Kenikmatan Didalam Keluarga Besarku 2-4



Tanpa membantah, kuangsurkan moncong pnisku ke mulut vgina Mama.


Mama pun membantu dengan memegangi leher pnisku. Mungkin agar arahnya tepat sasaran. “Iiiih… gedenya pnismu ini Bon. Gak nyangka pnis anak kesayangan mama sudah sepanjang dan segede ini.”


“Umurku sekarang kan sudah duapuluhtiga tahun Mam.”


“Iya. Tapi pnis papamu aja gak segede dan sepanjang ini Sayang. Ayo dorong… !”


Tanpa mikir lagi kudesakkan pnisku sekuatnya. Dan… langsung melesak masuk ke dalam liang vgina Mama.


Mama seperti menahan nafasnya. Lalu berkata, “Terasa sekali bedanya pnismu dengan punya papamu. pnismu jauh lebih gede… pasti jauh lebih enak daripada punya papamu. Ayo entotin Bon.”


Tanpa membantah, aku mulai mengayum pnisku, bermaju mundur di delam liang vgina Mama.


“Mam… uuuugggghhhh… Maaaam… ternyata vgina Mama enak sekali Maaaaam…” ucapku tanpa memperlambat gerakan entotanku.


Mama memeluk leherku, lalu merapatkan pipinya ke pipiku sambil berkata terengah, “Kon… pnismu juga… enak sekali Sayaaaang… gak nyangka… kita bakal beginian ya…”


“Iii… iyaaaa… yang penting Mama jangan sakit hati lagi sama Papa…”


Pergesekan pnisku dengan dinding liang vgina Mama memang luar biasa nikmatnya. Membuat nafasku jadi berdengus - dengus, diiringi oleh rintihan dan rengekan manja mama yang terdengar sangat erotis di telingaku, “Booonaaaa… aaaaaaahhhh… Booon… aaaaaah… aaaaaaa… aaaaah… entot terus Booon…


ini luar biasa enaknya Bonaaaa… aaaaa… aaaaah… entoooottt teruussss… entooottttttttt… jangan brenti - brenti… entoooooooottttttt… entoooooottttttt… entooooot Sayaaang… entoooooooootttttttt… aaaaaa… aaaaaah… sambil remes tetek mama Booon… iyaaaa… remes terussss…


Aku semakin bergairah untuk melanjutkan persetubuhan dengan Mama ini. Bahkan ketika mulut Mama ternganga - nganga, kupagut bibir yang sedang ternganga itu. Dan ternyata mama menyambut dengan lumatan binal.


Dekapan Mama di pinggangku pun berubah jadi remasan -remasan di bokongku. Maka aku pun semakin bersemangat untuk menjilati leher mama yang sudah mulai keringatan. Membuat Mama terpejam - pejam dan menahan - nahan nafas.


Tapi aku masih sempat berbisik di dekat telinga mama, “Nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Mam?”


“Di… di dalam… me… vgina mama aja… Sayang. Emangnya ka… kamu udah mau ngecrot?”


“Be… belum Mam. Cuma nanya aja.”


Persetubuhan ini semakin bergairah ketika Mama mulai menggoyang pinggulnya… meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke kasur. Sehingga pnisku serasa dibesot - besot oleh dinding liang vgina Mama yang terasa hangat dan licin ini.


Namun tiba - tiba Mama tampak seperti panik, “Bona… Bona! Mama mau lepas… mau lepas… barengin Bon… biar nikmat… mau lepas Bon… mau lepassss… ayo barengin… barengin…”


Aku jadi ikutan panik. Maka kupercepat entotanku dan berusaha ngecrot bareng seperti yang mama inginkan.


Dan akhirnya kutancapkan pnisku di dalam liang vgina Mama, tanpa menggerakkannya lagi. Pada saat itu pula Mama tampak mengejang sambil meremas - remas rambutku, sambil menahan nafasnya dengan mata terpejam erat - erat.


Pada saat itu pula aku sedang melotot sambil merasakan berlompatannya air mani dari moncong pnisku. Crooooootttttt… crooooottttt… crottt… crooottt… crooooooooottttttttt… crot… crooootttt!


Aku terkapar di atas perut Mama. Lalu terkulai lunglai dengan tubuh bermandikan keringat. Seperti Mama juga, yang wajah dan lehernya dibanjiri keringat.


Ketika membuka matanya, Mama tersenyum sambil mencubit pipiku, “Kamu sangat memuaskan Sayaaang… emwuaaaah… emwuaaaaah… !“Mama menciumi sepasang pipiku. Lalu mendorong dadaku, mungkin agar pnisku dicabut dari dalam vginanya.


Aku lakukan itu. Mencabut pnisku yang sudah lemas ini dari liang vgina Mama.


Namun setelah mencabut pnis, aku tengkurap lagi di antara sepasang paha Mama yang masih renggang jaraknya.


Dengan serius kuperhatikan bentuk vgina Mama yang baru mengalami orgasme itu. Memang benar kata para pakar seks, bahwa vgina yang baru mengalami orgasme akan membuka seperti bunga yang baru mekar. Bahkan labia minoranya pun tampak seperti jengger, mengembang dan menghitam. Tapi bagian dalamnya yang berwarna pink itu justru semakin indah dipandang mata.


“Mau diapain lagi vgina mama Sayang?” tanya mama sambil duduk dan membelai rambutku.


“Seneng ngeliat vgina Mama yang baru orgasme. Jadi seperti bunga mekar,” sahutku.


“Masa sih?! Sebentar… mama mau ke kamar mandi dulu. Pengen kencing.”


Mama turun dari bed dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Aku pun bergegas mengikuti Mama, lalu memperhatikan Mama yang sedang duduk di kloset. “Mau ngapain lagi Sayang?”


“Pengen merhatiin seperti apa bentuk vgina yang sedang kencing Mam.”


“Hihihiii… kamu ada - ada aja. Iya deh… liatin nih, seperti apa vgina mama kalau sedang kencing…” ucapku sambil berjongkok di dekat kloset, dengan pandangan terpusat ke vgina Mama.


Mama tersenyum dan duduk di klosetnya agak mundur, agar aku bisa menyaksikan seperti apa bentuk vgina yang sedang kencing itu.


Ssssrrrr… air kencing terpancar dari liang kecil di bagian vgina yang berwarna pink itu. Aku tercengang menyaksikannya. “Waktu aku lahir, keluarnya dari lubang yang berbeda dengan lubang kencing ya Mam,” kataku.


“Ya beda lah. Kamu dikeluarkan dari lubang yang dientot sama kamu tadi,” sahut Mama sambil menyemprotkan air shower untuk menceboki vginanya.


“Kapan - kapan kalau Mama kencing, aku pengen nyebokin Mama ah…” ucapku sambil berdiri kembali.


“Iya Sayang. Mmm… perutmu masih kenyang kan?”


“Iya, masih kenyang. Emangnya kenapa?”


“Mama sudah kangen sama gudeg Jogja.”


“Ya ayo kuanter. Dekat hotel ini ada warung gudeg yang murah tapi enak. Di Jogja sih jangan asal - asalan beli gudeg di tempat yang ramai sama turis. Salah - salah bisa ditekuk harganya. Mending kalau enak gudegnya. Yang jualan bukan orang Jogja kok.”


“Iya. Ntar mama mau bersih - bersih dulu. Badan mama penuh keringat nih. Lengket - lengket.”


Aku pun kencing dulu di kloset bekas Mama kencing tadi. Kemudian keluar dari kamar mandi. Mengenakan pakaian kembali. Dan duduk di satu - satunya sofa dalam kamar ini.


Sekilas bayangan masa laluku menggelayuti terawanganku. Tentang segala yang pernah terjadi ketika Papa dan Mama masih tinggal di Sleman. Karena pada saat itu Papa masih bekerja di Jogja.


Tapi setelah Papa dimutasikan ke Jabar, semuanya pindah ke Jabar. Hanya aku yang tetap tinggal di Jogja. Di rumah kos milik Bu Artini itu, karena rumah dinas Papa dihuni oleh keluarga lain setelah Papa dipindahkan ke Jabar.


Tentu saja aku takkan dapat melupakan semuanya itu. Berawal dari dalam rumah kami sendiri. Bahwa aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakakku perempuan semua. Sebut saja Mbak Weni yang tertua, Mbak Rina yang kedua, Mbak Lidya yang ketiga dan aku bernama Bona (disamarkan semua) yang keempat alias anak bungsu.


Beda usia kami hanya setahun - setahun. Lucu ya? Mbak Weni 21 tahun, Mbak Rina 20 tahun, Mbak Lidya 19 tahun dan aku 18 tahun.


Menurut penuturan Mama, sengaja Papa dan Mama “bikin anak” setahun sekali, lalu distop (masuk KB) setelah anaknya 4 orang. Jadi capeknya sekaligus pada waktu kami masih kecil - kecil. Setelah “target”nya terpenuhi (punya anak empat orang), Mama tidak perlu hamil lagi. Cukup dengan mengasuh kami berempat yang perbedaan usianya dekat - dekat ini.


Ketiga kakakku terasa sangat menyangiku sebagai satu - satunya saudara mereka yang cowok. Begitu juga Papa dan Mama selalu memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu dikasih. Tapi tentu saja permintaanku bukan yang mahal - mahal. Paling juga minta dibeliin sepatu olahraga, minta dibeliin bat pingpong dan bola basket.


Aku dan kakak - kakakku pada kuliah semua, sesuai dengan indoktrinasi dari Papa, bahwa harta itu ada habisnya. Tapi ilmu takkan habis - habis sampai kapan pun.


Aku sendiri kuliah di fakultas pertanian. Karena sejak masih di SMA, aku ingin sekali jadi insinyur pertanian.


Baik Papa mau pun Mama tidak menghalang - halangi pilihanku. Karena semua fakultas itu baik, kata mereka. Begitu pula kakak - kakakku ikut mendukung saja pada pilihanku untuk kuliah di fakultas pertanian.


Di antara kakak - kakakku, Mbak Weni yang paling baik padaku. Dia sering nraktir makan baso, martabak manis, pizza dan sebagainya. Dia memang selalu banyak duit. Tapi aku tidak tahu darimana dia selalu punya duit banyak begitu. Mungkin dari pacarnya atau entah dari mana. Tapi setahuku Mbak Weni tidak punya pacar.


Tapi biarlah, itu urusan pribadinya yang tak perlu kucampuri. Yang jelas aku merasa Mbak Weni selalu mendukungku dalam hal apa pun. Misalnya pada waktu aku sedang mengikuti pertandingan olah raga, baik pertandingan bola basket mau pun tenis meja, Mbak Weni selalu berusaha membawa teman - temannya untuk menjadi suporterku.


Mbak Weni juga selalu membelaku kalau sedang berdebat dengan Mbak Rina mau pun Mbak Lidya.


Tapi sebenarnya aku tak pernah bertengkar dengan ketiga kakakku. Paling hanya berdebat sedikit, lalu ketawa - ketiwi lagi.


Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa.


Sampai pada suatu hari. Papa dan Mama terbang ke Palembang untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupuku.


Mbak Rina pun dibawa, karena dia senang merias pengantin. Maklum Mbak Rina bercita - cita ingin memiliki salon yang besar dan punya cabang di beberapa kota.


Sementara itu


Mbak Lidya sedang study tour ke Jawa Timur, sehingga di rumah hanya ada aku, Mbak Weni dan pembantu yang tiap pagi datang, lalu pulang setelah sore.


Aku bahkan diingatkan oleh Papa, agar jangan meninggalkan rumah kalau tidak ada urusan yang penting. Supaya di rumah kami tetap ada cowoknya.


Namun pada saat inilah mulai terjadinya kisah yang takkan kulupakan di seumur hidupku. Awalnya Mbak Weni berkata padaku, “Bona… rumah ini jadi terasa sepi dan agak menakutkan. Nanti malam tidur di kamarku aja ya.”


“Iya Mbak,” sahutku yang selalu menurut kepada kakak sulungku itu. Karena dia juga selalu berbaik hati padaku.


Setelah mandi sore, aku diajak makan bersama Mbak Weni. Pada saat itu Mbak Atiek, pembantu kami, sudah pulang. Sehingga kami bebas mau ngomong apa saja.


Pada waktu makan sore itulah Mbak Weni menanyakan sesuatu yang tidak biasa ditanyakannya.


“Bona… kamu udah punya pacar belum?” tanyanya.


“Belum,” sahutku, “Mbak sendiri udah punya?”


“Dulu waktu masih di SMA sih punya. Sekarang sie gak punya. Pacaran itu buang - buang waktu doang. Teman dekat sih banyak. Tapi gak mau pacaran dulu. Nanti kalau udah sarjana, langsung nyari calon suami aja. Jangan cuma pacaran mulu.”


“Aku juga gitu Mbak. Otak mendingan dipake buat kuliah. Pacaran sih nanti aja kalau udah punya kerja. Pacaran kan butuh biaya juga. Buat traktir makan - makan lah, buat nonton bioskop lah.”


Mbak Weni mengangguk - angguk sambil tersenyum.


Ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, seperti biasa kalau sudah mau tidur, kukenakan celana training dan baju kaus oblong. Lalu masuk ke dalam kamar Mbak Weni.


Kulihat Mbak Weni sedang asyik dengan hapenya. Entah sedang WA sama siapa. Yang jelas dia sering tersenyum sendiri sambil memandang layar hapenya.


Aku pun langsung naik ke atas bednya yang selalu harum parfum mahal. Ini salah satu yang kusukai pada kakak sulungku itu. Kamarnya selalu harum, apalagi tempat tidurnya ini.


Tak lama kemudian Mbak Weni pun mematikan hapenya, lalu men-charge-nya.


Pada saat itu Mbak Weni juga sudah mengenakan dasternya yang berwarna pink polos. Setelah mematikan lampu terang dan menyalakan lampu tidur berwarna biru, dia naik juga ke atas tempat tidurnya.


“Yong… kamu udah pernah ngerasain begituan sama cewek?” tanyanya.


“Haa? Belum lah.”


“Masa sih?!”


“Sumpah, aku belum pernah begituan. Emangnya kenapa?”


“Megang vgina cewek sih pernah kan?”


“Belum juga Mbak. Jangankan megang vgina. Megang toket juga belum pernah.”


“Kasian… udah jadi mahasiswa belum pernah ngapa - ngapain. Padahal kamu ini ganteng lho. Tapi kamu gak pernah memanfaatkan kegantenganmu ini ya?”


Aku tidak menanggapi ucapan kakak sulungku itu.


Mbak Weni bahkan memeluk pinggangku sambil bertanya setengah berbisik, “Kamu mau nyobain ngentot nggak?”


“Haaa? Sama siapa?” tanyaku kaget.


“Sama aku lah. Emangnya sama kucing? Hihihihiii…”


“Nggak apa - apa Mbak? Kan Mbak Weni kakakku.”


“Nggak apa - apa. Asal bisa nyimpen rahasia aja. Jangan sampai Mama dan saudara - saudara kita tau.”


Sebagai cowok yang baru berumur 18 tahun, tentu saja aku langsung tertarik oleh tawaran Mbak Weni itu. Bahkan pada saat itu juga aku mulai memandang Mbak Weni dari sisi lain. Bukan dari sisi seorang adik kepada kakak kandungnya, melainkan sisi seorang cowok kepada cewek yang cantik dan berperawakan seksi.


“Mau Mbak. Tapi aku belum berpengalaman. Gimana?”


“Gampang soal begituan sie. Dalam semenit dua menit juga bakal langsung pandai,” kata Mbak Weni sambil duduk dan melepaskan daster pink itu lewat kepalanya.


Dan aku cuma bisa terbengong - bengong. Karena Mbak Weni jadi tinggal mengenakan celana dalam saja, sementara toketnya terbuka penuh karena tidak ada beha di balik daster pink itu.


Dengan ragu - ragu kupegang payudara Mbak Weni itu.


Mbak Weni malah mengangsurkan toketnya sambil berkata, “Mau netek kayak bayi? Ayolah… jangan canggung gitu.”


Seperti robot, kulakukan saja apa yang Mbak Weni tawarkan itu. Kukulum pentil toketnya lalu kusedot - sedot seperti bayi yang sedang menetek.


Tapi bukan cuma itu yang bisa kulakukan. Mbak Weni menarik tanganku dan menyelinapkannya ke balik celana dalamnya. Dan langsung menyentuh vginanya…!


Saat itu aku memang belum pernah menytubuhi perempuan. Tapi nonton film bokep sih sering. Karena itu aku tidak terlalu bingung juga. Aku tahu juga apa yang harus kulakukan ketika keadaan sudah menjadi seperti ini. Bahwa ketika aku masih asyik menyedot - nyedot dan menjilati puting payudara kakakku, tanganku yang berada di balik celana dalamnya pun mulai asyik mencolek - colek celah kemaluannya yang tidak berjembut dan mulai membasah ini.


Ketika jemariku mulai kuselinapkan ke dalam celah vgina Mbak Weni, kutemukan celah itu basah, hangat dan licin. Nafasku pun semakin tak beraturan.


Tampaknya Mbak Weni menyadari apa yang sedang terjadi pada diriku. Bahwa nafasku sulit diatur lagi.


“Kamu sudah sangat bernafsu ya?” tanya Mbak Weni sambil mengelus rambutku, “Ya udah… kita mulai aja.”


Tanpa canggung Mbak Weni melepaskan celana dalamnya. Lalu celentang dan merenggangkan kedua pahanya, sambil mengelus - elus kemaluannya. “Ayo… lepasin baju dan celanamu…”


Tanpa membantah kulepaskan kaus oblong dan celana trainingku, sehingga aku jadi langsung telanjang, karena setiap mau tidur aku tak pernah memakai celana dalam.


“Anjriiiittttt…! “Mbak Weni tampak kaget. Bangun dan memegang penisku yang sudah ngaceng berat ini. “Sudah bertahun - tahun kita gak pernah mandi bareng. Tau - tau sekarang pnismu jadi panjang gede gini Bon. Hihihiii… pasti asyik dientot sama pnis sepanjang dan segede gini sih.”




Aku masih ingat benar, ketika pnis ngacengku menerobos liang vgina Mbak Weni, rasanya tidak terlalu sulit. Berarti Mbak Weni tidak perawan lagi? Entahlah. Yang jelas aku mulai merasakan enaknya liang vgina Mbak Weni ketika pnisku mulai bermaju mundur di dalamnya. Ada rasa geli - geli enak ketika pnisku bergesekan dengan dinding liang vgina Mbak Weni yang terasa bergerinjal - gerinjal empuk, hangat dan licin.


Mbak Weni pun tampak enjoy dengan entotanku. Ia mendekap pinggangku erat - erat sambil berbisik, “pnismu gede banget Bon. Enak sekali… ayo entot terus… jangan mandeg - mandeg.”


Mbak Weni bertubuh tinggi montok. Dengan bokong dan sepasang toket yang gede. Dan aku sangat menikmati kelebihan - kelebihan kakak sulungku itu.


Mbak Weni sendiri yang mengajariku bagaimana caranya mengemut pentil toket gedenya, menjilati lehernya dan mencium bibirnya. Dalam tempo singkat saja aku mulai mahir mengentot liang vgina Mbak Weni yang luar biasa enaknya ini.


Mbak Weni pun mulai berdesah - desah dan merintih - rintih perlahan. “Bona… aku jadi semakin sayang padamu Bon… entot terus Bon… entoooot teruuussss… oooooh… pnismu memang luar biasa enaknya Bon…”


“Tempik Mbak juga enak sekali… luar biasa enaknya Mbak… uuuugggghhh… uuuuughhhh…” sahutku dengan nafas berdengus - dengus, sambil menikmati geli - geli enaknya gesekan antara pnisku dengan dinding liang vgina kakak sulungku.


Itu adalah pertama kalinya aku merasakan nikmatnya mengentot cewek. Kebetulan saja ceweknya adalah kakak sulungku sendiri yang tubuhnya bahenol itu.


Tapi pengalaman pertama ini membuatku sama sekali tidak bisa mengontrol diri. Sehingga hanya belasan menit aku mengayun pnisku, lalu aku seperti merasakan sesuatu yang membuatku panik. “Mbak… ka… kayaknya aku ma… mau jrot nih,” ucapku tergagap.


“Ha?! Ooooh… kamu baru pertama kalinya merasakan ngentot vgina cewek ya. Ayo lepasin di dalam tempikku aja Bon…” sahut Mbak Weni dengan sorot kecewa.


Maka kurasakan semua itu. Sesuatu yang paling nikmat di dunia ini. Bahwa moncong pnisku mengecrot - ngecrotkan air mani di dalam liang tempik kakak sulungku. Crot… croooot… crooooooot… crooooot… croooooooootttt… croooott… crooooooottttttt…!


Aku mendengus - dengus di atas perut Mbak Weni, lalu terkapar dan terkulai lemah.


Mbak Weni menciumi bibirku. Lalu bertanya, “Enak gak vginaku Bon?”


“Enak banget. Tapi cuma bisa sebentar ya Mbak.”


“Biasa kalau pertama kali sih gak bisa bertahan lama - lama. Jangan dicabut dulu pnisnya ya. Mungkin sebentar lagi juga ngaceng kembali.”


“Iya Mbak. Aku kok jadi semakin sayang sama Mbak.”


“Sama. Aku juga makin sayang sama kamu Bon. Tapi ingat… kamu harus bisa merahasiakan semuanya ini ya. Jangan sampai Rina dan Lidya tau. Apalagi Papa dan Mama, sama sekali jangan sampai mencium gelagat semuanya ini.”


“Iya Mbak. Dijamin soal itu sih. Aku pasti akan tutup mulut. Tapi… barusan aku ngecrot di dalam tempik Mbak, apa gak bakal bikin Mbak hamil?”


“Nggak mungkin. Aku kan sudah disuntik kabe. Berapa puluh kali juga kamu ngecrot di dalam tempikku, takkan membuatku hamil.”


“Ogitu ya. Keliatannya Mbak sudah pengalaman ya.”


“Iya. Tapi awas… jangan bilang - bilang sama orang lain. Ini rahasia terbesarku.”


“Iya Mbak, aku bakal tutup mulut. Soal itu kan masalah yang paling pribadi buat Mbak.”


“Hey Bon… pnismu udah mulai ngaceng lagi nih,” kata Mbak Weni sambil menggerak - gerakkan bokongnya sedemikian rupa, sehingga pnisku terasa seperti sedang disedot - sedot dan digesek - gesek oleh liang vgina kakak sulungku.


Mbak Weni pun memberi instruksi, “Entotin pelan - pelan dulu… jangan sampai lepas… iyaaaa… iyaaaaa… naaaaah… mulai ngaceng bener kan?”


“Iya Mbak… jadi enak lagi Mbak… uuugggh… uuuuggghhh…”


“Ayo entot terus… sekarang sih pasti kamu bisa lama ngentot aku.”


O senangnya hatiku, bisa mengentot lagi. Bahkan kali ini benar seperti yang dikatakan oleh Mbak Weni. Aku bisa bertahan lama di atas perut kakak sulungku yang baik hati itu.


Keringatku pun sampai bercucuran, karena lebih dari sejam aku mengayun pnisku, namun gejala - gejala mau ngecrot sepertinya masih jauh.


Malam itu bukan cuma dua kali aku mengentot kakak sulungku. Tengah malam, Mbak Weni seperti yang bernafsu lagi. Dengan binalnya kakak sulungku itu menyelomoti pnisku sampai ngaceng lagi. Saat itu ia memilih untuk bermain di atas. Ia memasukkan pnisku ke dalam liang tempiknya. Kemudian ia yang aktif membesot - besot pnisku, dengan menaik - turunkan bokongnya di atas tubuhku.


Setelah aku ngecrot untuk yang ketiga kalinya, kami tertidur nyenyak sambil berpelukan, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.


Tapi menjelang subuh, kurasakan sesuatu yang bergerak - gerak di batang kemaluanku. Ketika aku membuka mata, ternyata Mbak Weni sedang asyik menyelomoti pnisku, sambil mengurut - urut bagian yang tidak terkulum olehnya.


Karuan saja pnisku jadi ngaceng lagi.


Kemudian Mbak Weni menungging sambil mengajakku bersetubuh lagi, kali ini dalam posisi anjing - anjingan (doggy).


Aku menurut saja. Sambil berlutut dan menghadap ke arah pantat Mbak Weni, kumasukkan pnisku ke dalam liang vgina Mbak Weni. Kemudian kuayun lagi pnisku dalam posisi doggy ini.


Ternyata dalam posisi bagaimana pun gesekan antara pnisku dengan dinding liang vgina kakak sulungku, sama saja enaknya.


Meski masih subuh, keringatku mulai bercucuran, karena cukup lama aku mengentot kakak sulungku dalam posisi doggy ini.


“K ok malah ngelamun? Katanya mau nganter mama ke warung gudeg itu,” kata Mama membuyarkan terawangan masa laluku. Ternyata Mama sudah selesai berdandan. Mengenakan celana corduroy biru tua dan baju kaus hitam yang tadi tak jadi dikenakannya itu.


“Iya Mam. Aku kan sudah pakai baju. Tinggal berangkat aja,” sahutklu sambil berdiri.


Kemudian kami melangkah menuju warung nasi gudeg itu. Warung yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat kami cek in.


Yang paling kusukai di warung ini, gudegnya selalu dengan ayam kampung. Selain itu, di warung ini selalu tersedia emping besar, sebesar piring dan dilipat dua.


“Pernah belasan tahun tinggal di Sleman, belum puas juga makan gudeg Jogja Mam?” ucapku ketika kami mulai menyantap nasi gudeg di warung kecil itu.


“Justru setelah jauh dari Jogja, mama jadi kangen sama gudegnya. Di Subang kan susah nyari gudeg yang seperti ini. Ada juga yang jual gudeg, tapi rasanya tidak seenak di Jogja ini.”


Aku tercenung. Bukan memikirkan ucapan Mama. Tapi teringat lagi betapa seringnya aku masuk ke dalam kamar Mbak Weni setelah Papa, Mama, Mbak Rina dan Mbak Lidya berada di Jogja kembali.


Sampai pada suatu hari, aku baru tiba di depan rumah kos Jono, di Bintaran Wetan. Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang cewek berperawakan tinggi montok. Cewek itu mau masuk ke dalam sebuah sedan bersama seorang lelaki tua yang tidak kukenal. Tapi ceweknya jelas sekali… dia adalah Mbak Weni…


Aku tercengang. Mau memanggil kakak sulungku itu. Tapi Mbak Weni kebetulan melihat kehadiranku juga di depan rumah kos Jono itu. Lalu Mbak Weni mengedipkan sebelah matanya padaku sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.


Itu isyarat agar aku jangan ribut atau jangan mengluarkan suara. Aku pun terdiam. Lalu kulihat Mbak Weni masuk ke dalam sedan hitam itu. Kemudian sedan hitam itu bergerak menjauh sampai akhirnya hilang dari pandanganku.


Ingin sekali aku memacu motorku untuk mengejar sedan hitam itu. Karena aku ingin tahu siapa lelaki tua yang membawa Mbak Weni itu. Tapi bukankah tadi Mbak Weni mengedipkan sebelah matanya sambil memberi isyarat yang kuartikan menyuruhku diam dan jangan mendekatinya?


Hal itu membuatku gelisah. Sehingga niat untuk menjumpai Jono, sahabatku pun kubatalkan. Aku pun pulang kembali ke Sleman. Dengan pikiran tak menentu.


Apakah Mbak Weni sudah menjadi cewek gak bener dan biasa dibawa oleh bapak - bapak yang ingin bersenang - senang dengan daun muda?


Keesokan harinya barulah aku mengetahui siapa lelaki tua yang membawa Mbak Weni dengan sedan hitamnya itu.


Mbak Weni sengaja mengajakku nongkrong di café. Kemudian memberikan penjelasan padaku,”


“Dia itu calon suamiku Bon. Mungkin bulan depan juga aku akan menikah dengannya, kemudian dibawa pindah ke Jakarta,” ucap Mbak Weni yang sangat mengejutkanku itu.


“Maaf Mbak… lelaki setua itu akan menjadi suami Mbak?” tanyaku bernada complain.


“Why not? Di zaman sekarang menikah dengan lelaki tua sudah tidak aneh lagi. Wanita tua kawin dengan cowok yang masih sangat muda pun banyak,” sahut Mbak Weni sambil tersenyum, “Yang penting masa depanku terjamin.”


Aku tidak berani mendebat ucapan kakak sulungku itu. Tapi aku mulai punya prediksi, bahwa selama ini Mbak Weni selalu banyak uang, tentu berasal dari lelaki tua yang katanya calon suaminya itu.


“Kamu jangan sedih ya Bon, “Mbak Weni menepuk - nepuk punggung tanganku yang berada di atas meja café. “Setelah aku dibawa pindah ke Jakarta pun, kita tetap bisa ketemuan. Mungkin aku yang ke Jogja atau kamu yang ke Jakarta. Terus ketemuan di hotel. Atau langsung datang ke rumahku. Kamu kan adikku.


Wajar kalau adik mendatangi rumah kakaknya kan? Kita tetap bisa melakukannya, karena calon suamiku itu poligami. Aku cuma akan dijadikan istri keempatnya. Jadi dalam sebulan paling juga cuma seminggu dia bersamaku. Tiga minggu bersama ketiga istri lainnya yang dijatah seminggu untuk seorang istrinya.


Aku tidak tertarik pada tawaran itu. Aku malah bertanya soal lain, “Lalu kuliah Mbak nanti gimana?”


“Dilanjutkan di Jakarta kan bisa. Tapi aku kan cewek Bon. Berhenti kuliah juga gak apa - apa. Beda dengan kamu… lanjutkan terus kuliahmu ya Bon. Nanti setelah aku menikah, aku akan selalu transfer duit untuk menutupi kekurangan - kekuranganmu.”


Sebulan kemudian Mbak Weni benar - benar menikah dengan lelaki tua yang lalu kukenal sebagai Bramantio itu. Papa dan Mama pun tidak memperlihatkan sikap menolak. Mereka bahkan tampak merestui pernikahan Mbak Weni dengan lelaki tua yang lalu harus kubiasakan memanggilnya Mas Bram itu.


Janji Mbak Weni pun dipenuhi. Tiap bulan dia mentransfer dana yang cukup besar ke rekening tabunganku. Padahal aku lebih merindukan Mbak Weni. Bukan transferan duitnya.


Ya… aku jadi merasa kehilangan kakak sulungku itu. Kehilangan kakak yang murah hati. Kehilangan penyaluran manakala nafsu birahiku datang menggoda.


“Melamun lagi,” ucap Mama sambil menepuk bahuku setelah selesai makan. Terawanganku pun buyar seketika.


“Bukan melamun… tapi sedang memikirkan skripsi yang sedang kubuat Mam,” sahutku berbohong.


“Baguslah. Kamu harus menyelesaikan kuliahmu. Jangan seperti Weni yang putus kuliah di tengah jalan,” sahut Mama.


Entah kenapa, dengan Mama aku tak mau membahas masalah Mbak Weni. Karena aku memiliki segudang kenangan dengan Mbak Weni, yang tetap kurahasiakan kepada siapa pun.


Bahkan transferan dari Mbak Weni yang selalu kuterima setiap bulan itu pun selalu kurahasiakan. Karena Mbak Weni ingin agar hal itu dirahasiakan.


Setelah berada di dalam kamar hotel lagi, aku bertanya, “Bukannya mau ke Malioboro Mam?”


“Besok lagi aja ah. Sekarang mama pengen kangen - kangenan sama kamu aja. Mumpung mama masih di sini,” sahut Mama sambil melepaskan celana corduroy biru tuanya berikut celana dalamnya sekalian. Lalu Mama menatapku sambil mengusap - usap vginanya, dengan senyum yang menggoda.


Aku terbengong - bengong. Nafsuku pun bergejolak lagi setelah melihat “tantangan” di depan mataku itu. “Iya deh… aku juga udah kepengen lagi Mam…” ucapku sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku.


Lalu aku naik ke atas bed, sementara Mama sedang melepaskan baju kaus hitam dan beha putih bersihnya. Aku pun melepaskan baju kausku, sehingga kami jadi sama - sama telanjang bulat lagi.


“Jilatin dulu vgina mama Sayang,” kata Mama sambil mengusap - usap vginanya yang masih “terkatup”, belum kelihatan bagian yang berwarna pinknya.


Aku mengangguk, lalu tengkurap di antara kedua paha Mama yang sudah mengangkang.


Kalau dibandingkan dengan vgina Mbak Weni, memang vgina Mama lebih menggiurkan lagi. Bahkan kalau dirasa - rasakan, vgina Mama sedikit lebih enak daripada vgina Mbak Weni. Bedanya cuma satu, Mbak Weni jauh lebih muda daripada Mama.


Yang sangat menyenangkan, Mama senantiasa mengabulkan keinginanku. Apa pun yang ingin kulakukan, selalu disetujuinya. Karena aku pun sadar bahwa Mama paling menyayangiku, sebagai satu - satunya anak cowok Mama.


Dan kini wajahku sudah berhadapoan dengan kemaluan Mama yang ingin dijilati itu.


Maka kungangakan lagi labia mayora Mama dengan kedua tanganku. Sehingga bagian yang berwarna pink itu terbuka lagi dengan jelasnya.


Aku pun mulai menjilati bagian yang berwarna pink itu dengan lahapnya.


“Iyaaaaa… ooooooh enaknya… iyaaaaa… enak sekali Booon… itilnya jangan lupa ya Sayaaaang… jilatin itilnya juga… aaaa… aaaaaaaah…” desah Mama sambil semakin merentangkan jarak di antara sepasang pahanya.





Aku pun mulai mempraktekkan pengalamanku dengan Mbak Weni dahulu. Kujilati itil Mama disertai dengan isapan - isapan yang agak kuat, sehingga biji itil Mama jadi tampak agak “mancung”. Mama pun senang dan berkata tersendaty - sendat, “Iya… itilnya isep - isep begitu Sayang… enak sekali… iyaaaaa…


Makin lama Mama makin klepek - klepek.


Sampai akhirnya Mama berkata tersendat - sendat, “Suuu… sudaaaah Sayaaaang… vgina mama su… sudah basah sekali… ma… masukin aja pnismu… sudah becek liang tempik mama niiiiihhhh…”


Kali ini Mama celentang sambil menarik kedua pergelangan kakinya. Sehingga kedua lututnya berada di samping sepasang toket gedenya.


Cepat aku pun meletakkan moncong pnisku di ambang mulut vgina Mama. Lalu kudesakkan pnis ngacengku sekuat tenaga. Dan… bleeessss… langsung amblas sekujur pnisku… bahkan moncongnya langsung menabrak dasar liang vgina Mama…!


Kedua lipatan lutut Mama bertumpu di sepasang bahuku, sehingga aku tidak bisa merapatkan dadaku ke sepasang toket Mama. Tapi biarlah, yang penting aku bisa mengentot sepuasnya. Dan pnisku bisa langsung menyundul - nyundul dasar liang vgina Mama…!


Wow… ini sesuatu yang baru lagi bagiku. Bahwa dadaku tidak bisa bertempelan dengan sepasang toket Mama, tapi moncong pnisku bisa terus - terusan menggedor dasar liang vgina Mama.


Spontan Mama pun mulai merintih - rintih, “Oooo… oooooohhhhh… Booonaaaa… pnismu panjang sekali Naaaak… terus - terusan menyundul dasar liang vgina mama saking panjangnya… tapi ini enak sekali Sayaaaang… ayo entooot teruuussss… entooot terusssss… entoooooottttttt… entooootttt …


Memang enak juga mengentot Mama dalam posisi kedua kaki Mama berada di sepasang bahuku ini. Tapi aku ingin merapatkan dadaku ke toket Mama. Karena itu kusingkirkan kedua kaki Mama dari bahuku, kemudian menghempaskan dadaku ke sepasang otket Mama. Dan langsung kupagut bibir Mama, lalu kami saling lumat dengan lahapnya.


Dalam posisi yang paling klasik ini aku bukan cuma bisa mengentot sambil mencium bibir Mama, tapi juga bisa meremas toketnya yang masih terasa belum kendor. Terkadang aku menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sehingga rintihan dan rengekan Mama mulai berlontaran dari mulutnya, “Boonaaaa…


aaaaaaaah… kamu kok pandai sekali membuat mama keenakan gini Sayaaaang… ayo entoootttt… entooot teruuuussss Bonaaaa… entooot teruuuuussss… ini luar biasa enaknya… pnismu memang enak sekali… entot teruuussss… entooooooootttt… entoooooottttt… entooootttt…


Makin lama entotanku makin menggila. Mama pun tidak berdiam seperti gebog pisang. Pinggulnya mulai bergoyang - goyang erotis, meliuk - liuk dan memutar - mutar. Sehingga pnisku seolah perahu yang sedang diombang - ambingkan oleh ombak di tengah samudera.


Iya… pnisku terasa dibesot - besot oleh liang vgina Mama yang licin dan empuk serta hangat ini. Tapi aku tak mau kalah. Kuayun terus pnisku bermaju mundur di dalam liang tempik Mama. Makin lama entotanku makin gencar.


Sehingga pada suatu saat Mama mengerang histeris, “Mama sudah mau lepas Sayaaaang… mau lepas… mau lepas mau lepaaaassssssss… aaaa… aaaa …“


Erangan itunterhenti. Nafasnya pun tertahan, sementara sekujur tubuhnya mengejang tegang… membuatku ingin menikmati indahnya wanita pada waktu orgasme. Kuhentikan dulu entotanku… kubiarkan pnisku menancap di dalam liang vgina Mama, tanpa kugerakkan lagi.


Dan… liang sanggama Mama terasa mengejut - ngejut kencang, disusul dengan gerakan yang memutar seperti spiral… dan membasahnya liang kewanitaan ibuku.


Wow… wow wooow… ini indah dan nikmat sekali…!


Tubuh Mama mengejut… lalu terkulai lunglai di dalam pelukan dan ciuman hangatku di bibirnya.


“Aaaaaaaahhh… luar biasa nikmatnya Sayaaaang…” ucap Mama lirih, dengan wajah memucat. Tapi tak lama kemudian wajah cantik Mama tampak berdarah lagi. Bahkan tampak lebih cantik dari biasanya.


Aku pun mulai mengayun pnisku lagi. Bermaju mundur di dalam liang vgina Mama yang saudah becek sekali. Sehingga gerakan pnisku menimbulkan bunyi yang craakk crekk… crakkk crekkk… crak crekkk…!


Namun beceknya liang vgina Mama malah menambah gairahku untuk mengentotnya habis - habisan.


Mama seolah ingin habis - habisan menguras kejantananku. Selama Mama di Jogja, tiada siang dan malam yang tanpa seks.


Pada hari Selasa, Mama pulang. Setelah memberiku uang yang cukup banyak.


Menurut pengakuan Mama, bisnisnya malah menghasilkan keuntungan yang jauh lebih banyak daripada gaji dan penghasilan tambahan Papa. Karena itu Mama tak peduli lagi pada uang Papa.


Bahkan Mama merasa Papa bukan suaminya lagi. Tapi Mama tidak pernah minta cerai, demi keempat anaknya yang harus sangat disayanginya.


Hari demi hari pun berputar terus. Sampai pada suatu hari …


“Aku sudah dinyatakan lulus Mbak.”


“Ohya?! Syukurlah. Aku ikut merasa seneng dengernya Bon,” sahut Mbak Artini (yang tadinya kupanggil Ibu, tapi dia inginnya dipanggil Mbak saja, karena usianya memang baru 30 tahunan). Lalu ia menjabat tanganku sambil berkata, “Selamat ya Bon.”


Tak sekadar menjabat tanganku. Ibu kos yang janda muda itu pun mencium pipi kanan dan pipi kiriku.


Lalu ia mengajakku duduk berdampingan di atas sofa. Sikapnya benar - benar berubah. Tadinya cuek, sekarang jadi begitu manis dan murah senyum.


“Kapan diwisuda?” tanyanya sambil memegang tanganku.


“Mungkin dua minggu lagi.”


“Setelah diwisuda kamu mau pulang ke rumah orang tuamu?”


“Mungkin begitu Mbak. Kecuali kalau tiba - tiba dapat kerjaan di Jogja atau di Jateng, mungkin aku akan mengurus kerjaan dulu.”


“Nah… aku punya dua macam kejutan untuk meyatakan ikut senengnya setelah mendengar kelulusanmu.”


“Kejutan apa Mbak? Mau dibikinin nasi tumpeng?”


“Hush… ini yang menyangkut masa depanmu Bon. Kejutan pertama, aku punya kakak yang luar biasa kayanya. Tanahnya sampai puluhan hektar. Itu baru di Jateng. Belum lagi di Jabar dan di Jatim. Dia membutuhkan insinyur pertanian yang baru lulus. Ingin yang fresh from college.”


“Wah… aku langsung tertarik Mbak.”


“Kakakku itu tadinya hidup pas - pasan. Tapi setelah menikah dengan duda tajir, rejekinya mengalir terus. Dan setelah suaminya meninggal, semua tanah milik suaminya itu diwariskan pada kakakku, berdasarkan surat wasiat yang dititipkan kepada penasehat hukumnya. Tapi dalam soal pertanian, kakakku itu masih sangat awam.


“Siap Mbak.”


“Dia ngomongnya tiga bulan yang lalu. Tapi kubilang tunggu dulu, karena ada yang kos di rumahku, sebentar lagi juga selesai kuliahnya. Sebentar, aku mau telepon dia ya,” kata Mbak Artini sambil mengambil handphonenya. Lalu kusaksikan dia menelepon kakaknya itu, karena suaranya dikeluarkan dari speaker hapenya :


“Hallo Ar…”


“Hallo Mbak Lies… mahasiswa fakultas pertanian itu sudah lulus Mbak. Tapi dia mau nunggu diwisuda dulu. Nanti akan kuantar ke rumah Mbak.”


“Syukurlah. Mudah - mudahan dia bisa menjadi orang yang tepat untuk mengelola tanah - tanahku Ar.”


“Iya, mudah - mudahan aja. Orangnya sih kujamin jujur dan rajin Mbak.”


“Iya. Tempo hari juga sudah ada beberapa orang yang melamar, tapi kutolak terus. Karena ingat sama janjimu itu Ar. Ohya, memang harus diantar sama kamu Ar. Kalau gak diantaer, bisa nyasar dia nanti.”


“Iya Mbak. Pasti kuantarkan dia. Segitu aja dulu beritanya ya. Paling lambat tiga minggu lagi juga aku sudah ngantarin dia ke rumah Mbak Lies.”


“Iya, iya. Aku tunggu ya Ar.”


Mbak Artini meletakkan handphonenya di atas meja kecil. “Bona dengar sendiri kan?” tanyanya.


“Iya Mbak. Terima kasih. Kejutan pertama itu sangat berarti bagiku,” sahutku, “Nanti begitu selesai diwisuda, aku akan minta Mbak ngantarin ke kakak Mbak Ar itu. Terus… kejutan yang kedua apa Mbak? Penasaran nih… ada kejutan apa lagi…?”


“Kamu masih ingat waktu baru beberapa bulan kos di sini, aku pernah marahin kamu Bon?”


“Yang mana ya? Ooooh… yang waktu aku meluk Mbak dari belakang di ruang makan itu?”


“Iya. Masih ingat kan?”


“Masih Mbak. Soalnya jujur aja, di mataku Mbak sangat seksi dan menggiurkan. Hehehe… maaf ya Mbak.”


“Gak usah minta maaf. Aku juga mengerti apa yang Bona rasakan saat itu. Tapi aku takut konsentrasi Bona sama kuliah jadi pecah. Terus mikirin aku terus. Itu yang aku tidak mau. Karena aku merasa bertanggungjawab juga kepada orang tuamu. Jangan sampai kuliahmu mogok di tengah jalan gara - gara aku.”


“Iya Mbak.”


Tiba - tiba Mbak Artini melingkarkan lengannya di pinggangku sambil berkata setengah berbisik, “Sekarang sih kamu sudah lulus. Kalau kamu masih menyimpan perasaan itu, akan kulayani dengan sepenuh hatiku Bon.”


“Mbak… betul ini?”


“Betul. Sebenarnya sejak aku marahin kamu itu, diam - diam aku jadi mikirin kamu terus Bon. Terus kamu sendiri gimana? Masih punya keinginan untuk berbagi rasa denganku?”


“Masih Mbak. Lelaki itu kan diucapkan dulu, kemudian menjalar ke hati. Saat itui aku pernah bilang aku suka sama Mbak kan? Tapi memang aku juga takut kalau Mbak anggap aku hanya ingin digratiskan saja biaya kosnya. Makanya aku tak pernah ganggu Mbak lagi.”


“Sekarang Bona mandi dulu ya. Terus perhatikan keadaannya. Kalau teman - tgemanmu gak ada atau sudah pada tidur, nyelundup aja ke kamarku. Aku tungguin di sana. Tapi awas, jangan sampai ada yang tau.”


Aku mau bangkit. Tapi Mbak Artini menahanku sambil berkata, “Sebentar… aku ingin mencium bibirmu dulu Bon… emwuaaaaah… emwuuuuuah…”


“Seger Mbak,” ucapku setelah pelukan Mbak Artini terlepas, “Terima kasih…”


Lalu kutinggalkan ruang tamu rumah Mbak Artini itu dengan semangat yang berkobar - kobar di dalam jiwaku. Rumah pribadi Mbak Artini terpisah dari rumah kos. Tiada yang suka masuk ke dalam rumah pribadi itu, kecuali kalau mau bayar uang kos atau dipanggil oleh Mbak Artini.


Kulihat Amran belum pulang. Atau mungkin juga takkan pulang malam ini, karena teman sekamarku itu sudah punya pacar. Kalau malam Sabtu begini, biasanya sampai larut malam dia tidak pulang. Terkadang dia nginap di rumah pacarnya.


Tapi biarlah. Itu bukan urusanku. Yang penting aku harus mandi sebersih mungkin, karena mau melakukan “sesuatu” dengan Mbak Artini yang sudah lama kudambakan itu.


Ya… aku memang sangat tergiur oleh Mbak Artini yang bertubuh tinggi montok itu. Setiap kali melihat dia, diam - diam pnisku selalu ngaceng. Karena membayangkan betapa menggiurkannya tubuh janda muda itu kalau bisa kutelanjangi di dalam kamar tertutup.


Tapi selama ini aku tetap menahan diri, tidak lagi memperlihatkan ketergiuranku pada tubuh seksi dan wajah manisnya.


Lalu… hari ini tampaknya bintangku sedang terang benderang. Aku bukan hanya ditawari lapangan kerja yang menjanjikan, tapi juga ditawari tubuhnya yang selama ini kugilai…!




Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)