Wanita setengah baya itu memegang tangan anaknya sambil berkata, “Maafkan ema ya Euis. Ema sudah mencuri kepunyaanmu. Karena ema juga masih sangat butuh, untuk penyemangat hidup ema.”
Euis seperti terharu, lalu mencium pipi ibunya yang sedang berada di bawah himpitanku itu, “Gak apa - apa Ma. Den Wawan kan bukan suamiku. Lagian Ema masih berhak untuk menikmatinya… menikmati hukum alam bahwa seorang wanita membutuhkan pria.”
Kutepuk bokong Euis yang berada di dekat tanganku, lalu berkata, “Pokoknya kita bertiga kompak aja ya Is. Aku memiliki kalian berdua dan kalian berdua memilikiku. Bahkan mulai saat ini setiap kali kita melakukannya pasti lebih sewru daripada biasanya.”
“Iya Den. Saya malah senang kalau Aden berkenan menggauli ema saya. Kasihan Ema… sudah bertahun - tahun tidak merasakan sentuhan lelaki.”
“Berarti kamu bijaksana Is,” ucapku sambil menarik lehernya ke dekatku. Lalu kucium bibirnya. Kemudian kulanjutkan aksiku “memompa” liang vgina tembem Bu Mimin di depan mata anak semata wayangnya.
Bu Mimin pun mulai lupa daratan lagi. Ia tak peduli lagi dengan kehadiran anaknya. Lalu merintih - rintih histeris lagi, “Dudududuuuuh… Deeeen… eeeenaaaak sekaliiii… duuuuh… punya Den Wawan memang luar biasa enaknyaaaa… entot terus Den… entot terussss… sampai saya lepas… nanti giliran Euis setelah saya lepas…
Sambil meremas sepasang toket Bu Mimin, kugenjot liang vginanya segencar mungkin. Agar dia cepat orgasme.
“Aaaaah… Deeeeen… aaaaaaah… Deeeeen… ini luar biasa enaknya Deeeen… entot terus Deeeeeen… enaaaaaak… sangat enaaaaaak… aaaahhhhh… enaaaak Deeeen… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… ooooooohhhhh… punya Den Wawan luar biasa enaknyaaaaaa… “rintih Bu Mimin sambil menggoyang pinggulnya dengan gerakan menukik - nukik.
Akibatnya… beberapa saat kemudian Bu Mimin berkelojotan. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya, sementara perutnya sedikit terangkat ke atas.
Aku mengerti apa yang sedang terjadi dengan Bu Mimin. Lalu kutancapkan pnisku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang vgina Bu Mimin.
Pada saat itulah liang vgina Bu Mimin terasa berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti spiral yang membelit batang kemaluanku. seolah ingin memuntahkan pnisku dari dalam liang vginanya.
Ini adalah detik - detikm yang sangat indah. Bahwa aku ikut menikmati denyhut - denyut orgasme vgina Bu Mimin, sambil memasukkan jari tengahku ke liang vgina Euis yang sudah basah (karena dari tadi aku mengentot Bu Mimin sambil memainkan vgina Euis).
Setelah Bu Mimin terkulai lemas, cepat kucabut pnisku dari liang vginanya. Kemudian pindah ke atas perut Euis yang sejak tadi kelihatan terangsang menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya.
Karena liang vgina Euis sudah cukup basah, aku tak sulit untuk membenamkan pnisku ke dalamnya… blesssss… melesak amblas sampai menyundul dasar liang vgina Euis…!
Sebenarnya ini merupakan persetubuhanku yang ketiga. Karena tadi jam 19.00 aku menyetubuhi Wati. Memang aku belum ngecrot dalam persetubuhanku dengan Bu Mimin barusan. Tapi aku menganggap persetubuhan dengan ibu dan anaknya ini merupakan “ronde kedua”, karena ronde pertamanya bersama Wati.
Dengan sendirinya durasi entotanku pasti akan lama nanti.
Dan kini aku sudah mulai mengayun pnisku di dalam liang vgina Euis yang cantik ini.
Tentu saja liang vgina Euis lebih sempit dibandingkan dengan liang vgina ibunya. Karena Euis belum pernah melahirkan. Tapi kalau aku harus menilainya secara jujur, vgina Bu Mimin sedikit lebih enak daripada vgina Euis.
Tapi vgina Euis tetap enak. Hanya saja vgina ibunya lebih merangsang birahiku. Terlebih kalau mengingat ketrampilan Bu Mimin dalam menggoyang pinggulnya, yang seolah ingin memuaskan nafsu birahiku, sekaligus mereguk kepuasan untuk dirinya sendiri.
Maka untuk mencari kepuasan bagiku sekaligus buat Euis juga, aku menarik sepasang kaki Euis dan kuletakkan di bahuku. Sementara aku mengentotnya sambil berlutut dan membungkuk. Sehingga dadaku tidak bisa bertempelan dengan dada Euis, karena terhalang oleh sepasang pahanya yang terangkat dan sepasang lututnya berada di kanan kiri sepasang toketnya.
Kelebihannya dalah, pnisku bisa jauh sekali jangkauannya. Sehingga tiap kali kudorong, moncongnya terasa menyundul dan mendesak dasar liang vgina Euis.
Begitulah… kini aku mengentot Euis dalam posisi missionary hardcore.
Kelebihan lain, aku bisa mengentot Euis sambil menggesek - gesekkan ujung jariku ke kelentitnya. vgina Euis pun jadi menengadah ke atas dalam posisi ini.
Tentu saja Euis merem melek dibuatnya. Karena Gspot di kelentit dan Gspot di mulut rahimnya yang terletak di dasar liang vginanya tersentuh dan tergesek terus menerus.
Desahan dan rintihannya pun mulai terlontar dari mulutnya, “Aaaaaaaah… aaaaaah… Deeeen… dududuuuuh Deeeeen… dibeginiin sih saya bisa cepat lepas Deeen… ini… ini terlalu enak Deeen… luar biasa enaknyaaaa… enak sekali Deeeen… aaaaah… Deeen… aaaaaah… Deeeen… terlalu enaaaaaak Deeen …
Aku tidak mempedulikan rintihan Euis itu. Malah melirik ke arah Bu Mimin yang menyaksikan semuanya ini sambil mengusap - usap vgina tembemnya. Mungkin dia jadi horny lagi menyaksikannya.
Dugaan Euis benar. Beberapa saat kemudian Euis klepek - klepek dan… orgasme!
Setelah Euis terkulai lemas, aku pun pindah ke atas perut Bu Mimin lagi.
Dengan mudah pnisku bisa amblas ke dalam liang vgina Bu Mimin… blessssss…!
Bu Mimin menyambutku dengan dekapan di kedua pangkal lenganku. “Den Wawan kok kuat sekali ya. Saya dan Euis sudah sama - sama lepas. Tapi Den Wawan belum apa - apa,” ucap Bu Mimin sambil menciumi pipi dan bibirku.
Aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu alasan sebenarnya. Bahwa tadi aku menyetubuhi Wati dulu sebagai “pemanasan”. Dan kini ngentot yang sebenarnya.
Tapi Bu Mimin pun tampak sudah siap dan sigap lagi untuk meladeni kejantananku.
Maka terjadilah pertarungan dahsyat di antara pnisku dengan liang vgina wanita setengah baya itu.
Kami melakukannya dengan berganti - ganti posisi. Sekalian mengajari Euis agar semakin trampil pada saat sedang meladeni kejantananku. Cukup lama kami melakukan semuanya ini.
Setelah posisi missionary, kami lanjutkan dalam posisi WOT. Dalam posisi itulah Bu Mimin orgasme lagi untuk kedua kalinya. Tapi fisiknya masih tangguh. Lalu kami lanjutkan dalam posisi doggy. Ternyata Bu Mimin sangat pandai melakukannya. Dia tak cuma menungging pada waktu kuentot sambil berlutut, tapi juga mampu mengoyang - goyangkan bokong gedenya.
Dalam posisi ini Bu Mimin orgasme lagi. Padahal aku juga sudah kritis. Sudah hampir ngecrot. Maka setelah mencabut pnisku dari liang vgina Bu Mimin, kuangsurkan pnisku ke dekat mulut Euis.
Euis mengerti keinginanku. Dan mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menyelomoti pnisku sambil menyedot - nyedot dan mengurut - urut dengan tangannya.
Maka tak kuasa lagi aku menahan ejakulasiku.
Lendir kenikmatanku pun melompat - lompat dari moncong pnisku ke dalam mulut Euis.
Croooottttt… crooootttt… crottt… croooottttt… croootttttt… crotttttttt… crooootttt…!
Dan… tanpa ragu Euis menelan spermaku semuanya, tak disisakan setetes pun.
Glek… glekkkkkk… glek …!
Lalu kami bertiga turun dari bed dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Bu Mimin.
Kami bertiga mandi dengan air hangat dari shower. Saling menyabuni sambil bercanda.
Pada saat itu pula kami menyatakan untuk tetap kompak menjalin hubungan rahasia ini.
Setelah mandi badanku terasa segar kembali.
Bu Mimin dan Euis mau membuatkan pisang goreng untukku. Aku dipersilakan duduk di ruang keluarga.
Ketika mereka berada di dapur, sementara aku duduk sendirian di sofa ruang keluarga, pandanganku tertumbuk ke sebuah album foto yang berada di bawah daun meja kaca di depan sofa yang tengah kududuki.
Iseng kuambil buku album foto itu. Mungkin ada foto - foto Bu Mimin semasa mudanya atau foto - foto Euis di masa kecilnya.
Maka kubuka dan kuteliti isi album foto itu. Banyak juga foto Bu Mimin di masa mudanya. Memang cantik ibunya Euis itu di masa mudanya. Foto - foto Euis di masa kecil dan masa remajanya juga ada.
Tapi pandanganku lalu terpusat pada beberapa foto yang memperlihatkan Bu Mimin sedang melaksanakan akad nikah dengan seorang lelaki ganteng. Yang membuatku kaget adalah lelaki ganteng di foto itu. Jelas dia itu… ayahku…!
Ciri khas ayahku adalah tahi lalat di dahinya itu. Dan aku tak mungkin salah lihat, dia memang ayahku di masa mudanya.
Ketika aku sedang mengamati foto - foto itu, Bu Mimin dan Euis muncul di ruang keluarga, sambil membawa baki sebagai wadah sepiring pisang goreng yang masih mengepul panas dan secangkir kopi hitam. “Nih pisang gorengnya sudah siap Den. Ayo disantap mumpung masih panas,” kata Bu Mimin sambil meletakkan pisang goreng dan kopi panas itu di meja kecil depanku.
Aku malah langsung bertanya sambil memperlihatkan foto - foto akad nikah itu kepada Bu Mimin, sambil bertanya, “Bu Mimin… ini foto Ibu waktu nikah ya?”
“Iya Den. Tapi cuma nikah siri. Karena almarhum sudah punya istri saat itu,” sahut Bu Mimin.
“Boleh aku tau nama suami ibu ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lelaki yang sedang akad nikah dengan Bu Mimin itu.
“Namanya Zaelani Den. Tapi dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”
“Nama lengkapnya Zaelani Purnama kan?” tanyaku.
“Kok Aden bisa tau nama lengkapnya? Apakah Den Wawan mengenal almarhum?”
“Dia ayahku Bu. Yang ibu sebut istri almarhum itu ibuku. Apakah Bu Mimin pernah mendengar nama ibuku?”
“Tidak pernah mendengar namanya Den. Waktru itu almarhum hanya bilang sudah punya istri. Jadi pernikahan dengan saya cuma bisa dilaksanakan secara siri. Dari pernikahan dengan almarhum itulah saya punya anak yang duduk di sebelah kiri Den Wawan itu.”
Batinku benar - benar limbung saat itu. Lalu kukeluarkan handphoneku. Dan kuperlihatkan foto - foto ayahku semasa masih hidup dahulu. “Supaya Bu Mimin lebih yakin, ini foto - foto ayahku semasa masih ada dahulu. Tahi lalat di dahi sebelah kanan itu sebagai tanda yang paling meyakinkan Bu.”
Bu Mimin memperhatikan foto - foto di hapeku itu. Lalu berseru dengan suara sendu, “Duuuh Deeeen… ini memang foto - foto suami saya almarhum…! Ja… jadi berarti Den Wawan ini anak tiri saya?”
“Masalah Bu Mimin tidak kupikirkan. Toh sejak zaman dahulu sering terjadi hubungan antara seorang wanita dengan anak tirinya. Tapi Euis ini… kalau dia memang anak dari ayahku, berarti Euis ini kakakku… kakak seayah berlainan ibu. Jadi kalau aku Wawan Darmawan Bin Zaelani, maka Euis pun binti Zaelani…
Aku lalu teringat pada Mbak Erma, yang kisahnya mirip dengan kisahku dengan Euis ini.
O my God! Apakah aku ini ditakdirkan menjadi seorang incest sejati? Kenapa semua ini harus terjadi?
Aku termenung cukup lama. Memikirkan semuanya ini.
Sampai terdengar suara Euis dari samping kiriku, “Jadi Den Wawan ini adik saya?”
Aku mengangguk lesu. Tapi lalu kukuatkan batinku, kemudian berkata, “Semuanya sudah terjadi. Kita tak mungkin bisa menghapusnya.”
“Lalu kita harus bagaimana setelah mengetahui semua ini Den?” tanya Bu Mimin dengan sikap tetap sopan.
Setelah menenangkan diri sejenak, aku berkata, “Kita sudah telanjur jauh melangkah. Aku sendiri sudah telanjur suka kepada Euis dan Bu Mimin. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menghentikan semuanya. Tapi Euis sebaiknya jangan bekerja di rumahku lagi. Biarlah nanti kucarikan pemecahannya. Yang jelas Euis itu kakakku.
Bu Mimin dan Euis terdiam. Seperti tidak mendengar kata - kataku yang sebenarnya cukup penting itu.
Maka aku pun berkata lagi, “Atau begini… Euis bekerja aja di kantorku. Tapi di kantorku ada peraturan tidak boleh ada dua orang karyawan yang ada hubungan darah. Jadi nanti di kantor Euis harus merahasiakan hubungan darah kita.”
“Itu lebih baik Den,” kata Bu Mimin.
“Bu Mimin dan Euis jangan manggil Den lagi padaku. Panggil namaku aja,” sahutku.
Lalu Euis berkata, “Boleh saya usulkan sesuatu?”
Aku menoleh ke arah Euis. Tampak sikapnya jadi rikuh sekali. Dan anehnya setelah mengetahui asal - usul mereka, aku bahkan semakin sayang kepada mereka.
Tanpa ragu kucium bibir Euis di depan ibunya, lalu bertanya, “Mau usul apa?”
Euis berkata canggung, “Begini mmm… Dek Wawan… ijazah saya kan cuma SMP. Bekerja di kantor Adek juga pasti sulit menyesuaikan diri. Bagaimana kalau saya usaha sendiri aja kecil - kecilan?”
“Mau usaha apa?” tanyaku.
“Usaha apa aja. Misalnya jualan kebutuhan sehari - hari.”
“Mau buka warung? Zaman sekarang usaha seperti itu tergerus oleh minimart yang sudah menjamur di mana - mana. Bagaimana kalau buka warung nasi aja di sini? Euis kan pinter masak. Bakat itu bisa dikembangkan. Siapa tau kelak bisa punya rumah makan besar.“
“Iya… itu jauh lebih baik Den… eh… Nak,” kata Bu Mimin.
Aku mengangguk - angguk kecil. Laluj memegang tangan Euis sambil berkata, “Untuk mencari resep masakan di zaman sekarang tidak sulit. Tinggal cari aja di internet, pakai handphone. mnanti kubelikan handphone yang bagus, supaya bisa browsing ya.”
“Iya Dek.”
“Sekarang aku mau tidur di sini ya. Tapi aku mau tidur sama Ceu Euis, ya Bu.”
“Iya silakan Den,” sahut Bu Mimin, “Itu pisang gorengnya kok gak disentuh sama sekali.”
“Kubawa aja ke kamar Euis ya,” sahutku sambil mengangkat piring pisang goreng dan kopinya yang sudah dingin.”
“Mau diganti kopinya sama yang panas Dek?” tanya Euis.
“Boleh.”
Euis bangkit dari sofa lalu melangkah ke dapur.
“Jadi ternyata Bu Mimin ini ibu tiriku ya?” ucapku sambil mengusap - usap lutut Bu Mimin.
“Iya. Bagusnya jangan manggil Bu Mimin lagi sama saya. Panggil ema aja Den. Biar sama seperti Euis,” sahut Bu Mimin.
Aku tersenyum. Lalu berbisik di dekat telinga wanita setengah baya itu, “vgina Ema sangat enak. Aku gak rela kalau hubungan kita diputuskan begitu aja.”
“Iya Nak… ema juga udah telanjur ketagihan sama punya Nak Wawan.”
“Tapi malam ini udah kenyang kan?”
“Udah Nak. Mungkin Euis yang belum kenyang sih. Kasihan dia… jatahnya diganggu sama ema.”
“Tapi malam ini sih gak mungkin. Aku cuma ingin nyobain aja tidur bersama Euis.”
Tak lama kemudian Euis muncul di ruang keluarga, dengan secangkir kopi panas. “Mau langsung dibawa ke kamar saya?” tanyanya.
“Iya Ceu Euis,” sahutku.
“Hihiiihiii… awalnya manggil Bibi, kemudian manggil nama… sekarang ditambah dengan Ceu…” ucap Euis sambil melangkah menuju kamarnya.
Aku pun bangkit dari sofa. Mencium bibir Ema disusul bisikanku, “Aku mau istirahat dulu ya Ema Sayang.”
“Iya silakan,” sahut Ema sambil tersenyum.
Kemudian aku melangkah ke arah kamar Euis.
Ketika aku masuk ke kamar Euis, kulihat dia sedang mengenakan daster weetlook kuning mudanya.
Sambil menutupkan kembali pintu kamar Euis sekaligus menguncinya, aku berkata, “Ngapain pakai daster? Kalau kita mau tidur bareng, mendingan sama - sama telanjang.”
“Kalau Dek Wawan perlu kan tinggal singkapin aja daster ini,” sahutnya sambil menyingkapkan dasternya. Ternyata ia tidak mengenakan celana dalam, sehingga vginanya langsung “nyengir” di depan mataku.
Aku ketawa kecil. Lalu duduk di atas satu - satunya sofa yang ada di dalam kamar Euis.
“Udah ngantuk?” tanyaku.
“Belum lagi. Tadi kan waktu Dek Wawan datang, saya lagi tidur. Lalu terbangun karena mendengar rintihan Ema. Kirain Ema lagi sakit. Gak taunya… hihihihiii…”
Kutarik pergelangan tangan Euis sampai terduduk di atas sepasang pahaku.
“Meski pun ternyata kita ini saudara seayah, aku tak rela kehilangan Ceu Euis dan Ema.”
“Sama… saya juga begitu.”
“Pakai aku aja deh, jangan pakai istilah saya lagi,” ucapku sambil merayapkan tangan ke balik daster Euis.
“Kok megang - megang vgina lagi? Emangnya belum kenyang tadi?”
“Sama Ema udah kenyang. Sama Ceu Euis belum.”
“Di sana aja yuk,” ucap Euis sambil menunjuk ke bednya.
Aku melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat.
Lalu aku naik ke atas bed. Menerkam Ceu Euis yang baru saja melepaskan dasternya, sehingga kami jadi sama - sama telanjang bulat.
“Dek Chepi kuat banget. Tadi kan udah habis - habisan sama Ema dan aku. Tapi sekarang udah tegang lagi nih penisnya,” kata Ceu Euis sambil memegang pnisku yang memang sudah ngaceng lagi ini.
“Aku kan masih muda. Duapuluhlima juga belum. Makanya masih kuat maen semalam dua atau tiga kali aja sih. Nanti kalau umurku sudah di atas empatpuluh, pasti staminaku akan menurun,” sahutku sambil meletakkan moncong pnisku di ambang mulut vgina Ceu Euis.
Sesaat kemudian pnisku sudah membenam sepenuhnya di dalam liang vgina Ceu Euis.
Lalu permainan surgawi ini pun dimulai.
pnisku mulai maju mundur di dalam cengkraman liang vgina Ceu Euis. Maju mundur maju mundur… blesssss… sssssretttttttt… blessss… ssssretttttt… blessssss… sretttt… blesssss… sretttt… blesssssssss… srettttttttt… blessss… sretttt…
Entah kenapa. Kali ini aku ingin habis - habisan menyetubuhi Ceu Euis, karena aku tidak rela kalau sampai kehilangan dia. Meski pun aku sudah tahu bahwa sebenarnya Ceu Euis itu kakak seayah berlainan ibu, aku akan tetap melanjutkan hubunganku dengannya. Begitu juga Ema Mimin yang vginanya gurih dan legit itu, harus tetap menjadi milikku…
Ceu Euis p[un mulai mendesah - desah disertai rintihannya yang seakan curhat padaku. “Aaaaaah… Deeeek… aaaaaaah… aaaaah… walau pun Dek Wawan ini adekku, aku tak mau kehilangan Dek Wawan… aaaah… aaaaah… aku… aku bahkan ingin mengandung anak Dek Wawan… hamili aku ya Deeek…
Mendengar ocehan Ceu Euis itu, aku jadi ragu. Kuatir juga kalau ia benar - benar hamil nanti.
Karena itu aku diam - diam mengintai… kalau Euis sudah orgasme, aku akan pura - pura ejakulasi, kemudian persetubuhan ini akan kuhentikan.
Cukup lama gejala akan orgasme itu terjadi. Lebih dari duapuluh menit aku mengentot Ceu Euis. Tapi dia malah asyik menggoyang pinggulnya mengikuti goyangan ibunya tadi.
Mungkin tadi Ceu Euis diam - diam menyimak cara - cara Ema meladeni entotanku. Dan kini Ceu Euis mempraktekkannya denganku. Pinggulnya meliuk - liuk dan memutar - mutar dengan lincahnya. Tapi memang Ceu Euis belum setrampil ibunya dalam hal goyang pinggul waktu sedang bersetubuh.
Bahkan akhirnya Ceu Euis ngos - ngosan melontarkan suara, “Dek Wawaaaan… aku mau lepas… ayo barengin Deeek… biar jadi anak… ayo Deeek… barengiiiin… !”
Lalu Ceu Euis berkelojotan. Pada saat yang sama kugenjot pnisku seedan mungkin. Dan ketika Ceu Euis mengejang tegang, aku pun menancapkan pnisku sedalam mungkin. Lalu aku mengejut - ngejutkan pnisku seolah - olah sedang ejakulasi.
Liang vgina Ceu Euis pun berkedut - kedut kencang. Lalu ia terkapar lunglai. Ketika kucabut pnisku dari l, iang vgina yang sudah becek itu, Ceu Euis membuka matanya.
“Barusan dibarfengin ya?” tanyanya.
Aku menjawabnya dengan anggukan kepala doang. Lalu mengambil celana dalam dan celana pamnjangku. Dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi pribadi Ceu Euis.
Sebenarnya batang kemaluanku masih ngaceng berat, karena barusan aku hanya pura - pura ngecrot. Karena takut Ceu Euis benar - benar hamil nanti.
Di kamar mandi aku hanya membersihkan alat vitalku yang berlepotan lendir libido Ceu Euis. Kemudian kukenakan kembali celana dalam dan celana panjangku.
Agak lama aku berada di kamar mandi.
Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Ceu Euis sepertinya sudah tidur nyenyak. Tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mungkin dia mengira aku ejakulasi di dalam vginanya tadi. Sehingga ia sengaja tidak bergerak - gerak, agar “sperma”ku terserap oleh rahimnya.
Aku malah mengambil baju kausku, kemudian keluar dari kamar Ceu Euis. Menuju pintu kamar Ema. Ternyata pintunya tidak dikunci. sehingga dengan mudah aku masuk ke dalam kamar ibunya Ceu Euis itu.
Apa lagi urusanku dengan Ema alias Bu Mimin itu?
Ini pnisku masih ngaceng, karena tadi cuma berpura - pura ejakulasi di dalam liang vgina Ceu Euis. Inspirasi pun muncul di benakku.
Entot Ema lagi aja. Nanti spermaku akan kumuntahkan di dalam liang vgina Ema…!
Kebetulan Ema sudah tertidur, dengan mengenakan kimono lagi.
Ketika kusingkapkan kimono itu, ternyata Ema tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Maka dengan hati - hati kuselundupkan jariku ke dalam liang vgina Ema. Dan setelah tahu bahwa liang vginanya masih basah, aku pun menyelundupkan pnis ngacengku ke dalam liang vgina Ema…!
Ema terkaget - kaget setelah sadar bahwa aku sudah membenamkan pnisku ke liang vginanya lagi.
“Deeen… aiiih… Nak Wawaaan… kok balik lagi ke sini?” tanyanya setengah berbisik. Namun sorot wajahnya kelihatan ceria, pertanda hatinya senang.
“Iya… setelah tau Ema ini ibu tiriku, nafsuku malah semakin menjadi - jadi. Pengen ngentot Ema lagi, “kilahku.
“Begitu ya? Hihihihiii… ayo deh. Biar sampai pagi Nak Wawan akan ema ladeni.”
Maka begitulah… dengan gencar aku mulai mengentot Ema Mimin lagi.
Tapi ketika ia merintih - rintih lagi, cepat kusumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan. Karena takut suaranya bisa membangunkan Ceu Euis lagi…
Esok siangnya aku pulang ke rumahku. hari ini adalah hari Sabtu. Jadi aku tidak ngantor.
Setibanya di rumah, ketika aku mau memasukkan mobilku ke dalam garasi, kulihat ibuku sedang mengelus - elus sedan baruku, hadiah dari Bu Laila itu.
Aku pun menghampiri Ibu. Mencium tangan dan sepasang pipinya.
“Ini mobil barumu Wan?” tanya Ibu sambil mengusap - usap sedan hitamku.
“Iya Bu. Hadiah dari bossku,” sahutku.
“Kata Wati, ini mobil mahal sekali harganya. Kenapa bossmu ngasih hadiah mobil semahal ini?”
“Mungkin karena prestasi kerjaku bagus aja Bu.”
“Baik hati bossmu itu ya. Bossmu itu laki - laki apa perempuan?”
“Perempuan.”
“Owh… siapa namanya?”
“Laila Bu.”
“Laila? “Ibu mengerutkan dahinya, “Nama lengkapnya apa?”
“Kenapa nanya nama lengkapnya? Mau didoain sama Ibu agar dia makin baik padaku?”
“Nggak. Mau tau aja.”
“Nama lengkapnya Laila Qodrati Bu.”
“Haaa?! “Ibu tampak kaget, “Ayahmu juga punya adik seibu berlainan ayah, yang namanya Laila Qodrati. Tapi sudah lebih dari duapuluh tahun tak pernah datang ke sini lagi. Entah marah atau kenapa.”
“O, begitu? Ibu tau nama ayahnya Laila yang adik berlainan ayah dengan ayahku itu? Nanti akan kuperiksa dalam data di kantorku.”
“Nama ayahnya itu Yahya bin Syahroni. Kalau bapaknya ayah namanya Mahmud bin Syamsuddin.”
“Waduh… Ibu sampai hafal nama binnya segala ya.”
“Orang buta sih kalau udah inget sesuatu, akan inget selamanya.”
“Iya. Hari Senin lusa akan kucek di data yang ada di kantorku.”
“Iya Wan. Orang yang bernama Laila Qodrati mungkin banyak. Tapi siapa tau dia itu bibimu sendiri.”
“Iya Bu.”
“Seandainya pun bossmu itu memang adik ayah, diem - diem aja. Gak usah membukanya.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Takut mengganggu kariermu. Soalnya Laila itu gak mkau lagi nginjek rumah ini, entah kenapa. Mungkin dia marah atau malu punya saudara nikah sama perempuan buta.”
“Nanti aku periksa dulu datanya di kantor. Siapa tau Bu Laila bossku bukan adik almarhum Ayah.”
Biar bagaimana pembicaraan dengan Ibu itu membuat batinku tersentak kaget. Karena seandainya Bu Laila itu adi almarhum Ayah… bagaimana dengan kandungan yang berada di dalam perutnya itu?
Mungkin Ibu ada benarnya. Andai pun Bu Laila itu adik almarhum Ayah berlainan ayah, sebaiknya aku tidak membuka apa - apa di depan Bu Laila. Minimal aku harus menunggu sampai anakku yang berada di dalam perut Bu Laila itu lahir.
Tapi aku jadi tak sabaran. Aku harus mengetahuinya hari ini juga. Dan setelah melihat data di komputer kantor, seandainya pun Bu Laila memang adik almarhum Ayah… aku mau diam - diam saja.
Aku hanya masuk ke dalam rumah sebentar. Lalu cuci muka di washtafel kamar mandiku. Dan mengeluarkan lagi mobil lamaku.
Beberapa saat kemudian mobilku sudah kularikan menuju kantorku.
Dua orang satpam membuka pintu gerbang yang tertutup, karena hari Sabtu Minggu kantorku tutup.
Setelah turun dari mobilku, aku bergegas menuju lantai 5 dengan lift.
Kemudian aku masuk ke dalam ruang kerjaku dan langsung mengaktiokan PC yang meyimpan data - data semua orang yang memimpin dan bekerja di perusahaan ini.
Tentu saja nama Bu Laila ada di urutan paling atas.
Aku hanya membutuhkan nama ayahnya.
Setelah mengamati layar monitor, ada tulisan yang baru sekali ini kuperhatikan baik - baik. Bahwa nama lengkap boss sekaligus kekasihku itu adalah Laila Qodrati Yahya.
Berarti yang ibu katakan itu memang benar.
Bahwa Bu Laila itu adik almarhum Ayah…!
Lalu apa yang akan terjadi seandainya Bu Laila tahu siapa aku ini sebenarnya? Apakah dia akan membenciku. Karena seperti kata Ibu tadi, Bu Laila tak pernah lagi menginjak rumahku lebih dari duapuluh tahun?
Dengan sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak membuka asal - usulku kepada Bu Laila. Setiap kali berkomunikasi lewat ponsel, aku selalu bersikap untuk tetap seromantis mungkin.
Di balik itu semua, diam - diam aku menyisihkan dana dalam batas yang diijinkan oleh Bu Laila. Dana itu kusimpan dalam rekening baru atas nama pribadiku.
Hal ini kulakukan agar seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (setelah Bu Laila tahu asal - usulku, aku jangan sampai jatuh miskin).
Batinku memang resah gelisah menyimpan rahasia yang belum dibuka ini.
Berbulan - bulan aku menyekap rahasia ini, dengan perasaan kuatir dan resah.
Dalam keadaan galau inilah datang tamu, seorang gadis cantik bernama Anneke, yang ingin menanam saham di dalam perusahaan punya Bu Laila ini.
Gadis bernama Anneke itu berterus terang bahwa ayahnya meninggal setahun yang lalu, sementara hartanya diwariskan pada Anneke semua. Dengan catatan bahwa Anneke bertanggungjawab untuk membiayai segala kebutuhan ibunya seumur hidupnya.
Aku merasa punya jalan untuk berjaga - jaga seandainya hubunganku dengan Bu Laila mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.
Maka dalam kunjungan Anneke yang ketiga kalinya ke kantorku, aku sudah punya keputusan yang masih tersimpan di dalam hati. Untuk membujat sebuah PT baru, di mana aku menjadi dirutnya, sementara Anneke akan kuposisikan sebagai komisaris utamanya.
Jadi investasi Anneke jangan bercampur baur dengan saham Bu Laila yang 70% itu (saham kehormatanku 30%).
Gadis cantik yang gerak - geriknya selalu membuatku kagum itu pun langsung menyetujuinya.
“Deal Bang. Yang terpenting aku ingin agar Bang Wawan mengatur dana itu, karena aku sendiri sama sekali tak punya pengalaman dalam berbisnis,” kata Anneke dengan senyum manis di bibir tipis mungilnya.
Senang hatiku mendengar persetujuannya itu.
Aku memang punya konsep bagus (menurutku) yang tidak pernah dilaksanakan dalam perusahaan milik Bu Laila ini. Sehingga PT baru itu nantinya takkan menjadi kompetitor perusahaan punya Bu Laila ini.
Lalu aku melakukan gerakan kilat. Merombak gudang peninggalan almarhum ayah Anneke, menjadi sebuah kantor. Kemudian kami merekrut puluhan tenaga untuk menjadi karyawan PT yang diriku menjadi dirutnya itu.
Arah usaha PT baru itu, ada deh. Pokoknya legal dan halal.
Dalam tempo 3 bulan saja aku berhasil mengaktifkan PT baru itu sampai pada “kecepatan normal”. Bahkan bisa dibilang di atas rata - rata.
Tapi tentu saja aku takkan meninggalkan PT punya Bu Laila itu.
Bahkan pada suatu hari aku mendapatkan panggilan di ponselku. Panggilan dari Bu Laila…!
Lalu :
“Sayaaang… udah lupa ya?”
“Masalah apa Beib? Ulang tahunmu dua bulan lagi kan?”
“Bukan masalah ulang tahun. Kandunganku ini… sekarang sudah genap tujuh bulan. Lupa ya? Kan aku bilang kalau kehamilanku sudah tujuh bulan, pangeranku boleh menggaul;iku lagi. Bahkan harus sering… supaya bayinya kuat nanti.”
“Oh… iyaaaa… iyaaa… berarti aku sudah boleh buka puasa dong. Terus di mana kita mau ketemuan?”
Kemudian Bu Laila menyebutkan nama sebuah hotel bintang lima. Dengan nomor kamarnya sekalian, karena ia sudah membooking kamar itu.
“Oke… aku segera meluncur ke hotel itu Beib,” ucapku di dekat mic ponselku.
“Aku pasti duluan tiba, karena sekarang sudah on the way menuju hotel itu. Langsaung aja ke kamar yang nomornya kusebutkan tadi ya,” sahut Bu Laila di speaker hapeku.
“Oke… oke… !”
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju hotel yang sudah disebutkan oleh Bu Laila tadi. Lalu masuk ke dalam lift dan kupijat angka 5, karena kamar yang sudah dibooking itu berada di lantai lima.
Pintu kamar itu sudah terbuka sedikit, sehingga aku bisa langsung masuk ke dalamnya.
Dan… aku tercengang menyaksikan Bu Laila yang mengenakan gaun hamil putih bersih itu.
“Beib… dirimu sangat berubah… jadi tampak jauh lebih muda dan… cantik sekali… !” seruku sambil memeluk lehernya, lalu menciumi sepasang pipinya, bibirnyha dan lehernya.
“Memang banyak yang bilang aku jadi kayak cewek duapuluhtahunan,” ucapnya sambil menjilati telingaku.
“Memang betul. Dan yang paling jelas… jadi sangat sangat dan sangat cantik sekaliii… oooh… dirimu memang bidadari yang dikirimkan dari langit, untuk menaburkan segala jenis kebahagiaan ke dalam jiwaku.”
“Hmmm… aku jadi merasa tersanjung Honey… eee… eeee… eeeeh… anak kita bergerak - gerak nih… mungkin senang karena ayahnya datang… coba pegang perutku…”
Aku pun berlutut di depan Bu Laila sambil menyelinapkan tanganku ke balik baju hamilnya. Lalu memegang permukaan perutnya yang sudah buncit. Dan… aku merasakannya… merasakan seperti ada yhang menggeliat di balik perutr buncit itu…!
“Kata orang, kalau ibu yang hamil jadi semakin cantik, biasanya bayi di dalam perutnya itu perempuan.”
“Memang iya, kata dokter bayinya cewek Honey.”
“Wow…! Semoga anakku secantik ibunya… !”
“Malah aku ingin lebih cantik dariku Honey…”
“Amiiin…”
Bu Laila tersenyum. Lalu melepaskan gaun hamil putihnya, sehingga tinggal bra yang masih melekat di badannya. Karena sejak tadi pun aku tahu bahwa ia tak mengenakan celana dalam di balik baju hamil itu.
Kemudian ia duduk di sofa sambil melepaskan beha putihnya.
“Sambil berlutut di karpet ya ngentotnya,” ucap Bu Laila sambil meletakkan behanya ke atas meja kecil di samping sofa putih itu.
“Oke. Biar bayinya jangan tergencet ya,” sahutku sambil mlepaskan dasi dan jasku. Kemudian juga kemeja dan celana panjangku. Semuanya itu kugantungkan di kapstok. Begitu juga celana dalamku.
Kemudian aku duduk bersila di atas karpet, di antara kedua paha Bu Laila yang sudah direntangkan di atas sofa itu.
Lalu kungangakan labia mayora Bu Laila, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu pun terbuka dan langsung kujilati dengan lahapnya.
Sambil berlutut kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang vgina Bu Laila yang sudah sangat basah oleh air liurku itu.
Disambut dengan desahan nafas wanita yang sudah sangat berjasa bagi kehidupanku itu, “Aaaaahhhhh… udah berbulan - bulan penismu gak ngentot vginaku ya… rasanya udah kangen sekali… aaaaaaah…”
Lalu sambil berpegangan ke ujung sandaran sofa, aku pun mulai mengayun pnisku. Perlahan - lahan dulu.
“Bagaimana rasanya vgina bumil?” tanya Bu Laila.
“Lebih enak Beib… lebih lengkap rasanya…” sahutku sambil mempercepat entotanku.
Makin lama makin lancar pnisku mengentot liang vgina Bu Laila yang memang lebih sedap daripada sebelum hamil. Tapi aku tidak berani terlalu cepat mengentotnya, mengingat bayi yang ada di dalam perutnya, jangan sampai tergoncang berlebihan.
Walau pun begitu tampak sekali Bu Laila sangat enjoy dengan entotanku ini. Maklum selama berbulan - bulan aku tak pernah “menengok” vginanya.
Cukup lama aku menyetubuhi Bu Laila sambil berlutut di karpet ini. Sehingga keringatku pun mulai berjatuhan ke karpet dan ke selangkangan sang Bidadari. Namun aku malah semakin asyik mengentotnya sambil mengelus - elus kelentitnya yang tampak menonjol dan mengkilap itu.
Desahan dan rintihan Bu Laila pun mulai berlontaran dari mulutnya. “Sayang… ooooh… oooohhhhh… ini nikmat sekali Yaaaang… ooooohhhh… aku memang sudah lama kangen sekali padamu Yaaaang… oooooohhhhhh… Sayaaaaaang… oooooohhhhh… kayaknya aku takkan bisa hidup tanpamu Sayaaaang…
Setelah cukup lama aku menggenjot liang vgina bumil cantik itu, akhirnya ia mengejang tegang. Disusul dengan kedutan - kedutan erotis di liang kemaluannya.
“Aaaaaaaaahhhhh… luar biasa nikmatnya Sayaaang… aaaaaaaah…” desah Bu Laila sambil meremas - remas bahuku.
“Tapi Wawan belum ejakulasi ya? Lanjutin dalam posisi doggy aja yok. Tapi di sana aja biar leluasa,” ucap Bu Laila lagi sambil menunjuk ke arah bed.
“Oke, “aku mengangguk sambil mencabut pnisku dari liang vgina Bu Laila. Lalu mengangkat tubuhnya dengan hati - hati. Dan membopongnya… lalu meletakkannya di atas bed dengan hati - hati.
“Terima kasih Sayang,” ucap Bu Laila, “Bersamamu aku merasa seperti di kahyangan.“
Kemudian Bu Laila merangkak dan menunggingkan bokongnya, sehingga vgina tembemnya tampak full di mataku, meski pun dia sedang menungging.
Lagi - lagi aku harus berlutut sambil membenamkan pnis ngacengku ke dalam liang vgina Bu Laila. Tak sulit memasukkan batang kemaluanku kali ini. Karena liang vgina Bu Laila masih becek.
Meski dalam posisi doggy, aku tak berani menampar - nampar pantat Bu Laila. Takut berakibat buruk pada anakku yang berada di dalam perutnya. Aku hanya berani meremas - remas sepasang buah pantatnya yang lumayan gede. Tak lebih dari itu.
Namun diperlakukan seperti itu pun Bu Laila tampak enjoy. Enjoy seklali.
Desahan dan rintihan histerisnya berkumandang lagi di dalam kamar hotel bintang lima ini. “Aaaaah… Saayaaang… aaaaaaah… aaaaaah Sayaaaang… aaaaaaaah… aku smeakin cinta padamu Sayaaaaaang…”
Memang posisi doggy ini cukup aman bagi bayi di dalam perut Bu Laila. Karena ia menungging, sementara perutnya tidak menyentuh kasur.
Tapi tak lama kemudian ia mengerang, “Yaaaang… aku mau orga lagiiii…”
Mendengar erangannya itu aku pun mempercepat entotanku. Dengan tujuan agar ejakulasi secepat mungkin. Karena aku merasa kasihan kepada Bu Laila kalau terlalu lama menyetubuhinya.
Maka ketika Bu Laila mengejang tegang sambil menahan nafasnya, pnisku pun mengejut - ngejut sambil memancarkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croottt… croooottttt… crooooooootttttt… croooooooottttt… crottttt… crooootttt…!
Bu Laila pun rebah miring, sehingga pnisku terlepas dari jepitan liang vginanya.
Aku pun rebah miring di belakang Bu Laila, sambil mendekap pinggangnya yang basah oleh keringat.
“Spermamu banyak sekali Honey… sampai meluap gini nih dari vginaku,” kata Bu Laila sambil mengusap - usap vginanya yang berlepotan spermaku.
“Kan selama ini puasa,” sahutku, “jadi sekalinya buka puasa, dimuntahin deh semua.”
Bu Laila tersenyum. Lalu turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi. Mungkin mau bersih - bersih.
Sementara aku cukup dengan menyeka alat vitalku dengan kertas tissue basah yang tersedia di meja kecil dekat bed.
Tak lama kamudia Bu Lidia pun muncul dari kamarf mandi dan meraih gaun hamil putih itu dari kapstok, lalu mengenakannya.
Lalu menghampiriku yang sedang duduk bersila di atas bed, dengan hanya mengenakan celana dalam.
“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ucapku, “Tadinya aku tetap akan merahasiakan hal ini. Tapi rasanya rahasia ini seolah mau meledak di dadaku.”
“Rahasia apa Sayang?” Bu Laila membelai rambutku. Lalu mengecup pipiku.
“Ternyata aku harus manggil Tante padamu Beib.”
“Lho kenapa? Karena aku sudah tua menurutmu?”
“Bukan. Masalahnya dirimu ini adik ayah kandungku. Seibu tapi berlainan bapak.”
“Haaa? Memangnya siapa nama ayahmu?”
“Nama ayahku Zaelani bin Mahmud. Sedangkan ayah beib bernama Yahya bin Syahroni kan?”
“Haaa?! Jadi Wawanku tersayang ini anak Kang Zaelani?”
“Iya. Semoga Beib tidak marah padaku, karena aku pun baru - baru ini aja mengetahuinya. Bahwa ibu kandung Beib adalah nenekku. Berarti aku harus memanggil Tante padamu Beib.”
“Kalau di depan umum sih boleh aja manggil tante padaku. Tapi kalau sedang berduaan begini… aku ini sudah sepenuhnya menjadi milikmu Sayangku… !”
“Jadi Cinta tidak marah padaku setelah tau bahwa aku ini anak almarhum Zaelani?”
“Kok marah?! Aku malah jadi bertambah sayang padamu.”
“Soalnya kata ibuku, Laila itu sudah lebih dari duapuluh tahun tak mau menginjak rumah peninggalan ayahmu ini. Mungkin Laila itu benci karena ayahmu menikahi perempuan buta.”
“Astagaaa… bukan begitu masalahnya. Pada waktu masih ada, ayahmu mau minjam duit padaku. Tapi aku tau duit itu untuk kawin lagi. Karena itu aku gak mau ngasih pinjaman serupiah pun. Karena itu ayahmu marah sekali. Bahkan menyumpahiku… melarangku menginjak rumahnya lagi. Meski sedih, kuturuti aja larangan itu.
“Benar begitu permasalahannya?”
“Iya. Disumpah apa juga aku mau. Aku tak pernah membenci siapa pun di dunia ini.”
“Tapi ibuku mengira Cinta membencinya, karena kebutaannya itu.”
“Ya Tuhaaan… aku tidak sejahat itu Sayang. Nanti kalau sudah melahirkan aku akan mengunjungi rumahmu. Akan menjelaskan semuanya kepada ibumu. Mmm… ibumu bernama Hayati kan?”
“Betul.”
“Kalau sekarang gak sedang hamil begini sih aku akan menjumpai ibumu hari ini juga. Tapi karena sedang buncit begini, aku takut banyak pertanyaan nanti. Ohya… ibumu sudah diupayakan berobat ke dokter mata?”
“Sudah. Bahkan sempat dirawat di rumah sakit bersama kakakku yang juga tunanetra. Tapi hanya kakakku yang bisa dinormalkan matanya. Ibu sih tidak bisa diapa - apain lagi, kata dokter.”
“Kasihan ya. Padahal ibumu itu cantik Honey. Kulitnya juga putih cemerlang.”
“Jadi setelah tau asal - usulku, hubungan kita bisa berlanjuut terus?”
“Ya iyalah. Lagian kalau kita orang Tapanuli misalnya, marga kita sudah berbeda Honey. Jadi kalau aku bermarga Yahya, dirimu bermarga Mahmud.”
Kulingkarkan lenganku di leher Tante Laila sambil berbisik, “Aku tak rela kehilangan dirimu Cinta.”
“Apalagi aku,” sahutnya, “dirimu segalanya bagiku. Kalau kehilanganmu, sama aja dengan kehilangan nyawaku.”
Rasanya aku bisa bernafas lega lagi. Karena pengakuan tentang asal - usulku tidak mengubah pendirian Bu Laila sebenarnya tanteku sendiri itu. Dan yang paling melegakan, Bu Laila tak pernah membenci Ibu. Ia tidak mau datang ke rumah peninggalan Ayah hanya karena pernah dimarahi oleh Ayah dan dilarang menginjak rumah kami lagi.
Maka dengan penjelasan Bu alias Tante Laila itu, dadaku terasa plong. Berarti tidak ada masalah dalam hubungan rahasiaku dengannya. Bahkan menurut pengakuannya, dia malah tambah sayang padaku setelah tahu bahwa aku ini anak abangnya.
Ia bahkan berjanji untuk menjumpai Ibu kalau sudah melahirkan kelak. Kalau dalam keadaan hamil tua begitu, takut banyak pertanyaan yang ia tidak bisa menjawabnya secara jelas. Maklum bayi dalam kandungannya itu bukan berasal dari benih suaminya.
Akhirnya aku pun berterus terang, bahwa aku menjalankan dana investasi dari gadis yang lebih muda dariku itu. Karena kalau dimasukkan sebagai saham di perusahaan Bu Laila, takut jadi kusut di belakang hari.
Lagi - lagi aku mendengar jawaban yang melegakan. Bu Laila menganggap semuanya itu sebagai kemajuan bagi diriku. Yang penting perusahaan punyanya jangan sampai ditinggalkan.
Katakanlah masalah dengan Tante Laila itu sudah selesai dengan kesimpulan yang positif.
Namun yang membuat batinku limbung adalah Anneke itu.
Aku selalu bersikap sopan padanya. Karena biar bagaimana pun dia itu bossku. Dana yang ditanam di perusahaannya pun malah lebih besar daripada dana Tante Laila…!
Tapi sikap dan perilakunya sering memancing - mancing. Bahkan aku menarik kesimpulan bahwa Anneke itu ingin “ditembak” olehku. Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap dengan fokus ke arah bisnis. Bukan karena dia tidak cantik. Dia memang cantik sekali, tapi aku takut salah fokus dan salah sasaran.
Karena itu, seandainya dia naksir pun padaku, biarlah dia yang nembak duluan. Baru kemudian aku akan menanggapinya.
Sampai pada suatu hari, dia menghubungi ponselku. Dia meminta agar aku datang ke rumahnya, karena ada masalah penting yang harus disampaikan padaku, katanya.
“Siap Non,” jawabku lewat handphone.
Lalu setelah jam kerjaku selesai, aku pun mandi dulu di kantor. Kemudian mengganti pakaian resmiku dengan pakaian casual. Hanya mengenakan celana jeans dan baju kaus hitam.
Aku memang belum pernah menginjak rumah Non Anneke (demikian selalu kuucapkan jika sedang berhadapan dengannya). Jadi sore ini akan menjadi kunjungan pertamaku ke rumahnya.
Beberapa saat kemudian aku sudah menggerakkan sedan hitamku, menuju alamat rumah Non Anneke.
Tadinya kupikir bakal mendatangi sebuah rumah megah dan mewah, karena meski usia Non Anneke baru 20an, dia itu tajir melintir. Bahkan aku yakin kalau dia mau, beli pesawat jet pribadi pun mampu.
Tapi ternyata dugaanku meleset. Rumah Non Anneke ada di dalam kompleks perumahan biasa - biasa saja. Rumahnya pun bukan rumah besar. Mungkin rumah type 70an.
Seorang wanita tua yang menurut taksiranku seorang pembokat, menghampiriku ketika aku sudah memasuki pekarangan rumah berpotongan minimalis dan tampak tertata dengan rapi itu.
“Non Anneke ada Bu?” tanyaku.
“Oh… ada. Tunggu sebentar ya,” sahut wanita itu yang lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian Non Anneke muncul di ambang pintu depan sambil berkata, “Ayo masuk Bang.”
Aku mengangguk sambil melangkah masuk ke ruang tamu. Ternyata meski dilihat dari luar rumah ini kelihatan sederhana, tapi setelah berada di ruang tamu, kulihat segala barang yang tampak di mataku barang impor semua. Termasuk hiasan dindingnya, semua berasal dari luar negeri.
“Begini kan keadaan rumahku. Bukan rumah besar dan megah.”
“Mmm… mungkin Non Anneke menerapkan pola hidup sederhana.”
“Iya. Mobilku aja harganya lebih murah daripada mobil Bang Wawan. Aku ingat terus pesan almarhum Papie sih. Bahwa kita jangan senang pamer harta, pamer barang - barang mahal dan sebagainya. Karena pajak sedang mengintai kita. Kalau kita terlalu lugu, kita takkan kebagian apa - apa. Makanya aku selalu berusaha untuk hidup sederhana.
“Tapi… Non kan masih punya ibu?!”
“Masih. Mamie tinggal di Jakarta dijagain oleh dua orang suster. Karena Mamie harus menjalani therapi dua kali seminggu.”
“Oh… ibunya sakit apa?”
“Mamie lumpuh sejak Papie masih ada. Karena itu surat wasiat yang ditulis oleh Papie berbunyi begitu. Bahwa semua harta Papie diwariskan padaku. Tapi aku berkewajiban untuk mengurus Mamie seumur hidup. Tentu aja aku akan mengurus Mamie. Meski Papie tidak meninggalkan harta pun aku wajib mengurus ibuku sendiri.
“Non Anneke punya saudara?” tanyaku.
“Nggak, “dia menggeleng, “aku ini anak tunggal Bang. Makanya Papie mewariskan seluruh hartanya padaku. Sedangkan aku masih anak ingusan dalam soal bisnis sih. “Ohya, Bang Wawan mau minum apa?”
“Gak usah ngerepotin Non. Tapi kalau ada sih minta kopi pahit aja.”
“Gak pakai gula sama sekali?”
“Iya Non.”
Lalu Non Anneke menoleh ke dalam sambil berseru, “Biii… bikinin kopi pahit… jangan pakai gula yaaa… !”
“Iya Non,” sahut pembokat dari dalam.
Kemudian Non Anneke menatapku lagi dengan senyum yang lain dari biasanya. “Bang… tau kenapa kuundang ke sini?”
“Maaf… belum tau Non.”
“Aku ingin bicara masalah pribadi kita berdua. Antara Anneke dengan Wawan. Bukan antara komisaris utama dengan direktur utama.”
“Siap Non,” sahutku dengan benak penuh tanda tanya.
“Aku ingin Abang bicara sejujur mungkin. Perasaan Abang padaku gimana?”
“Non Anneke seorang boss muda belia yang selalu bersikap apa adanya. Membuatku kerasan punya boss seperti Non ini.”
“Maksudku, bagaimana perasaan Abang padaku secara pribadi. Tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis kita.“
Aku jadi linglung. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Karena kalau salah ucap, bisa fatal akibatnya nanti.
Pembokat pun datang menghidangkan secangkir kopi panas dan sepiring croissant besar.
Setelah pembokat itu masuk lagi ke dalam, Non Anneke pindah duduknya ke sofa yang sedang kududuki. Duduk merapat padaku di samping kiriku.
“Harusnya cewek gak boleh nembak duluan. Tapi aku sudah tak kuat memendamnya terus di dalam hati. Mmmm… sejak pertama kali jumpa dengan Abang… aku… aku jatuh hati sama Abang,” ucapnya sambil memegang tangan kiriku dan meremasnya perlahan.
Aku menoleh ke arah Non Anneke. Menatap matanya yang indah, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis merekah. Lalu kupegang tangan yang sedang meremas tangan kiriku ini, dengan kedua tanganku.
“Non… sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama. Tapi aku tidak berani mengatakannya duluan. Karena biar bagaimana pun Non ini bossku.”
“Jadi Abang juga suka padaku?” tanyanya setengah berbisik.
“Iya Non…”
“Oooh Bang… aku bahagia sekali mendengarnya. Mulai saat ini jangan anggap aku boss Abang lagi. Aku ini… si Anneke ini… jatuh cinta kepada Abang… dan kalau Abang percaya, inilah cinta pertamaku Bang…”
Aku menatapnya terus… menatap bibirnya juga yang bergerak perlahan… mendekat ke arah bibirku. Maka spontan kutanggapi tanpa berbasa - basi lagi. Memagut bibirnya sambil melingkarkan lenganku di lehernya.
Ketika aku melumat bibir sensualnya, ia menyambutku dengan lumatan juga.
Lalu… lama kami saling lumat di atas sofa ini.
Sampai akhirnya terlepas. Disusul dengan ucapan Non Anneke perlahan.. “Terima kasih Bang. Aku bahagia sekali, karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi… Abang belum punya pacar?”
“Sudah,” sahutku, “Pacarku cantik sekali. Dan sekarang dia duduk di sebelah kiriku.”
“Hihihihiii… ternyata Bang Wawan suka bercanda juga ya. ‘
“Terus… keinginan Non selanjutnya bagaimana?”
“Kita jadian Bang. Aku tidak menuntut apa - apa dari Abang. Aku hanya ingin disayang dan dicintai oleh Abang.”
Aku cuma mengangguk perlahan.
Aku punya banyak perempuan yang bisa kuperlakukan seperti kepada istriku sendiri. Tapi semuanya lebih tua dariku. Sedangkan Anneke ini lebih muda 3 tahun dariku. Mungkin dialah yang paling tepat untuk kujadikan calon istriku. Sementara yang lain - lain tetap akan kujadikan kekasih gelapku.
“Bang… aku sudah berjanji bahwa aku akan menyerahkan semuanya kepada lelaki yang kucintai. Karena itu aku mohon, malam ini nginap di sini aja ya Bang. Si Bibi sebentar lagi juga pulang. Jadi hanya akan ada kita berdua di rumah ini.”
“Jadi kalau malam Non sendirian aja di rumah ini?”
“Iya Bang.”
“Waaah… Non ini bukan golongan menengah ke bawah. Apa gak takut tidur sendirian terus? Bagaimana kalau ketahuan sama orang jahat?”
“Perumahan ini sangat aman Bang. Tiap malam para petugas keamanan selalu patroli ke setiap pelosok perumahan ini. Lagian aku punya pistol legal dan ada izinnya kok Bang. Tapi mudah - mudahan pistol itu takkan pernah kugunakan. Asalkan aman terus seperti sekarang ini.”
“Nanti sebaiknya dipikirkan juga untuk menggaji security yang bisa menjaga rumah ini siang malam.”
“Kan sudah kubilang Bang. Aku tak mau kelihatan sebagai orang kaya di sini. Kalau menggaji security atau bodyguard segala, bisa jadi sorotan orang - orang nanti.”
“Nanti aku akan carikan rumah di kompleks yang ngepas dengan level Non ya.”
“Silakan aja. Tapi jangan yang terlalu megah. Yang seperti air tenang tapi menghanyutkan. Ohya… tadi Abang belum jawab… malam ini nginep di sini aja ya.”
“Tidur seranjang sama Non?” tanyaku yang niatnya cuma bercanda saja.
Tapi Anneke memegang tanganku sambil berbisik, “Iya. Aku ingin tau semuanya. Sudah waktunya juga kan? Usiaku sudah duapuluh tahun sekarang.”
“Maksudnya sampai hubungan sex segala?” tanyaku ingin kepastian darinya.
“Iya Abang Sayang. Aku sudah berjanji di dalam hati, bahwa keperawananku akan kuberikan kepada orang yang benar - benar kucintai.”
“Wah… ini benar - benar surprise buatku Non.”
“Tapi ingat ya Bang… aku ingin Abang jadi suamiku kelak.”
“Bisa. Tapi jangan buru - buru ya Non.”
“Iyalah. Aku juga gak ingin buru - buru. Nikah sih setahun dua tahun lagi juga gak apa - apa. Tapi aku sudah gak sabar… ingin merasakan hubungan seperti suami istri malam ini juga.”
“Non benar - benar masih perawan?”
“Cailaaaa… masa Abang gak percaya padaku? Nanti kan ABang bisa buktikan sendiri. Kalau aku tidak perawan lagi, ludahi deh mukaku nanti.”
Tak lama kemudian si bibi pembokat itu muncul sambil membawa rantang entah berisi apa. “Bibi mau pulang ya Non.”
“Iya Bi. Udah bawa nasi dan lauk pauknya?”
“Sudah Non… ini…” sahut si Bibi sambil membuka tutup rantangnya dan memperlihatkan isinya kepada Anneke.
“Iya, iya. Besok datengnya agak pagian ya Bi. Mau nyuruh ke pasar dulu.”
“Baik Non.”
Kemudian pembokat itu berlalu.
Anneke pun bangkit dari sofa. Melangkah ke pintu depan untuk menguncinya.
“Nah sekarang aman sudah. Kita mau melakukan apa pun bisa,” ucap Anneke sambil menghampiriku. Dan memegang pergelangan tanganku, “Di kamarku aja yok. Biar lebih nyaman.”
Aku mengikutinya saja. Sambil ingin tahu apa yang akan dilakukannya nanti.
Ternyata… setibanya di dalam kamar, Anneke melepaskan kancing - kancing gaun rumahnya yang berwarna biru muda itu. Ternyata di balik gaun yang kancingnya berderet di depan itu, ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Sehingga aku langsung bisa menyaksikan keindahan sepasang toketnya yang lumayan gede dan keindahan vginanya yang bersih dari jembut…
Tentu saja nafsu birahiku langsung bangkit dan bergejolak.
Terus terang saja, aku merasa seolah sedang bermimpi menghadapi kenyataan ini. Memang Anneke cantik, mulus dan sangat membangkitkan nafsu birahiku. Tapi tadinya aku tak pernah membayangkan hubunganku dengannya harus berubah. Bukan sekadar seorang dirut dengan bossnya. Karena biar bagaimana pun juga seorang direktur utama itu masih tergolong pegawai juga.
Dan kini Sang Boss yang cantik rupawan itu berkata dengan suaranya yang semakin membuatku serasa bermimpi :
“Sejak berjumpa dengan Bang Wawan, aku mengkhayalkannya. Lalu memikirkannya selama beberapa bulan. Akhirnya aku memutuskan, bahwa Bang Wawan harus jadi milikku. Dan aku harus menjadi milik Bang Wawan.”
Lalu tubuh putih mulus dan sesegar kuncup bunga yang baru mau mekar itu pun berada dalam pelukanku. Harum parfum mahal pun semakin tersiar ke penciumanku. Lalu… dalam keadaan yang sudah sama - sama telanjang, kubopong tubuh mulus dan hangat itu ke atas bed mahalnya. Di situlah aku mulai beraksi sebagai seorang lelaki sejati.
Tampaknya Non Anneke memang belum pernah disentuh oleh cowok. Itu bisa kubuktikan dengan senantiasa agak tersentak ketika aku menyentuh titik - titik pekanya. Dan ketika aku menghimpitnya sambil melumat bibir sensualnya, tubuhnya langsung menghangat. Terlebih ketika aku mencium bibir sensual itu sambil memainkan pentil toketnya, ia bereaksi dengan mendekap pinggangku erat - erat.
Pada saat berikutnya aku berbisik ke dekat telinganya, “Aku harus menjilati vgina Non dulu, supaya pada waktunya penetrasi nanti seperti ada pelumasnya.”
Anneke menatapku dengan sorot pasrah. Lalu berkata perlahan, “Lakukanlah apa yang harus Abang lakukan…”
Setelah mendengar ucapannya itu aku langsung melorot turun. Sehingga wajahku berhadapan dengan kemaluan Anneke yang begini bersih dan rapatnya.
Sebagai langkah pertama, kudorong paha putih mulusnya agar merenggang selebar mungkin. Kemudian kuciumi vgina yang masih rapat itu. Lalu kungangakan selebar mungkin, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu kelihatan jelas. Kelentitnya pun tampak imut - imut di bagian atasnya.
Ujung lidahku pun mulai beraksi. Menyapu - nyapu bagian yang agak basah dan berwarna pink itu.
Anneke mulai menggeliat - geliat dengan nafas yang tertahan - tahan. Bahkan lalu terdengar desahan dan rengekan manjanya, “Aaaa… aaaaa… aaaaaah… Baaaaang… ini geli - geli enak Baaang… rasanya sampai menggetarkan sekujur tubuhku… seperti mengalir dari ujung kaki sampai kepalaku… ooooohhhh…
ternyata begini ya rasanya… ooooohhhh… Baaaang… aku makin cinta sama Abaaaaang… aku cinta Bang Wawaaaan… cintaaaa… ooooooohhhhh… baru sekali ini aku merasakan semuanya ini Baaaang… dudududuuuuhhh… makin lama makin enak Baaaang… iyaa Baaang… jilatin terus Baaang… enak sekali…
Aku tidak menanggapinya. Karena mulutku sedang “sibuk” menjilati bagian yang berwarna pink itu. Lalu lidahku menjilati kelentitnya dengan lahap sekali.
Kali ini Anneke buka cuma menggeliat tapi juga terkejang - kejang, dengan jari kakinya yang menukik - nukik. Seperti menahan sesuatu yang luar biasa. Tentu saja luar biasa nikmatnya. Karena clitoris alias kelentit ini bagian paling peka pada kemaluan wanita.
Sementara itu aku terus - terusan mengalirkan air liurku ke arah bagian yang berwarna pink itu.
Cukup lama aku melakukan semua ini.
Sampai terasa bagian dalam vgina Anneke ini sudah cukup basah dan siap untuk diterobos pnisku.
Lalu kujauhkan mulutku dari vgina Anneke. Dan kucolek - colekkan moncong pnisku di mulut vagina Anneka yang sudah basah kuyup oleh air liurku. Setelah terasa ngepas, aku pun mendorong pnisku sekuat tenaga. Tapi… stttt… malah meleset ke bawah. Kuletakkan lagi moncong senjata kejantananku pada titik yang masih rapat itu.
Pada titik itulah moncong pnisku diletakkan. Kemudian aku mengumpulkan tenagaku untuk mendorong pnisku lebih kuat dari tadi.
Iyaaaa… sedikit demi sedikit pnisku mulai melesak masuk.
“Kalau sakit tahan dikit Non,” ucapku sambil mengumpulkan tenaga lagi untuk mendorong batang kemaluanku agar masuk lebih dalam lagi.
Hebatnya Anneke itu, masih bisa tersenyum manis. Tidak kelihatan sedikit pun kalau dia merasa sakit. Padahal pnisku sudah hampir separohnya masuk ke dalam liang vginanya.
Tapi aku tetap ingin membuat Anneke senyaman mungkin. Maka kutarik pnisku perlahan dan kudorong lagi agak kuat. Tarik lagi perlahan, dorong lagi lebih kuat. Memang sempit sekali liang vgina bossku ini. Sehingga aku belum leluasa untuk benar - benar mengentotnya.
Sementara itu Anneke cuma terdiam pasrah. Terkadang mata beningnya terpejam, terkadang menatapku dengan sorot pasrah. Sesekali ia menggeliat dan memeluk leherku. Terkadang juga ia mengejang dengan mata terpejam.
Namun lama kelamaan liang vagina Anneke beradaptasi dengan ukuran batang kemaluanku. Sehingga aku mulai lancar mengentotnya dalam kecepatan normal.
Saat itulah Anneke mulai mendesah dan merengek manja dan terdengar erotis di telingaku.
“Aaaaaa… aaaaa… aaaaaah… Baaang… ini… enak sekali Baaang… oooooh… ini Abang sudah menyetubuhiku kan?”
“Iya Non… hhh… tubuh kita sedang bersatu… hhh… makanya disebut bersetubuh,” sahutku terengah.
Dalam keadaan seperti ini, aku masih menyempatkan diri mengangkat badanku, lalu memperhatikan pnisku yang sedang maju mundur di dalam vgina Anneke. Ternyata memang ada garis - garis darah di badan pnisku. Darah perawan Anneke.
Memang sejak melihat bentuknya dari dekat sebelum menjilati vginanya tadi, aku sudah yakin bahwa Anneke masih perawan. Namun saksi konvensional adalah darah perawan itu.
Maka sambil mengentotnya, aku masih sempat membisiki telinga Anneke, “Non memang masih perawan… aku sangat menghormati hal itu.”
Anneke pun menyahut lirih, “Ya iyalah… tapi sekarang aku gak perawan lagi Bang.”
“Menyesal karena keperawanan Non sudah kuambil?” tanyaku sambil menghentikan entotanku sejenak.
“Nggak. Aku ikhlas. Kan aku sendiri yang menginginkannya. Yang penting Abang tetap sayang padaku di kemudian hari ya…”
“Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangimu Non,” ucapku sambil melanjutkan lagi ayunan pnisku.
Anneke pun menciumi bibirku dengan lahapnya. Setelah ciumannya terhenti, giliran aku yang menjilati lehernya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Sementara tangan kiriku beraksi juga, untuk meremas - remas toket kanannya dengan lembut.
Ya segalanya kulakukan dengan lembut, karena Anneke ini bukan sekadar sudah jadian denganku, tapi juga bossku. Boss yang punya kapital jauh lebih gede daripada Tante Laila.
Desahan dan rintihan histeris Anneke pun mberlontaran lagi dari mulutnya, “Aaaaah… aaaaaaaah… Bang… aku cinta kamu Baaaang… aaaaaah… ini… luar biasa enaknyaaa… sampai kayak melayang - layang gini… aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaah…”
Tidak seperti biasanya, kali ini aku punya niat yang berbeda. Niat untuk menghamili Anneke. Karena itu aku tak usah terlalu berlama - lama menyetubuhinya. Bahkan aku ingin ejakulasiku berbarengan dengan orgasmenya.
Kenapa aku ingin menghamilinya?
Supaya dia minta secepatnya kunikahi. Lalu aku bakal hidup sejahtera kelak… setelah menjadi suaminya.
Karena itu diam - diam aku “mengintai” gejalanya. Gejala perempuan yang sudah mendekati orgasme.
Keringatku pun sudah bercucuran. Berbaur dengan keringat Anneke.
Beberapa saat kemudian, dia mulai berkelojotan. “Baaaaang… ooooohhh Baaaang… ini… ini… vginaku seperti mau pipis… susah nahannya… aaaaah… “rintihnya.
“Bukan mau pipis… itu pertanda mau orgasme. Lepasin aja, gak usah ditahan - tahan Non…” sahutku sambil mempercepat entotanku.
pnisku maju mundur dengan cepatnya di dalam liang vgina yang sudah licin tapi tetap terasa sangat sempit ini… sampai pada suatu saat, ketika Anneke mengejang tegang, kutancapkan pnis ngacengku sedalam mungkin.
Sedetik kemudian aku merasakan sesuatu yang sangat nikmat ini. Bahwa liang vgina Anneke berkedut - kedut kencang… disusul oleh kejutan - kejutan pnisku sendiri… pnis yang sedang memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crottttt… crooooooootttttt… crooottttt… croooottttt… crotttt… crooootttttttt…!
Aku terkapar di atas perut Anneke. Dengan keringat yang semakin membanjir.
“Abang Sayang… terima kasih ya. Luar biasa nikmatnya,” bisiknya. Disusul dengan pagutannya di bibirku.
“Terima kasih juga karena Non sudah mempercayakan semua ini padaku,” sahutku yang diikuti dengan tarikan pnisku sampai terlepas dari liang vgina sempitnya. Spontan aku memandang ke bawah bokong Anneke. Memandang saksi keperawanan bossku yang masih sangat muda itu.
Darah perawan itu…!