak hamil gak apa - apa?”
“Nggak apa - apa. Aku malah kepengen punya anak darimu. Kalau anaknya cowok, mudah - mudahan seganteng bapaknya.”
“Dan kalau anaknya cewek, mudah - mudahan secantik ibunya.”
Mbak Artini menatapku dengan senyum. Wow… betapa manisnya senyum Mbak Artini itu. Maka kupagut lagi bibibr yang tengah tersenyum itu ke dalam ciuman dan lumatanku. Saat itu aku pun mengayun pnisku kembali. Terasa sekali bedanya. Bahwa tadi liang vgina Mbak Artini terasa sempit sekali. Sekarang jadi agak longgar, karena liang sanggamanya jadi becek.
Tapi hal itu hanya berlangsung beberapa detik. Karena kemudian liang kemaluan Mbak Artini mulai terasa sempit kembali.
Ini luar biasa enaknya. Karena gesekan antara pnisku dengan dinding liang sanggama ibu kosku sangat terasa nikmatnya. Padahal Mbak Artini belum bisa bergoyang pinggul, karena ia baru sekali ini merasakan disetubuhi oleh lelaki.
Tapi aku tidak membutuhkan goyangan. Yang penting aku bisa mengentot liang vginanya sepuasku.
Namun aku terlalu menghayati nikmatnya vgina perawan mature ini. Sehingga tak lama kemudian aku mulai memasuki detik - detik krusial. Biasanya kalau sudah begini, aku suka melambatkan entotanku. Tapi kali ini sebaliknya. Aku bahkan mempercepat entotanku. Makin lama makin cepat. Sampai akhirnya kubenamkan batang pnisku sedalam mungkin di dalam liang sanggama Mbak Artini.
Dan pada detik - detik paling nikmat itu aku merasakan pnisku mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan lendir maniku.
Croooottttt… crotttt… crooooootttt… crotttcrottt… croooooooootttttttt… crotttt… crooootttt…!
Aku menggelepar disertai dengusan nafasku. Lalu terkulai di atas perut Mbak Artini.
“Sudah ejakulasi?” tanya Mbak Artini lirih.
“Sudah Mbak Sayaaaang… luar biasa nikmatnya…” sahutku sambil merapatkan pipiku ke pipinya.
Kemudian kucabut pnisku dari lubang vgina Mbak Artini.
Ternyata banyak sekali air mani yang kumuncratkan di dalam vgina ibu kosku. Sehingga tampak air maniku meluap ke luar, mengalir ke arah anus Mbak Artini.
Cepat kuambil kertas tissue basah dari atas meja rias Mbak Artini. Lalu kuseka vgina ibu kosku dengan kertas tissue basah itu.
“Terima kasih, “Mbak Artini duduk sambil memperhatikan darah ytang hampir mengering di kain seprainya, “Berdarah ya?”
“Iya,” sahutku, “darah itu jadi saksi keperawanan Mbak sebelum kusetubuhi tadi. Apakah Mbak menyesal telah memberikan keperawanan Mbak padaku?”
“Masa nyesel? Aku malah bahagia sekali telah didewasakan olehmu,” sahut Mbak Artini yang disusul dengan ciuman mesranya di bibirku, “Mwuuuuaaaaah…”
“Kita harus istirahat dulu selama dua - tiga hari, sampai luka di dalam vgina Mbak benar - benar sembuh. Setelah sembuh, baru kita boleh bersetubuh lagi,” kataku sambil membelai rambut Mbak Artini yang tergerai lepas.
“Iya. Aku mau nurut sama kamu aja Sayang.”
“Nanti kita kalau mau ngobrol, lewat WA aja. Supaya tidak memancing kecurigaan anak - anak kos lain,” kataku.
“Tapi namaku di hapemu kan ada Artini-nya.”
“Gampang, nama Mbak di hapeku akan diganti jadi Hartono. Biar disangka WA dari bapak - bapak.”
“Hiiihiiihiii… iya, iyaaaa. Namamu juga bakal kuganti jadi Bonita. Biar disangka WA dari cewek.”
“Iya… betul itu Mbak.”
Sebenarnya aku ingin sekali tidur bersama Mbak Artini. Tapi demi kenyamanan hati kami, malam itu aku mengendap - endap keluar dari rumah Mbak Artini. Dan masuk ke rumah kos lagi. Kebetulan Amran belum pulang. Mungkin dia nginep di rumah pacarnya.
Sehingga aku bisa tidur nyenyak tanpa perasaan takut atau cemas.
Keesokan harinya aku menghubungi Mama lewat ponsel. Aku menceritakan bahwa aku lulus dan akan diwisuda 2 minggu lagi.
“Mama bahagia sekali mendengar suksesmu Bon,” kata mama di ponselku, “Tapi mungkin mama gak bisa hadir dalam wisudamu. Nanti mama suruh Rina dan Lidya aja yang menghadiri wisudamu ya?”
“Emangnya Mama kenapa?”
“Nanti aja setelah wisudamu selesai, akan mama ceritakan.”
“Papa gimana?”
“Sejak mama pulang dari Jogja sampai hari ini papamu belum muncul juga. Biarlah, mama sudah lupakan papamu. Yang penting, mama sudah punya kamu secara lahir dan batin.”
“Iya Mam. Semoga Mama sehat - sehat aja ya. Soal yang akan menghadiri wisudaku, gak apa diwakili oleh Mbak Rina dan Mbak Lidya juga.”
“Kamu juga Sayang. Semoga sehat selalu yaaa…”
Tiga hari setelah Mbak Artini diperawani olehku, datang WA darinya pas aku sedang di kampus. Isinya :
-Sekarang udah sembuh Bon. Kapan mau “ditengok” lagi?-
Aku mengerti apa yang dimaksud “ditengok” itu. Memang sejak kuambil keperawanannya, Mbak Artini belum pernah kusetubuhi lagi. Dan kini dia sudah kangen pada kejantananku. Ingin “ditengok” lagi. Hahahaaaa…!
Lalu kubalas WA itu dengan :-Iya Mbak. Sekarang aku masih di kampus. Pulangnya sekitar jam 8 malam. Nanti aku langsung aja ke rumah Mbak ya. Pintu untuk jalan rahasia itu jangan dikunci ya-
Lalu datang lagi balasan darinya: -Iya Sayang. Aku tunggu ya. Emwuaaaah …! -
Jam setengah delapan malam aku baru bisa meninggalkan kampus. Dan seperti yang sudah kujanjikan, setibanya di depan rumah Mbak Artini yang berdampingan dengan rumah kos, aku langsung menyelinap ke gang kecil di samping rumah Mbak Artini. Di situ ada pintu besi yang menghadap ke gang.
Pintu itu tidak dikunci seperti yang kuminta. Namun setelah berada di dalam, kukuncikan pintu besi itu. Kemudian masuk ke ruangan tengah, di mana Mbak Artini sudah menungguku dengan senyum manis di bibirnya.
Aku pun memenuhi janjiku. Untuk menyetubuhi Mbak Artini habis - habisan malam itu.
Dan aku semakin yakin betapa mendalamnya cinta Mbak Artini padaku
Sehari menjelang hari wisudaku, Mbak Rina dan Mbak Lidya sudah tiba di Jogja. Bahkan mereka sudah cek in di sebuah hotel bintang lima. Setelah mereka berada di hotel itu, barulah Mbak Rina call ke ponselku.
”Kenapa Mbak gak ngasih tau dulu sebelumnya, supaya aku bisa jemput ke stasiun?” tanyaku di dekat hapeku.
Mbak Rina menjawab, “Jogja kan gak asing lagi bagi kita. Semua anak Papa dan Mama lahir dan dibesarkan di Jogja kan? Lagian kami gak mau ganggu kesibukan.. mu yang sedang mempersiapkan wisuda-an. “
“Aaaah… cuma mau diwisuda kan gak perlu nyiapin apa - apa Mbak. Jubah toga dan topi wisuda kan sudah siap. Kalau mau jadi pengantin, baru sibuk urus sana - sini. Ya udah nanti malam aku akan datang ke hotel. “
“Bukan cuma datang ke hotel. Kamu harus tidur nemenin kami di hotel. Kami kan takut juga tidur berdua sama - sama cewek. Sekalian ingin ngobrol banyak sama kamu Bon. “
“Iya Mbak iyaaa. Jadi besok pergi ke tempat wisuda, start dari hotel aja ya. “
“Iya, begitu lebih bagus Bon. “
Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menuju kamar mandi. Dan mandi sebersih mungkin.
Kemudian aku berdandan dengan agak tergesa - gesa.
Sambil menjinjing dua kantong plastik berisi pakaian wisuda dan pakaian resmiku, dengan stelan jas, kemeja putih dan dasi. Juga ada sepatu baru yang akan kupakai di hari wisuda besok.
Sebelum berangkat ke hotel, aku pamitan dulu kepada Mbak Artini. Kujelaskan bahwa aku akan nginap di hotel, tempat kedua kakakku menginap. Dan besok pagi akan langsung menuju gedung tempat diselenggarakannya wisuda angkatanku.
Mbak Artini tampak bersemangat, meski dia tak bisa hadir dalam wisudaku. Karena menurut peraturan, hanya dua orang keluarga yang dibolehkan menghadiri wisudaku. Jadi Mbak Artini harus mengalah, untuk tidak menghadiri wisudaku.
Yang membuatnya bersemangat, adalah bahwa sekitar tiga hari lagi dia akan mengantarkanku ke tempat kakaknya yang suka dipanggil Mbak Lies itu.
Setelah cipika cipiki dengan Mbak Artini, aku pun meninggalkan rumahnya dan berangkat menuju hotel dengan menggunakan taksi. Tidak menggunakan motor gede kesayanganku.
Tak lama kemudian aku pun sudah berada di lantai lima dalam hotel bintang lima itu. Langsung kau mengetuk pintu yang nomornya sesuai dengan keterangan Mbak Rina. Pintu itu pun dibuka. Mbak Lidya yang membukanya, dengan senyum ceria di bibirnya. Lalu kami berpelukan dan cipika - cipiki.
Tapi berbeda dengan biasanya. Kali ini Mbak Lidya tak sekadar mencium sepasang pipiku, tapi juga… bibirku.
Mbak Rina juga sama. Dia menyambutku dengan pelukan hangat, lalu mencium sepasang pipiku dan juga bibirku…!
Tentu saja perasaanku jadi lain. Tapi aku berusaha melupakannya. Dan menganggap bahwa hal itu hanya karena ingin menyatakan kegembiraan mereka atas akan diwisudanya aku besok.
Lalu kami ngobrol ke barat ke timur sebagaimana biasanya kalau kumpul dengan saudara - saudara seperti ini. Termasuk masalah Papa yang tak pulang - pulang ke rumah, juga kami bicarakan.
Aku prihatin juga mendengar cerita tentang Papa itu. Terutama merasa prihatin kepada Mama.
Kedua kakakku itu memang sama bentuknya. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Perawakan mereka memang mirip. Tapi ada perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua. Kulit Mbak Rina agak gelap, sementara Mbak Lidya putih bersih. Mbak Rina berambut panjang dan hitam warnanya. Sedangkan rambut Mbak Lidya hanya sebatas bahu, diwarnai kecoklatan pula.
Memang Mbak Rina biasa tampil seadanya. Sementara Mbak Lidya agak pesolek.
Tapi setelah makan malam bersama di luar hotel, Mbak Rina dan Mbak Lidya jadi kompak untuk mengutarakan sesuatu padaku, ketika kami sudah berada di dalam hotel lagi. Kami duduk di atas sofa. Aku duduk di tengah, Mbak Rina di sebelah kiriku, Mbak Lidya di sebelah kananku.
Pada saat itulah Mbak Rina tampak serius dan berkata, “Bon… terus terang aja ada sesuatu yang ingin kami minta bantuanmu saat ini. “
“Bantuan masalah apa Mbak?” tanyaku.
“Aku dan Mbak Rina ini masih sama - sama perawan Bon, “Mbak Lidya yang menyahut.
“Lalu?” aku memandang Mbak Lidya, lalu memandang Mbak Rina. Dengan benak penuh tanda tanya.
“Kita kan sesama saudara,” kata Mbak Rina, “Jadi kita ngomong to the point aja ya Bon. “
“Iya… iya…” sahutku.
Mbak Lidya memegang pergelangan tangan kananku sambil berkata, “Kami ingin merasakan seperti apa nikmatnya bersetubuh itu Bon. “
“Haaa?! “aku tersentak. Memandang wajah Mbak Lidya, lalu memandang wajah Mbak Rina di sebelah kiriku.
“Betul Bon,” ucap Mbak Rina, “Kamu pasti mau memberikan apa yang kami inginkan. “
“Iya Bon,” kata Mbak Lidya, “kami akan memasrahkan keperawanan kami kepadamu. “
“Ta… tapi kita kan saudara Mbak,” sahutku rikuh.
“Alaaaa… jangan munafik lah Bon. Kami tau kok apa yang sering kamu lakukan dengan Mbak Weni dahulu. Kalau Mbak Weni sering kamu setubuhi, kenapa kami gak bisa diperlakukan secara adil? “
“Mbak Weni ngomong begitu?” tanyaku dengan perasaan serba salah.
“Kami sering ngintip kamu bersetubuh dengan Mbak Weni dahulu. Mbak Weni sih gak pernah ngomong apa - apa. “
Aku tertunduk dan berkata, “Sebelum bersetubuh denganku, Mbak Weni sudah gak perawan lagi. “
“Nah… apalagi kalau begitu. Mbak Weni yang sudah gak perawan lagi, kamu setubuhi terus - terusan. Sedangkan kami… dijamin masih perawan Bon. “
“Tapi kenapa justru aku yang harus mengambil keperawanan Mbak - Mbak?” tanyaku dengan perasaan yang mulai terpengaruh.
Mbak Lidya yang menyahut, “Kami bukan cewek jelek kan? Dengan gampang kami bisa mengajak cowok mana pun untuk begituan. Tapi kami pikirkan akibatnya kelak. Cowok itu pasti membocorkan rahasia kami kepada teman - temannya. “
“Betul,” kata Mbak Rina, “Kalau dengan saudara, rahasia kami pasti terjamin. Kami yakin kamu takkan mau menceritakannya kepada orang lain. “
“Besok aku kan mau diwisuda,” sahutku mengambang. Karena sebenarnya aku semakin terpengaruh oleh keinginan mereka.
“Diwisuda kan cuma duduk di antrian. Lalu naik ke atas podium setelah tiba giliranmu. Jangan bodoh Bon. Mau dikasih dua perawan malam ini kok malah seperti ogah - ogahan gitu. “
Aku terdiam. Lalu membulatkan tekadku dan berkata tegar, “Oke deh… mau siapa dulu? Mbak Rina dulu atau Mbak Lidya dulu?”
“Siapa pun duluan sama aja. Jadi terserah kamu aja,” sahut Mbak Rina sambil melepaskan gaunnya.
Mbak Lidya pun kompak. Melepaskan celana corduroy coklat tua dan baju kaus coklat mudanya. Sehingga kedua kakakku itu sudah sama - sama tinggal mengenakan celana dalam dan beha.
Beha mereka pun dilepaskan. Sehingga sepasang toket mereka yangberimbang mulai kelihatan. Sama - sama berukuran sedang. Tidak gede, tapi juga tidak kecil.
Dalam keadaan tinggal bercelana dalam begitu, perbedaan Mbak Rina dengan Mbak Lidya mulai kelihatan. Bahwa kulit Mbak Rina lebih gelap daripada kulit Mbak Lidya yang putih bersih. Tapi ukuran badan mereka kelihatannya sama. Tinggi langsing dan serba proporsional ukurannya.
Namun setelah celana dalam mereka dilepaskan, tampak perbedaan yang mencolok. Kemaluan Mbak Rina ada jembutnya, tapi digunting dengan rapi, sehingga bentuk kemaluannya tetap kelihatan jelas. Sedangkan kemaluan Mbak Lidya tercukur bersih.