Ibuku Tuna Netra 26 - 30



Anneke turun dari bed dan bergegas membuka salah satu lemarinya.


Tadinya kupikir ia akan mengeluarkan kain seprai baru, untuk mengganti kain seprai yang sudah terciprati darah perawannya. Tapi ternyata bukan. Ia mengeluakan kotak obat - obatan. Lalu dikeluarkannya se-strip pil kontrasepsi…!


Diperlihatkannya pil - pil itu pdaku sambil berkata, “Aku harus menelan pil anti hamil ini biar jangan hamil dulu, ya Bang.”


“Iya. Itu lebih baik,” sahutku sambil tersenyum. Padahal aku merasa kecewa atas kesiagaannya itu.


“Jadi kita bebas bersetubuh sesering apa pun, tanpa takut hamil,” ucapnya sambil mengajakku mandi sore.


Di dalam kamar mandi yang peralatannya serba mutakhir itu, Anneke berkata, “Kalau Abang merasa di rumah ini kurang nyaman, silakan aja cari rumah yang dianggap aman dan nyaman. Nanti kalau sudah ada yang cocok, tinggal call aku aja sekalian kirim nomor rekening penjual rumah itu. Aku akan transfer dananya saat itu juga.


Tapi Non kan harus hadir pada saat transaksi, untuk menandatangani akte jual beli …”


“AJBnya atas nama Abang aja.”


“Iya Beib…”


“Abang… aku suka dipanggil beib… sekarang jangan formal - formalan lagi. Kita kan sudah jadian.”


Alamku jadi indah. Segalanya terasa indah. Membuatku semakin bersemangat untuk menjalani kehidupan ini. Bersemangat untuk melaksanakan tugas - tugasku, bersemangat pula untuk memainkan peranku sebagai seorang lelaki jantan. Baik untuk Ibu, untuk Wati, untuk Tante Laila, untuk Ema Mimin, untuk Euis dan terutama untuk Anneke Tercinta.


Hampir tiap hari aku “berjuang” untuk memuasi hasrat birahi Anneke. Karena dia sudah ketagihan untuk merasakan nikmatnya hubungan sex denganku.


Rumah pilihanku pun sudah dibayar lunas atas namaku sendiri, meski dananya ditransfer oleh Anneke langsung ke pihak developer. Karena rumah itu terletak di kompleks perumahan paling elit di kotaku.


Rumah itu pun sering dijadikan ajang pergumulan birahiku dengan Anneke.


Demikian seringnya aku menggauli Anneke, seolah seorang suami menunaikan kewajibannya untuk memberi nafkah batin kepada istrinya.


Anneke memang semakin mesra sikapnya. Bahkan terkadang seperti tidak rela berjauhan denganku.


Bahkan pada suatu hari Anneke mengajakku untuk menemui ibunya di Jakarta.


“Mau ngapain Beib? Mau pinton aku sebagai calon suami?” tanyaku.


“Jangan dulu. Untuk sementara aku hanya akan memperkenalkan Abang sebagai direktur utama perusahaanku. Lantas kalau aku pulang sendirian ke Jakarta lagi, aku akan nanya sama Mamie. Apakah Mamie setuju kalau Abang dijadikan calon suamiku? Kalau Mamie setuju kan aku tinggal mendengarkan petunjuknya saja.


“Kalau mamienya gak setuju gimana?”


“Aku akan berusaha merayunya tiap hari lewat telepon.”


“Lalu kalau maminya tetap gak setuju?”


Anneke memegang sepasang bahuku. Menatapku dengan senyum di bibir sensualnya. Lalu berkata, “Biar bumi terbelah dua, cintaku padamu takkan bisa padam Bang. Kalau Mamie tetap tidak setuju, kita kawin aja diam - diam. Oke? Jadi jangan gentar Bang. Lagian Mamie sangat sayang padaku. Aku yakin Mamie bakal setuju juga nanti.


“Oke. Terus mau berangkat sekarang juga?”


“Iya Abang Sayang. Sekarang kan malam Sabtu. Kita weekend di rumah Mamie aja yaaa…”


“Mau pakai mobil mana? Mobil Non apa mobilku?”


“Mobil Abang aja. Mobilku kan cuma mobil Jepang Bang. Harganya juga kurang dari separoh mobil Abang. Pasti mobil Abang lebih nyaman didudukinnya.”


“Kalau Non mau, beli pesawat jet pribadi juga bisa. Tapi Non kan gak mau pamer harta. Aku juga punya mobil itu bukan dapet beli. Ada yang ngasih Non.”


“Siapa yang ngasih?”


“Owner perusahaan lama Non.”


“Kok bisa ngasih hadiah semahal itu?”


“Kebetulan waktu itu perusahaan mendapatkan profit yang cukup besar. Dan itu hasil kerjaku. Makanya aku dikasih reward mobil itu.”


“Aku malah belum ngasih hadiah apa - apa sama Abang.”


“Sudah. Masa lupa Beib?”


“Apa?”


“Sesuatu yang jauh lebih mahal daripada mobilku itu.”


“Hihihiii… vginaku maksud Abang?”


“Iya. Itu tak ternilai harganya Non. Dan aku bangga bisa memiliki dirimu Beib.”


“Aku juga bangga punya Abang, emwuaaaaah…” ucapnya diakhiri dengan kecupan mesra di pipiku.


“Ohya… rumah mau dikunci aja?”


“Nggak. Si Bibi sudah disuruh tidur di sini sampai kita pulang dari Jakarta nanti.”


“Owh… ya udah.”


“Udah titip juga sama security perumahan.”


Beberapa saat kemudian Anneke sudah duduk di dalam mobilku yang kukemudikan sendiri.


“Di rumah Mamie sih gak bisa ML Bang. Soalnya aku pasti bobo sama Mamie.”


“Nggak apa. Puasa dua tiga hari aja sih gakpapa.”


Lalu sedan hitamku meluncur terus di jalan aspal.


Kebetulan jalan sedang sepi, karena aku sengaja memilih jalan tikus untuk mencapai pintu tol.


“Kuperkirakan kita tiba di Jakarta tengah malam. Gak apa - apa?”


“Gak apa - apa. Mamie sih suka tidur setelah lewat jam duabelas malam. Sebelum ngantuk benar sih nancep aja di depan tivi.”


“Beliau pakai kursi roda?”


“Iya. Tapi kursi rodanya sudah pakai remote control. Jadi gak terlalu merepotkan kedua suster yang merawatnya. Cuma waktu mau naik atau turun dari kursi roda, harus dibantu oleh suster.”


“Usianya sudah tua?”


“Belum tua - tua banget Bang. Mamie melahirkan aku waktu usianya baru delapanbelas.”


“Jadi sekarang baru tigapuluhdelapan tahun usianya?”


“Ya, kira - kira segitulah. Abang kan sudah tau umurku. Jadi umur Mamie tinggal nambahin delapanbelas aja kan?”


“Ayahmu meninggal karena apa Beib?”


“Serangan jantung Bang. Papie meninggal ketika usianya sudah limapuluh lebih Bang. Perbedaan usia Papie dengan Mamie jauh sih. Maklum Papie sudah kaya raya sejak masih bujangan. Maka dengan mudah aja almarhum bisa mendapatkan Mamie yang saat itu baru berumur tujuhbelas.”


Aku cuma tersenyum.


Sedan hitamku meluncur terus di jalan tol yang kebetulan tidak padat menuju Jakarta sih. Tapi yang dari Jakarta menuju Padaleunyi kelihatan padat sekali. Maklum malam weekend.


Dua jam kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan rumah besar dan antik, tapi tetap tidak menunjukkan rumah orang kaya raya. Mungkin karena almarhum ayah Anneke telah melaksanakan pola hidup sederhana. Padahal menurut penuturan Anneke sendiri, sewaktu ayahnya masih hidup, perusahaannya bukan hanya ada di Indonesia.


Seorang petugas security menghampiri mobilku. Pada saat yang sama Anneke turun dari depan kiri mobilku. Orang security itu kaget, “Ooooh… Selamat malam Non Boss. Kirain siapa.”


Anneke hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengajakku masuk ke dalam rumah bergaya Italia tempo doeloe itu.


Seorang wanita setengah baya tampak duduk di kursi roda yang menghadap ke arah pesawat televisi. Dua orang suster duduk di sofa yang berdampingan dengan kursi roda itu.


“Mamie… !” seru Anneke dengan gaya manja menghampiri wanita yang mamienya itu. Lalu ia memnbungkuk dan cipika - cipiki dengan mamienya.


“Kok tengah malam gini datangnya?” tanya wanita itu.


“Kan sekalian mau weekend di sini, “Anneke berdiri di belakang kursi roda itu sambil memegang sepasang bahu mamienya.


“Sama siapa itu?” tanya sang Mamie.


“Bang Darmawan. Direktur utama di perusahaan kita Mam,” sahut Anneke, “Kenalin dulu mamieku Bang.”


Aku mengangguk dan berlutut di depan kursi roda itu, untuk mencium tangan wanita setengah baya itu.


“Waduuuh… dirutnya kok masih sangat muda dan ganteng gini Anne. Apa dia bukannya pacar kamu?” tanya wanita itu sambil tengadah, menatap putrinya yang sedang berdiri di belakang kursi rodanya.


“Hush sembarangan Mamie ni,” sahut Anneke, “Bang Darmawan ini sebelum direkrut ke perusahaan kita pun sudah jadi dirut di perusahaan lain. Perusahaan punya tantenya. Jadi sekarang jabatannya rangkap dua. Jadi dirut di perusahaan tantenya sekaligus jadi dirut di perusahaan kita.”


Aku pun berdiri dan duduk di sofa yang berhadapan dengan kursi roda mamienya Anneke itu.


“Mam… aku mau ke toilet dulu ya…” ucap Anneke sambil menoleh padaku, “Mau ke toilet dulu ya Bang.”


Aku dan mamienya Anneke mengangguk. Lalu wanita setengah baya itu menoleh ke arah dua suster yang duduk di sofa samping kursi roda itu. “Kalian kalau udah ngantuk pada tidur aja gih. Biar aku diurus sama anakku aja.”


Kedua suster itu langsung berdiri, kemudian mengangguk sopan padaku dan melangkah ke belakang.


“Eh, siapa namanya tadi? Darmawan ya?” tanya wanita setengah baya itu sambil memandangku.


“Mmm… panggil Wawan aja Tante.”


“Sini sebentar,” ucapnya sambil menggapai - gapaikan tangannya, “Ada yang mau tante omongin.”


Aku pun segera mendekati mamienya Anneke itu. Dia pun berkata setengah berbisik, “Lima harian lagi ke sini ya. Jangan sama Anneke. Ada yang mau tante sampaikan.”


“Siap Tante.”


Lalu ia mengeluarkan handphone dari saku baju piyama putihnya, “Masukkin nomor handphone Wawan ke hape tante. Biar nanti bisa ngomong leluasa lewat hape.”


Aku menurut saja. Kupijat nomorku dari handphone punya mamienya Anneke. Hapeku yang disilent pun bergetar. Jadi aku bisa memasukkan nomor mamienya Anneke juga. Kemudian kusaving nama dan nomor hapeku di handphone mamienya Anneke.


Setelah memasukkan kembali hape ke dalam saku baju piyamanya, wanita itu menyimpan telunjuk di bibirnya sambil berkata setengah berbisik, “Jangan bilang apa - apa sama Anneke ya.”


“Siap Tante.”


Tak lama kemudian Anneke muncul lagi di ruang keluarga itu. Dan langsung menghampiriku, “Tasnya bawa ke sini Bang. Aku mau nunjukin kamar Abang nanti di mana.”


“Iya,” sahutku, “sebentar mau diambil dari mobil dulu. Sekalian sama tas Non juga ambil?”


“Oh iya Bang. Maaf ya…”


Setelah mengambil tas pakaianku dan tas pakaian Anneke, aku tidak langsung tidur. Aku ikut mendengarkan obrolan Anneke dan ibunya. Belakangan aku mendengar nama mamienya Anneke itu Martini (seperti merk minuman beralkohol ya?).


“Bagaimana hasil therapi yang Mamie ikuti selama ini? Ada perkembangannya?” tanya Anneke pada suatu saat.


“Ada Sayang,” sahut Tante Martini, “Kaki mamie jadi bisa digerakkan. Lutut pun kalau dipegang jadi ada rasanya. Tidak mati rasa seperti dahulu lagi. Bahkan berdiri pun mamie sudah bisa. Tapi masih lemes lututnya. Mamie tak mau memaksakannya. Kata therapis dari Amerika itu, mamie harus sabar. Katanya sih lama - kelamaan juga mamie bakal bisa jalan lagi.


”Iya, Mamie harus sabar. Penyembuhannya harus step by step,” ucap Anneke. Kemudian ia menoleh padaku, “Eh Bang… kalau mau istirahat, silakan aja istirahat duluan.”


Aku mengangguk lalu bangkit dan agak membungkuk ke arah Tante Martini, “Mohon izin mau istirahat dulu Tante.”


Lalu aku masuk ke dalam kamar yang sudah diberikan oleh Anneke. Dan tidur nyanyak tanpa mimpi.


Tiada hal penting selama dua malam menginap di rumah mamienya Anneke itu.


Minggu sore pun kami pulang ke kota kami.


Dalam perjalanan pulang dari Jakarta itu Anneke berkata, “Kayaknya Mamie bakal setuju kalau kita jadi pasangan suami - istri kelak.”


”Emangnya udah terus terang sama beliau bahwa kita sudah saling jatuh cinta?” tanyaku.


“Belum. Mamie sih jangan dibawa buru - buru Honey. Segalanya harus santai dan matang. Nanti aja kalau kita udah matang dan siap untuk menikah, barulah aku akan mengatakannya.”


“Iya terserah bidadariku aja. Aku pun tidak ingin terburu - buru.”


“Nah cowok seperti Abang ini yang kucita - citakan sejak dahulu. Cowok yang tak pernah memaksakan kehendak… emwuaaaaahhh… !” ucap Anneke yang diakhiri dengan kecupan mesranya di pipi kiriku.


Anneke tidak tahu bahwa handphoneku yang sedang disilent ini bergetar vibratornya. Cuma satu kali bergetar. Dan ketika kami membelok ke rest area, untuk istirahat dan mengisi perut, aku langsung ke toilet dulu untuk membuka isi WA yang ditandai dengan satu kali getaran itu tadi.


Di toilet kubuka WA itu yang ternyata dari Tante Laila. Isinya :-Sayangku… anak kita sudah lahir. Cantik sekali. Suamiku juga tampak senang, meski dia tau bahwa anak itu bukan anaknya. Untuk menyenangkan hatinya kuminta agar dia memberi nama. Maka anak itu pun diberinya nama Winiarti. Gak apa - apa kan?-


Aku merasa senang campur haru. Lalu membalasnya :-Aku bahagia sekali Sayang. Soal nama, itu sudah cukup bagus. Lalu kapan aku harus menengok anak kita itu?-


Tante Laila :-Santai dulu ya Sayang. Jangan terburu - buru. Percayakanlah aku akan merawat anakmu dengan penuh kasih sayang. Aku juga sangat bahagia dan merasa sudah menjadi wanita yang lengkap. Nanti kalau anak kita sudah bisa dibawa ke luar, aku akan ngajak ketemuan lagi di hotel yang sering kita pakai itu. -


Setelah memasukkan kembali hape ke saku celana jeansku, aku pun keluar dari toilet. menghampiri Anneke yang sudah duduk di resto dalam kompleks rest area jalan tol itu.


Seusai mengisi perut, kami lanjutkan lagi perjalanan pulang itu.


Setelah tiba di kota kami, kuantarkan dulu Anneke ke rumahnya, kemudian aku pun pulang.


Di rumah, di dalam kamarku, terawanganku melayang - layang tak menentu. Teringat pada Tante Laila yang sudah melahirkan anakku, teringat pula permintaan Tante Martini yang memintaku untuk datang lagi ke rumahnya. Waktu itu hari Jumat malam, Tante Martini meminta agar empat hari lagi aku datang ke rumahnya tanpa Anneke.


Masalahnya, apa tujuan Tante Martini yang memintaku datang lagi ke rumahnya tanta anaknya? Apakah ada rahasia tentang Anneke yang akan disampaikannya padaku, sehingga Anneke sendiri tidak boleh tahu?


Entahlah.


Yang jelas, di hari Selasa sore, sepulangnya dari kantor aku langsung berangkat ke Jakarta. Tanpa ngomong apa pun kepada Anneke.


Aku tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh mamienya Anneke itu nanti. Tapi kelihatannya penting sekali, sehingga aku harus mengabulkan permintaannya.


Ketika sedan hitamku sudah memasuki Jakarta, handphoneku berdering. Ternyata dari Tante Martini…!


Lalu :


Aku: “Hallo Tante…”


Tante Martini: “Kapan mau ke rumah tante? Besok?”


Aku: “Sekarang Tante. Ini sudah masuk Jakarta. Mungkin setengah jam lagi juga tiba di rumah Tante.”


Tante Martini: “Owh… syukurlah. Tante tunggu ya.”


Aku: “Siap Tante.”


Dan memang setengah jam kemucian aku sudah tiba di pekarangan rumah Tante Martini. Seorang petugas security bergegas membuka pintu garasi, lalu menghampiriku, “Selamat malam Boss. Tadi Bu Martini minta agar mobil Boss langsung dimasukkan ke garasi,” ucapnya.


“Owh… iya iyaaa…” sahutku sambil memasukkan mobilku ke dalam garasi.


Ketika aku masuk ke dalam rumah, salah seorang suster yang tempo hari sudah kukenal, menyambutku, “Silakan masuk aja ke kamar Ibu. Beliau sudah menunggu Boss.”


Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar mamienya Anneke. Begitu masuk ke dalamnya, aku mengagumi kamar ini. Selain luas dan ada taman mininya segala, segala peralatan di dalam kamar ini serba mahal sekali. Mungkin harga perabotannya bisa lebih mahal daripada harga rumahnya…!


Tante Martini tampak sedang berada di pinggir kolam ikan koi. Dan tersenyum ceria setelah melihat kedatanganku.


“Wawan orang yang tepat janji ya. Tante suka itu,” ucapnya setelah aku berjongkok di depan kursi rodanya dan mencium tangannya yang terasa halus serta hangat.


“Tante kelihatan seger sekali sekarang,” ucapku.


“Kan baru selesai mandi sore Wan,” sahut Tante Martini sambil menggerakkan kursi rodanya menuju sofa - sofa putih yang berderet di sepanjang dinding dari taman menuju ruang peraduannya.


“Wan bisa minta tolong… kuncikan dulu pintunya. Soalnya tante mau membahas sesuatu yang sangat rahasia. Jangan sampai suster - suster itu ikut nguping,” kata Tante Martini sambil menunjuk ke arah pintu keluar yang sudah tertutup tapi belum dikunci.


Kuikuti permintaan Tante Martini itu, mengunci pintu yang ditunjuk itu, kemudian duduk di sofa yang berdampingan dengan kursi roda mamienya Anneke.


Lalu Tante Martini berkata perlahan, “Sebenarnya kedua kakiku ini sudah hampor normal. Mungkin tiga bulan lagi juga tente bisa berjalan lagi.”


“Tapi berdiri sudah bisa Tante?”


“Sudah. Tapi belum bisa lama - lama. Karena lutut tante masih lemas.”


Aku menyimak dan memperhatikan bentuk Tante Martini yang saat itu mengenakan kimono putih. Dia seorang wanita yang berkulit lebih gelap daripada Anneke. Katakanlah dia seorang wanita yang hitam manis, meski kulitnya tidak hitam juga.


Dan aku semakin penasaran, apa sebenarnya yang mau disampaikan padaku sehingga memintaku datang tanpa Anneke?




Akhirnya Tante Martini berkata, “Sebenarnya tante ini sudah sembilanpuluh persen sembuh. Mungkin tiga bulan lagi juga tante udah bisa berjalan lagi secara normal. Sekarang tinggal menormalkan jaringan syaraf di seputar lutut aja.”


“Iya Tante. Lalu nanti Tante bisa menjalani kehidupan secara sehat seperti wanita - wanita normal, “tanggapku.


“Iya Wan. Tapi ada sesuatu yang menuntut terus dari dalam batin tante. Makanya tante mau minta tolong sama Wawan…”


“Minta tolong apa Tante? Sampaikan aja. Jangan ragu - ragu. Kalau aku bisa menolongnya, pasti kutolong Tante.”


Tante Martini termenung sejenak. Lalu bertanya, “Wawan punya teman di Jakarta?”


“Banyak Tante. Teman kuliahku kebanyakan kerjanya di Jakarta.”


“Carikan seorang aja buat tante. Tapi yang seganteng Wawan.”


“Haaa?! Buat apa Tante?”


“Untuk memuasi hasrat batinku Wan. Sejak dua tahun yang lalu tante tidak merasakannya sama sekali.”


“Ja.. jadi Tante membutuhkan teman bobo gitu?”


“Iya Wan. Tante mau bicara terbuka aja. Tante ingin mendapatkan cowok yang bisa memuasi hasrat seks tante yang selama ini dipendam terus. Pokoknya cari cowok yang bisa memegang rahasia. Yang bisa secara rutin menggauli tante. Tapi jangan bawa cowok yang jelek. Tante maunya seinilai sama kegantengan Wawan.


Sebenarnya aku sangat terkejut mendengar “permintaan tolong” mamienya Anneke itu. Tapi dengan cepat aku memutar otak. Dan akhirnya berkata, “Cari cowok sih gampang Tante. Tapi yang sulit, apakah dia bisa memegang rahasia nggak? Ini masalahnya.”


“Terus saran Wawan bagaimana?”


“Satu - satunya orang yang bisa memegang rahasia adalah diriku Tante. Dan aku sanggup untuk memuasi Tante kapan pun diinginkan. Bahkan sekarang pun aku siap untuk melakukannya.”


“Kamu mau Wan? Serius kamu mau sama perempuan yang sudah berumur seperti tante ini? Memangnya tante ini masih menarik bagimu?” tanya Tante Martini sambil menatapku dengan sorot ragu, seperti kurang percaya pada kesediaanku.


Sebagai jawaban, kupegang tangan Tante Martini yang hangat itu. Sambil berkata, “Tante cantik sekaligus manis. Sementara aku… penggila wanita setengah baya sejak lama. Jadi… aku siap memuasi Tante sekaligus berjanji untuk tetap merahasiakannya kepada siapa pun, termasuk kepada Non Anneke.”


Tante Martini meremas tanganku dengan lembut. Menatapku dengan senyum manis di bibir sensualnya, ya… betapa sensualnya bibir wanita setengah baya itu. “Tante setuju usulmu,” ucapnya setengah berbisik, “Tapi awas jangan sampai Anneke tau ya.”


“Tentu aja Tante. Aku juga pasti kena marah abis - abisan kalau Non Anne sampai tau,” sahutku sambil berdiri di depan kursi rodanya.


Lalu, tanpa ragu kuulurkan kedua tanganku untuk memeluk dan mengangkat tubuh Tante Martini dari atas kursi rodanya. Lalu membopongnya ke arah bed yang agak jauh dari kursi roda itu.


Pada saat aku membopongnya itu, Tante Martini melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku merasakan sensasi yang luar biasa indahnya. Karena aku merasakan kehangatan lengannya di leherku. Menyaksikan manisnya wajah wanita setengah baya itu.


Lalu kuletakkan tubuh berkimono sutera putih itu di atas bed.


Kulihat ada tongkat panjang di atas bed. “Ini tongkat apa Tante?” tanyaku sambil memegang tongkat yang mengingatkanku kepada ikbuku.


“Itu hanya untuk latihan turun dari bed ke kursi roda,” sahutnya.


“Kan ada tongkat yang pakai pegangan sekalian untuk latihan jalan kaki Tan.”


“Ada. Tante juga punya. Tapi tongkat begituan ribet. Kurang praktis. Sekarang tanpa tongkat pun sudah bisa berdiri, meski belum bisa lama - lama. Dengan tongkat itu lebih praktis,” sahut Tante Martini sambil duduk bersila di samping kiriku.


Aku pun tidak canggung - canggung lagi untuk mendekap pinggangnya, sambil menciumi pipi kanannya yang terasa hangat. Harum p[arfum mahal [pun mulai tersiar ke penciumanku.


Tante Martini tidak tinggal diam. Ia melingkarkan lengannya di leherku. Lalu memagut bibirku, yang kusambut dengan lumatan lembut. Ia balas dengan lumatan hangat pula.


Hawa nafsu birahi pun mulai bergejolak di dalam batinku. Terlebih setelah Tante Martini membisiki telingaku, “Lepasin dulu dong semua pakaianmu. Aku ingin melihat bentuk tubuhmu tanpa pakaian.”


Aku mengangguk sambil melepaskan pakaian casualku. Hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku.


Lalu aku menelentang di samping Tante Marini yang sudah celentang juga.


“Badannya atletis begini. Bagus. Sering olahraga ya?” ucap Tante Martini sambil mengusap - usap dada dan perutku.


“Iya,” sahutku sambil balas mengusap - usap pahanya yang tersembul dari belahan kimononya. Terasa licin sekali paha mulus ini. Namun tentu saja aku tak sekadar mengelus pahanya. Tangan nakalku naik terus sampai ke pangkal pahanya. Dan… aku langsung menyentuh vgina plontos dan agak tembem… berarti sejak tadi ia tidak mengenakan celana dalam…


Tante Martini pun menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan langsung memegang batang kemaluanku yang memang sudah tegang sekali ini…


“Wooow… penisnya gagah begini Wan…! “serunya tertahan, “Luar biasa panjang gedenya… !”


Sementara aku sudah tak sabar lagi. Ingin menyaksikan seperti apa tubuh Tante Martini kalau sudah telanjang. Maka dengan nafsu yang semakin menggoda, kulepaskan ikatan tali komononya. Lalu kulepaskan kimono sutera putih itu.


Lalu tampaklah sekujur tubuh tinggi langsingnya Tante Martini itu… tubuh yang begitu mulus, tampak jauh lebih muda daripada usianya. Dengan sepasang toket berukuran sedang, yang tidak sekencang toket Anneke, tapi masih “on fire”. Tidak lembek.


Dan vginanya itu… tercukur bersih… menimbulkan hasratku untuk menjilatinya…!


Agar adil, aku pun melepaskan celana dalamku. Lalu merayap ke atas perut wanita setengah baya yang hangat dan harum itu.


“Tante masih penuh pesona,” bisikku setelah menghimpitnya, “semuanya masih perfect. Aku siap untuk memuasi hasrat Tante secara rutin. Kebetulan aku ada acara ke Jakarta seminggu dua kali. Tiap Senin dan Kamis. Berarti minimal aku bisa datang ke sini dua kali seminggu.”


“Iya Wan… terima kasih… sekarang lakukanlah apa yang Wawan anggap harus dilakukan. Hatiku sudah menjadi milikmu kini.”


Mendengar ucapan Tante Martini itu, spontan aku melorot turun. Karena sudah tak sabar lagi, ingin menjilati vginanya.


Tante Martini pun bersikap tanggap. Ketika wajahkuj sudah berhadapan dengan vginanya, sepasang pahanya pun merenggang loebar. Sehingga aku bisa memperhatikan vginanya yang bersih dari jembut itu.


Lalu kuciumi vgina plontos itu, sementara kedua tanganku mengangakannya. Sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu mulai tampak di mataku.


Ujung lidahku pun mulai menyapu - nyapu bagian dalam vginanya yang berwarna pink itu.




Tante Martini mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas bahuku. Terlebih setelah aku gencar menjilati kelentitnya, ia pun terkejang - kejang dibuatnya.


Bahkan pada suatu saat Tante Martini merengek histeris, “Aaaaah… aaaaaa… sudah Wan… sudah…! Masukan aja penismu Sayang…”


Ini pertama kalinya mamienya Anneke memanggilku Sayang.


Aku pun memang sudah sangat bernafsu, ingin segera memasukkan kontolku ke dalam memek Tante Martini.


Maka aku pun meletakkan moncopng kontolku tepat pada mulut memek Tante Martini yang sudah ternganga basah itu. Dan sekali kudorong kuat - kuat… blesssss… kontol ngacengku pun melesak ke dalam liang memek wanita setengah baya itu.


Tante Martini menyambutku dengan dekapan di pinggang, bersama desahannya, “Aaaaah… masuuuuk Waaan… punyamu gede banget… aaaaaaaah…”


Aku pun mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Tante Martini yang terasa masih sempit sekali, tapi sudah licin oleh air liurku yang mungkin bercampur dengan lendir libidonya.


Ya, aku mulai mengentotnya sambil menciumi dan menjilati lehernya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Tante Martina pun berjuang untuk mengimbangiku dengan menggeol - geolkan pinggulnya.


“Haaa… aku bisa menggoyang pinggulku… berarti lututku sudah sembuh Wan… “ucaqpnya terengah.


Memang pada waktu menggoyang pinggulnya itu sangat mungkin ada hubungannya dengan kekuatan lutut. Karena kalau lututnya lemah, dia takkan bisa mengangkat bokongnya. Apalagi menggeolkannya.


“Iya Tante… semoga Tante bugar kembali seperti sediakala yaaa…” sahutku sambil mulai mempercepat genjotan kontolku.


“Iyaaaa… ooooohhhhh… Waaaaaan… sudah hampir tiga tahun tante tidak merasakan sentuhan lelaki… sekarang… merasakannya kembali… ooooohhhh… Wawaaaaan… tante merasakannya lagi… nikmatnya gesekan penismu yang gagah ini… ooooohhh Wawaaaan… gak nyangka tante bisa merasakannya lagiiii…


Maka gairahku pun semakin berkobar, untuk mengentot wanita setengah baya ini sampai dia benar - benar puas.


Aku tak cuma mengentot liang memeknya belaka. Aku sudah mempelajari beberapa buku pengetahuan tentang sex. Tentang cara untuk memuaskan wanita pada saat digauli. Bahwa ada titik - titik penting yang harus disentuh. Antara lain telinga dan sekitarnya, leher dan sekitarnya, pentil buah dada dan sekitarnya, bahkan ketiak pun dianjurkan untuk disentuh.


Itulah sebabnya aku tak cuma menjilati leher jenjangnya yang mulai keringatan, tapi juga pentil toketnya kuemut dan kujilati, sementara toket yang satunya lagi kuremas dengan lembut.


Tante Martini merintih dan merengek terus pada saat aku sudah gencar mengentotnya. Aku pun ingin membesarkan hatinya. Sehingga entotanku dilambatkan sejenak, lalu berbisik ke telinganya, “Memek Tante luar biasa enaknya…”


Tante Martini tampak senang. Lalu menyahut, “Kontolmu juga luar biasa enaknya Wan. Pasti aku bakal ketagihan kelak.”


“Sama Tante. Aku juga bakal ketagihan sama Tante. Susah nyari wanita yang memeknya gurih danb legit seperti memek Tante ini,” ucapku yang lalu menggencarkan kembali entotanku.


Sementara Tante Martini seperti berusaha untuk menggoyang pinggulnya kembali. Tapi mungkin fisiknya belum pulih benar. Sehingga akhirnya ia hanya menikmati entotanku sambil menciumi bibir dan pipiku.


“Gak usah maksain goyang [pinggul Tante. Didiemin gini juga enak. Karena pada dasarnya memek Tante memang luar biasa enaknya,” ucapku setelah mengetahui usahanya untuk menggoyang pinggul kembali, tetapi gagal mengangkat pinggulnya. Dan tidak bisa menggeol - geolkannya lagi.


Lalu aku menemukan titik paling sensitif pada wanita setengah baya itu. Ternyata ketiaknya yang paling peka itu.


Ketika aku mengentotnya sambil menjilati dan menyedot - nyedot ketiaknya yang harum deodorant, awalnya ia tersentak. Kusangka dia kaget. Tapi ternyata ketiaknya itu paling geli kalau disentuh orang lain. Hal itu kuketahui belakangan.


Maka ketika aku menjilati dan menggigit - gigit serta menyedot - nyedot ketiaknya, Tante Martini pun merengek - rengek erotis, “Aaaaaa… aaaaaah… geli Waaan… tapi enak sekali Waaaan… ooooohhhh… ini pertama kalinya aku merasakan ketek dijil;atin waktu sedang dientot begini… aaaaah…


“Gampang Tante… kalau udah kangen sama aku… uggghhh… tinggal call aja… aku pasti datang ke sini…”


Lalu aku semakin menggencarkan entotanku. Sementara Tante Martini mengaku sudah dua kali orgasme. Tapi kelihatannya dia tetap bergairah untuk menikmati entotanku, tak kelihatan lelah sedikit pun. Padahal kami sudah sama - sama bersimbah keringat.


Tapi pada suatu saat kudengar suaranya terengah, “Tante udah mau orga lagi Wan… ba… barengin yok… oooooohhhhh…”


“Iiii… iyaaaaa…” sahutku tergagap pula.


Tante Martini pun mulai klepek - klepek seperti waktu mau orgasme yang pertama dan kedua tadi. Maka dengan spontan aku pun memacu kontolku untuk menggenjot liang memeknya secepat mungkin.


Lalu tubuh indah itu pun mengejang tegang. Pada saat yang sama, kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sehingga moncongnya terasa menabrak dasar liang memek mamienya Anneke.


Dan terjadilah sesuatu yang indah itu. Kami saling cengkram dan saling remas. Sementara liang memek Tante Martini terasa berkedut - kedut, disusul oleh gerakan yang seolah sedang berusaha mendorong batang kemaluanku, tapi sang Kontol justru sedang mengejut - ngejut sambil memancarkan lendir kenikmatan yang banyak sekali rasanya…


Aku pun menggelepar dan terkapar di atas perut Tante Martini.


Namun aku masih mendapatkan ciuman hangatnya wanita setengah baya itu, disusul dengan bisikannya, “Terimakasih Sayaaang… yang barusan kita lakukan adalah sesuatu yang terindah di sepanjang hidup tante…”


“Iya Tante. Semoga bisa jadi pendorong semangat Tante untuk cepat sembuh.”


“Tapi tante jadi kepengen mandi. Soalnya badan tante penuh keringat begini.”


“Ayo kubopong ke kamar mandi,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek tembem dan plontos itu.


Memang banyak sekali air mani yang termuntahkan dari moncong kontolku barusan. Kulihat lendir kenikmatanku sampai meluap dari mulut memek Tante Martini. Dan Tante Martini menadahkan telapak tangan di bawah memeknya, untuk menampung spermaku. Lalu sperma itu dialirkan ke mulutnya, yang lalu ditelannya sedikit demi sedikit.


“Bagaimana rasanya spermaku?” tanyaku setelah mcnium pipinya.


“Lezat… seolah bernafaskan semangat baru… yang membuat hidup tante berarti lagi. Terima kasih Wawan Sayang…”


Kemudian kuangkat tubuh wanita setengah baya itu dengan mendekap pinggangnya erat - erat. Tante Martini pun memeluk tengkukku erat - erat. Dan kubawa tubuh indah itu ke dalam kamar mandinya.


Tante Martini menunjuk ke arah bathtub mewah di kamar mandinya. Maka kuletakkan dia di dalam bathtub itu.


Sesaat kemudian air hangat memancar ke bathtub itu dengan kencangnya.


Aku pun memancarkan aiur hangat shower utama yang berada di atas kepalaku.


Maka ketika Tante Martini sedang menyabuni tubuh indahnya, aku pun menyabuni tubuhku sendiri di bawah pancaran air hangat shower.


“Banyak handuk bersih di lemari kaca itu. Silakan ambil untuk Wawan satu, untuk tante satu. Sekalian tolong ambilin kimono yang masih bersih di situ juga,” kata Tante Martini sambil menunjuk ke lemari kaca yang tidak jauh dari bathtub mewah itu.


Beberapa saat kemudian, kami sudah berada di atas sofa bedroom kembali. Tante Martini sudah mengenakan kimono baru, aku pun sudah mengenakan pakaianku kembali.


“Wawan punya kartu nama?” tanya Tante Martini.


“Punya Tante,” sahutku sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celanaku. Lalu kuambil secarik kartu namaku dan kuserahkan kepada Tante Martini.


Tante Martini pun mengamati kartu namaku yang lengkap dengan alamat kantor dan alamat rumah.


“Hai… rumahmu bukannya dekat dengan kampus dan apotek?” tanya Tante Martini.


“Betul. Kok Tante tau?”


“Tau. Di situ ada rumah yang ibu rumah tangganya tunanetra. Kamu tau?”


Aku terkejut dibuatnya. Tapi aku tak mau mengingkari kenyataan ini. Bahwa ibuku seorang wanita tunanetra. Lalu kataku, “Wanita tunanetra itu ibuku Tante.”


“Haaa?! Berarti kamu abangnya Nova… uffff… kelepasan bicara, “Tante Martini menutup mulutnya dengan tangan kanannya.


“Nova? Siapa Nova Tante?”


“Mmm… jadi bingung nih. Barusan kelepasan bicara. Tapi biarlah tante mau bicara sejujurnya, asalkan Wawan berjanji untuk merahasiakannya kepada siapa pun ya.”


“Iya Tante. Aku berjanji takkan bicara kepada siapa pun.”


Tante Martini termenung sejenak. Kemudian berkata, “Suamiku punya sahabat. Hasyim namanya. Pak Hasyim itu seorang pengusaha besar juga. Tapi Pak Hasyim sudah tiga gali ganti istri, tidak menghasilkan anak juga. Karena ternyata Pak Hasyimnya sendiri yang mandul. Kebetulan Pak Hasyim punya teman karib yang bernama Zaelani…


“Betul Tante. Tapi ayahku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” sahutku.


“Soal itu sudah kudengar dari mulut istrinya Pak Hasyim. Nah… pada saat istri Pak Zaelani hamil yang keberapa ya… kalau gak salah yang ketiga… terjadi suatu perundingan pribadi dengan Pak Hasyim. Bahwa kehamilan istri Pak Zaelani itu akan dibiayai sepenuhnya oleh Pak Hasyim, asalkan kalau anaknya sudah lahir, diberikan kepada Pak Hasyim untuk diadopsi.


Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan kepada Tante Martini. Tapi aku tak berani memotong penuturan penting itu.


“Nah… akhirnya lahirlah bayi perempuan dari istri Pak Zaelani itu. Yang lalu dibawa diadopsi oleh Pak Hasyim.”


“Tante kok bisa tau semuanya sampai mendetail begitu?”


“Kan tante ikut dijadikan saksi waktu perjanjian itu ditandatangani. Jadi tante tau benar isi perjanjiannya. Antara lain, bayi itu akan dirawat seperti anak Pak Hasyim sendiri. Dan Pak Zaelani tak boleh mengganggu atau menuntut apa pun kalau bayi itu sudah besar kelak. Perjanjian itu ditandatangani di depan notaris.


“Lalu bayi cewek itu dikasih nama Nova?” tanyaku.


“Iya. Berarti Nova itu adik kandung Wawan kan?”


“Betul Tante. Selama ini kami sekeluarga mencari tahu keberadaan adikku yang sudah dikasih nama Nova itu. Tapi baru sekaranglah aku mendengar beritanya.”


“Menurut tante sih, walau pun Wawan sudah tau, sebaiknya jangan ganggu Nova dalam bentuk apa pun. Lagian Nova itu sangat dimanja oleh Pak Hasyim dan istrinya. Bahkan berlebihan memanjakannya. Sehingga Nova itu jadi kolokan sekali. Apa pun yang diinginkannya harus dikabulkan. Selain kolokan, Nova itu selalu jutek pada orang - orang di sekitarnya.


“Iya,” sahutku, “aku juga takkan mengganggunya Tante. Hanya berusaha ingin tau aja keberadaannya. Mendengar dia sehat aja hatiku udah senang.”


“Iya, memang harus begitu. Masalahnya ayahmu sudah menandatangani perjanjian di depan notaris, dihadiri oleh saksi - saksi pula. Jadi secara hukum, Nova itu tidak bisa diganggu gugat lagi.”


“Iya Tante. Aku akan mencatat kata - kata Tante ini di dalam hati.”


“Nah sekarang kita bicara masalah bisnis ya.”


“Siap Tante.”


“Begini,” kata Tante Martini, “Sebenarnya tante punya beberapa perusahaan atas nama tente sendiri. Tapi Anneke tidak tahu. Lagian dia sudah mendapatkan warisan seluruh harta yang atas nama almarhum ayahnya. Tapi perusahaan - perusahaan atas nama tante tidak termasuk yang diberikan padanya. Salah satu perusahaan milik tante itu ada di kotamu Wan.


“Iya Tante.”


“Nah… perusahaan di kotamu itu akan tante hibahkan padamu. Mau diapakan pun terserah Wawan.”


“Perusahaannya dalam bentuk apa Tante?”


“Pabrik segala kebutuhan anak - anak. Perkembangannya bagus. Tapi mungkin kalau sudah diurus oleh Wawan bakal lebih sehat lagi.”


“Jadi pabrik itu mau Tante percayakan padaku untuk mengurusnya?”


“Memilikinya. Bukan sekadar mengurusnya. Tadi tante kan bilang, akan menghibahkan pabrik itu pada Wawan.”


“Oooh… Tante… apakah Tante tidak berlebihan dengan menghibahkan pabrik itu padaku?”


“Tidak Wan. Dalam tiga hari belakangan ini tante sudah mempertimbangkannya sematang mungkin. Perusahaan tante kan banyak. Penghibahan pabrik itu takkan membuat tante jatuh miskin. Jadi… semoga kehidupan Wawan bertambah sukses setelah memiliki pabrik itu ya,” ucap Tante Martini sambil memgang tanganku erat dan hangat.


“Aku jadi speechless Tante. Aku… aku cuma bisa bilang terimakasih,” ucapku yang kuakhiri dengan kecupan hangat di pipi Tante Martini.


“Tapi Wawan punya kewajiban untuk menengok tante sesering mungkin ke sini ya.”


“Siap Tante.”


“Ohya… mengenai hibah pabrik itu, gak usah ngomong apa - apa pada Anneke. Karena dia tidak tau kalau tante punya pabrik di kotamu.”


“Iya Tante.”


“Kalau kaki tante sudah normal, mungkin tante mau beli rumah di kotamu Wan. Supaya kita tidak terlalu berjauhan. Energi Wawan pun tidak terlalu dikuras untuk nyetir sendiri ke Jakarta. Kenapa Wawan tidak pakai sopir pribadi sih?”


“Belum saatnya pakai sopir pribadi Tante. Aku kan masih muda. Lagian aku memang senang driving,” ucapku dengan tangan yang sudah kuselinapkan ke balik kimono Tante Martini.


“Ogitu ya… “gumkam Tante Martini yang membiarkan tanganku menggerayangi memeknya yang baru mengalami orgasme tiga kali itu.


“Tante masih bergairah?” tanyaku.


“Emangnya Wawan udah horny lagi?”


“Iya Tante. Ini udah ngaceng lagi… hihihihiiii…”


“Ayolah. Tapi jangan terlalu lama ya. Usahakan lepas bareng lagi seperti tadi. Lalu kita tidur. Tante ingin tidur sambil melukin Wawan…”


“Siap Tante,” sahutku sambil bangkit dari sofa. Kemudian membopong Tante Martini ke arah bednya lagi.


That’s our story. Bahwa kami bersetubuh lagi. Dan aku berusaha untuk menuruti keinginan Tante Martini, agar bersetubuhnya jangan terlalu lama. Mempercepat ejakulasi jauh lebih mudah dari memperlambatnya.


Maka aku pun berhasil ejakulasi tepat pada saat Tante Martini berada di puncak orgasmenya.


Lalu kami tidur sambil saling berpelukan dan baru sadar keesokan paginya.


Aku meninggalkan Jakarta pagi itu dengan terawangan indah menggelayuti benakku. Aku masih ingat benar ucapan Tante Martini sebelum melepaskan kepergianku tadi: “Bu Vita, direktur pabrik itu akan tante panggil secepatnya. Untuk menyampaikan keputusan tante yang akan menghibahkan pabrik itu padamu Sayang.


Hibah pabrik itu bisa kuanggap sebagai pertanda, bahwa Tante Martini sangat membutuhkan diriku. Tapi aku tak mau besar kepala. Semuanya harus kuhadapi dengan kepala dingin.


Tiga hari kemudian, aku mendapatkan pesan lewat WA dari Tante Martini, yang namanya kusamarkan sebagai “Pak Tono”. Sekadar berjaga - jaga, jangan sampai Anneke tahu kalau aku sudah punya “jalur khusus” dengan ibunya. Tante Martini pun sudah menyamarkan namaku di handphonenya sebagai “Wien”. Juga agar aman dari kecurigaan Anneke.


Isi WA dari Tante Martini itu berbunyi :-Bu Vita sudah datang ke Jakarta kemaren. Dan sudah dikasih tahu masalah “penjualan” pabrik itu. Jadi, silakan datangi pabrik itu untuk mengenalkan diri sebagai owner baru. -


Aku hanya membalas singkat :-Siap Tante Sayangku-


Lalu pada hari itu juga aku mengunjungi pabrik itu, sesuai dengan alamat yang sudah diberikan oleh Tante Martini.


Setibanya di pabrik itu, seorang satpam menghampiri sedan hitamku, “Mau ketemu siapa Boss?”


“Mau ketemu dengan Bu Vita,” sahutku.


“Sudah ada janji sama beliau?” tanya satpam itu lagi, membuatku agak jengkel.


“Bilang aja ada owner baru pabrik ini bernama Darmawan… !”


Satpam itu kelihatan kaget dan mengubah sikapnya, “Oh! Siap Big Boss… !”


Kemudian satpam itu mengarahkanku ke tempat parkir yang bertuliskan VVIP. Mungkin pada saat Tante Martini masih normal, di situlah tempat mobilnya diparkir kalau beliau datang ke pabrik ini.


Setelah mobilku terparkir, kuikuti langkah satpam itu menuju ruang kerja dirut.


Di ruang kerja dirut, kulihat seorang wanita setengah baya sedang serius mengamati layar monitornya.


Satpam itu menghampirinya. “Maaf mengganggu Bu Boss. Ini Bapak Darmawan mau ketemu Bu Boss.”


Wanita tinggi montok itu tampak kaget. “Ooooh… selamat datang Big Boss,” ucapnya sambil berdiri dan menghampiriku. Lalu menjabat tanganku dengan sikap sopan sekali.


Kemudian aku dipersilakan duduk di ruang tamu dirut.


Semua manager pun dipanggilnya, untuk dikenalkan padaku sebagai owner baru pabrik besar ini.


Acaranya cuma ramah tamah saja dengan dirut dan manager - managernya itu.


Kemudian aku meninggalkan pabrik besar itu setelah berjanji akan datang kembali beberapa hari berikutnya, untuk menjelaskan konsep baruku.


Lalu aku mengarahkan sedan hitamku menuju kantor perusahaan Tante Laila.


Baru saja aku tiba di kantor perusahaan Tante Laila, tiba - tiba handphoneku berdering. Ternyata dari ibuku. Cepat kuterima, takut ada sesuatu yang penting.


“Hallo Bu…”


“Kamu lagi di mana Wan?”


“Di kantor. Emangnya kenapa Bu?”


“Ibu kan pernah cerita sama kamu, bahwa ibu punya adik kandung yang menikah dengan orang Belanda, lalu dibawa ke negaranya.”


“Oh iya. Tante Ros itu?”


“Iya. Nama lengkapnya sih Rosida. Sekarang dia ada di rumah.”


“Ohya?!”


“Iya. Ibu sudah jelaskan bahwa kamu sekarang menjadi direktur utama di dua perusahaan. Karena itu dia ingin dicarikan rumah sekaligus ingin berbisnis denganmu. Bisa sekarang pulang dulu ke rumah?”


“Iya, bisa… bisa… sekarang juga aku mau pulang Bu.”


“Ditunggu ya Wan.”


“Iya Bu.”




Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menyambar tas kerjaku dan melangkah ke tempat parkiran.


Sesaat kemudian aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku, yang kularikan menuju rumahku.


Setengah jam kemudian aku sudah tiba di rumahku.


Seorang wanita separoh baya berdiri di ambang pintu rumahku. Wanita yang tinggi langsing, mirip Tante Martini. Tapi yang ini lebih putih. Ia menyambut kedatanganku dengan senyum ceria di bibirnya.


“Ini Wawan?!” sapanya waktu aku sudah berada di teras depan.


“Betul, “aku mengangguk sopan, “Ini Tante Ros?”


“Iya. Kamu pasti sudah lupa, karena waktu aku meninggalkan Indonesia, kamu masih sangat kecil.”


“Iya Tante,” sahutku yang lalu berjabatan tangan dengannya, disusul dengan mencium tangan yang kujabat itu.


Tante Rosida pun memeluk dan mencium sepasang pipiku. “Wawan… Wawan… kamu setelah dewasa jadi ganteng gini sih?!”


“Heheehee… Tante juga cantik sekali,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam, mengikuti langkah adik Ibu itu.


Setelah duduk di ruang tamu yang sudah diupgrade jadi l;umayan mewah ini, aku bertanya, “Suami Tante mana?”


“Suamiku sudah meninggal enam bulan yang lalu. Makanya aku pulang ke tanah air. Dan takkan kembali ke Belanda lagi.”


“Wah, turut berduka cita, Tante. Suami Tante sakit apa yang menyebabkannya meninggal?”


“Menderita kanker otak Wan. Sudah dibawa ke Jerman segala, tapi sia - sia aja. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Karena telanjur sudah stadium akhir.”


Tak lama kemudian Ibu pun muncul di ruang tamu. Meraba - raba dan duduk di sampingku.


“Wati mana Bu?” tanyaku.


“Lagi ke salon sama temannya. Dari tadi pagi belum pulang - pulang. Mungkin terus ke kota, lihat - lihat pakaian dan sebagainya,” sahut Ibu.


“Jelaskan aja apa yang kamu katakan tadi Ros,” kata Ibu kepada adiknya, “Siapa tau Wawan bisa membantumu.”


Tante Ros mengangguk. Lalu menoleh padaku, “Banyak sih yang butuh bantuanmu Wan. Pertama, aku minta dicarikan rumah yang bagus dan mau dijual. Kedua, minta diantar ke dealer mobil, karena akuj pasti kepayahan kalau gak punya mobil. Ketiga, aku minta dibikinkan SIM. Karena SIM Belandaku gak berlaku di sini.


“Tante gak punya SIM internasional?”


“Nggak. Tapi di Belanda sih SIMnya berlaku untuk di negara - negara tetangga. Tapi kayaknya gak berlaku di Indonesia sih. Mmm… bagaimana? Bisa bantu aku gak?”


“Bisa Tante. Kebetulan ada rumah bagus di kompleks perumahan elit yang maui dijual. Kalau Tante berkenan, sekarang juga rumahnya bisa dilihat,” ucapku.


“Ayo kalau begitu sih. Lebih cepat lebih baik. Nanti ngobrolnya lanjutin di jalan aja,” ucap Tante Ros sambil bangkit dari sofa.


Beberapa saat kemudian Tante Ros sudah duduk di dalam sedan hitamku.


“Kamu sudah jadi orang sukses ya Wan. Mobil ini di Eropa juga mahal sekali,” ucap Tante Ros ketika sedan hitamku mulai kujalankan.


Aku tidak menanggapinya. Bahkan bertanya, “Tante sudah punya anak berapa?”


“Belum punya Wan,” sahutnya, “Suamiku kan sudah tua. Waktu menikah denganku aja bedanya sampai tigapuluh tahun. Waktu aku nikah, usiaku baru tujuhbelas. Suamiku sudah empatpuluhtujuh tahun.”


“Wah waktu meninggal umurnya sudah mencapai enampuluhan kali ya?”


“Umurku sekarang sudah tigapuluhtujuh. Berarti waktu dia meninggal, umurnya sudah hampir enampuluhtujuh.”


“Pasti meninggalkan warisan yang sangat banyak ya Tante?”


“Banyak sekali sih nggak. Cuma ada laaah… untuk kebutuhanku setelah tinggal sendirian begini. Makanya aku ingin berbisnis di sini. Kira - kira bisnis apa ya Wan?”


“Dana yang mau dikeluarkan untuk bisnisnya berapa Tante?”


Tante Ros membisikkan nominal dana yang dimilikinya.


“Cukup nggak untuk berbisnis di Indonesia?”


“Cukup Tante. Tapi harus memproduksi sesuatu yang bagus prospeknya.”


“Terus yang megang perusahaannya siapa?”


“Tante sendiri pasti bisa. Aku bisa membimbing dari belakang layar.”


“Nggak mau ah. Aku gak ada pengalaman dalam berbisnis, apalagi di Indonesia yang sudah duapuluh tahun kutinggalkan. Kamu aja yang pegang. Mau kan?”


Aku berpikir keras. Jumlah dana yang akan dikeluarkan oleh Tante Ros bukan dana yang sedikit. Tapi bisakah aku menanganinya? Bukankah aku sudah memegang dua perusahaan besar?


“Mau ya Wan. Kamu aja yang mengendalikannya. Aku mau duduk manis aja. Mau dong… mau…! “desak Tante Ros.


“Mmm… aku sudah memegang dua perusahaan. Kalau memegang perusahaan Tante pula, berarti aku akan memegang tiga perusahaan. Bakalan kepegang nggak ya?”


“Kamu kan bukan harus mengerjakan dari A sampai Z. Kamu cukup duduk sambil memonitor perusahaan aja. Mungkin dari tempat lain pun bisa memonitornya Wan.”


“Teorinya sih memang begitu. Seorang leader harfus bisa main golf atau jalan - jalan ke luar negeri, tapi perusahaan berjalan terus secara positif. Tapi dalam prakteknya tetap aja harus sering turun ke lapangan Tante.”


“Terus gimana dong? Tolonglah tantemu ini Wan. Kalau dana itu tidak diputar, lama kelamaan bisa habis. Itu yang paling kutakutkan.”


“Iya deh. Demi tanteku yang cantik ini, kuterima keinginan Tante itu,” ucapku di belakang setir.


“Nah gitu dong. Baru namanya keponakan tersayangku. Emwuaaaah…” ucap Tante Ros yang diakhiri dengan kecupan hangat di pipi kiriku. Membuatku kaget juga, karena tak menyangka akan mendapat kecupan hangat itu.


“Ini sudah sore banget Tante. Ke dealer sih besok pagi aja ya,” kataku.


“Iya gak apa - apa. Tapi sepulangnya lihat rumah, antewrin aku ke hotel nanti ya.”


“Oke Tante. Memangnya Tante udah cek in?”


“Udah. Aku kan datang kemaren sore. Langsung cek in di hotel itu. Tadi pagi baru mencari rumahmu. Sambil takut udah pindah pula. Setelah nyasar - nyasar, akhirnya ketemu juga. Kota ini sudah banyak perubahannya ya.”


“Iya dong. Semua kota di negara kita sudah banyak perubahannya selama duapuluh tahun belakangan ini Tante. Masa mau tetap seperti dahulu aja.”


Tanpa terasa aku sudah berada di kompleks perumahan elit yang letaknya agak di luar kota. Memang ada rumah yang sudah kubayar lunas. Niatku memang untuk dijual lagi. Kebetulan sekarang ada calon buyernya, yang duduk di sebelah kiriku ini. Hahahaaa… mudah - mudahan aja aku dapat keuntungan. Meski tak perlu banyak - banyak, karena calon pembelinya tanteku sendiri.


Karena ngobrol dengan Tante Ros di dalam mobil, sehingga tak terasa sudah tiba di kompleks perumahan elit ini.


“Ini kompleks perumahan?” tanya Tante Ros setelah mobilku melewati gerbang paling depan.


“Betul Tante. Di sini aman dan nyaman suasananya,” sahutku sambil membelokkan mobilku ke kiri, menuju kelompok rumah yang salah satunya mau ditawarkan kepada Tante Ros itu.


“Bagus - bagus rumahnya ya.”


“Iya Tante. Nah… ini rumahnya,” kataku sambil menghentikan mobilku tepat di depan rumah yang akan kutawarkan kepada Tante Ros itu.


Aku pun mengeluarkan serangkai kunci - kunci rumah itu.


Tante Ros terbengong - bengong setelah menyaksikan keadaan di dalam rumah itu. Terlebih setelah melihat di bagian belakangnya ada kolam renang segala.


“Tante suka rumah ini. Mau dijual berapa?” tanyanya.


Aku menyebutkan harga rumah ini, setelah dilebihkan “sedikit” dari harga pembeliannya.


Tante Ros berpikir sejenak. Lalu bertanya, “Harga itu bisa ditawar nggak?”


“Nggak bisa Tante. Sudah harga mati,” sahutku.


“Memang tidak kemahalan juga sih harganya. Lalu kapan bisa diketemukan dengan pemiliknya?”


“Sekarang Tante sedang bersama pemiliknya,” sahutku.


“Haaa? Rumah ini punyamu?”


“Betul Tante. Tadinya rumah ini mau kupakai sendiri. Tapi karena Tante membutuhkannya, mau kujual aja sama Tante. Aku sih gampang, bisa nyari lagi yang lain.”


“Begitu ya? Ya udah. Tante bayar pakai cek ya. Tapi rumah ini masih kosong melompong. Besok setelah ke dealer lanjutkan antar aku ke toko furniture dan perabotan rumah yang bagus tapi jangan yang terlalu mahal harganya ya.”


“Siap Tante. Sekarang mau terus ke mana?”


“Cari rumah makan yang khas Indonesia aja. Aku udah rindu sama masakan Indonesia.”


“Mau rumah makan Padang, Sunda atau Jawa?”


“Sunda aja deh. Biar bisa makan lalapan dan sambel dadakan.”


“Oke, “aku mengangguk. Lalu kami tinggalkan rumah yang sudah dibeli oleh Tante Ros itu. Tinggal pembayarannya saja yang belum.


Meski agak jauh, sengaja kubawa Tante Ros ke rumah makan yang benar - benar khas Sunda, yang letaknya di luar kota. Di rumah makan itu konsumen dimanjakan dengan musik dan bangunan tradisional Sunda. Gubuk - gubuk kayunya pun berada di atas kolam ikan. Sehingga konsumen bisa melemparkan sisa makanan ke kolam, yang pasti disambut oleh ikan - ikan itu.


Di rumah makan itu kami memesan bakar gurame besar, beberapa potong goreng ayam kampung dan sayur lodeh. Dan yang sangat disukai oleh Tante Ros adalah sambel dadakan itu, berikut lalapannya yang bermacam - macam.


“Di Eropa kalau mau makan seperti ini harganya bisa mahal sekali,” ucap Tante Ros setelah selesai menyantap makanan yang dirindukannya.


Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum. Padahal aku tidak sedang membayangkan makanan. Yang kubayangkan adalah seksinya adik Ibu itu.


Ya putih mulus ya seksi pula.


Apakah jiwa incestku sudah hadir lagi?


Entahlah. Yang jelas ketika aku sudah mengemudikan mobilku menuju hotel yang terletak di pusat kota itu, terawanganku terus - terusan membayangkan betapa menggiurkannya tubuh Tante Ros itu kalau sudah telanjang…!


Lalu batinku bergulat… Gila lu Wan! Masa adik kandung ibu lu juga mau diembat? Jangankan adik ibu, sedangkan ibu kandung juga gue embat! Iya gila Lu Wan! Kakak kandung lu juga diembat! Belum lagi yang lainnya! Sebodo amat! Gue kan gak maksa siapa pun! Apa yang telah terjadi selalu berdasarkan suka sama suka!


Tiba - tiba aku teringat sesuatu yang bukan masalah seksual. Aku teringat pabrik hadiah dahsyat dari Tante Martini itu. Lalu kenapa aku susah - susah nyariin bisnis untuk Tante Ros? Kenapa tidak kutawarkan saja untuk menanamkan investasinya di pabrikku saja? Kalau nggak, aku bisa menjual saham pabrik itu padanya…


Nanti saja di hotel aku akan membahas masalah itu sebelum pulang.


Sementara itu hari mulai gelap. Sudah hampir jam tujuh malam.


“Wan… kan besok mau ke dealer, mau beli furniture, barang - barang elektronik dan perabotan rumah. Supaya gak ribet, udah aja nginep di hotel malam ini. Besok pagi kan mau ke dealer dan belanja peralatan rumah.”


Aku sok jual mahal. Seperti memikirkannya dulu. Padahal hatiku sudah bilang mau… sangat mau.


“Mau kan?”


Aku masih berlagak memikirkannya.


“Nanti aku kasih sesuatu yang enak sekali.”


“Apaan tuh yang enak? Makanan Belanda?”


Tiba - tiba Tante Ros mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “vginaku… mau nggak?”


“Mauuuu… !” seruku serasa meledak dari mulutku.


“Hihihihiii… serius?”


“Serius Tante.”


“Gak risih karena aku ini adik ibumu?”


“Nggak. Aku melihat Tante secara jelas kan baru hari ini. Makanya aku akan menganggap Tante orang luar aja.”


“Sama, aku juga mikir begitu sejak tadi. Kamu memang keponakanku. Tapi menyaksikanmu setelah dewasa baru hari ini,” ucap Tante Ros sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Sudah setahun lebih vginaku gak pernah disentuh pnis Wan.”


“Iya. Nanti digasak abis - abisan sama pnisku deh.”


“Hihihiiii… untung aku punya keponakan yang ganteng dan mau nakal juga. Kalau kamu terlalu alim, mati kutu aku.”


“Justru dari tadi aku sedang membayangkan Tante terus…”


“Membayangkan apa?”


“Membayangkan Tante telanjang…” sahutku sambil menurunkan zipper celana denimku, “Makanya diem - diem pnisku ngaceng terus Tante. Nih pegang kalau gak percaya sih…” kataku sambil menarik tangan kanan Tante Ros dan kutempelkan di pnisku yang sudah kusembulkan di kegelapan malam.


“Waaaaw! pnismu segede dan sepanjang ini Wan?!” seru Tante Ros sambil menggenggam pnisku yang memang sudah ngaceng ini.


“Almarhum suami Tante kan orang bule. Tentu pnisnya lebih gede daripada pnisku ini.”


“Nggak Wan. Punya almarhum sih tergolong kecil. Lagian lelaki yang sudah tua, pnisnya suka mengecil, kata orang. pnismu ini jauh lebih panjang dan jauh lebih gede Wan. Gak nyangka aku bakal ketemu keponakan yang pnisnya gagah perkasa gini. Jadi pengen ngemut…” ucap Tante Ros sambil mendekatkan mulutnya ke pnisku.


Tapi cepat kuhalangi mulut Tante Rossambil berkata, “Jangan Tante… aku kan laqgi nyetir nih. Bisa celaka kita nanti. Entar aja di hotel, mau diapain juga silakan.”


“Hihihiiii… gemes soalnya. Aku ini spermania Wan.”


“Maksudnya?”


“Seneng nelan air mani. Makanya suamiku sangat sayang padaku, karena aku sering minum spermanya. Buat menghaluskan kulit muka.”


“Pantesan wajah Tante mulus gitu. Mmm… sebentar lagi juga kita nyampe Tante,” ucapku sambil memasukkan kembali pnisku ke balik celana dalam. Lalu menarik zippernya lagi.


Tak lama kemudian aku sudah menghentikan mobilku di pelataran parkir sebuah hotel bintang lima.


Kujinjing tas kerja dan tas pakaianku sambil berjalan di belakang Tante Ros.


Ternyata kamar yang dibooking Tante Ros berada di lantai tertinggi hotel itu, di lantai lima.


Setibanya di dalam kamar itu, aku duduk di sofa sambil berkata, “Kita bicara soal bisnis dulu ya Tante. Biar birahi kita semakin mateng.”


“Iya tapi sebentar, mau ganti pakaian dulu Wan,” sahut Tante Ros sambil mengeluarkan sehelai kimono berwarna orange dari tas pakaiannya yang diletakkan di atas meja makan. Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.


Tak lama kemudian Tante Ros muncul dari kamar mandi, sudah mengenakan kimono berbahan wetlook orange polos itu.


“Jadi mau bahas bisnis yhang gimana nih?” tanya Tante Ros sambil duduk merapat di samping kiriku.


“Tiga hari yang lalu aku baru membeli sebuah pabrik yang sudah berjalan bagus. Karena suaminya meninggal, pabrik itu dijual padaku.”


“Terus?”


“Bagaimana kalau Tante menginvestasikan dananya di pabrik itu? Atau bisa juga beli sahamku. Kalau perlu sahamku dibeli seratus persen juga gak apa - apa.”


Kemudian kujelaskan pabrik itu memproduksi apa saja. Dan pemasarannya tetap mengandalkan pasaran lokal.


“Kalau aku beli sajhamnya aja gimana?”


“Boleh,” sahutku sambil mengeluarkan berkas mengenai seluk beluk pabrik itu, berikut laporan kleuangannya secara tertib dan rutin. Dan ketika membaca bagian company capital, dia tertegun dan berkata, “Wooow… besar sekali company capitalnya Wan. Paling mampu juga aku hanya bisa beli saham di bawah limapuluh persen.


“Boleh Tante. Mau berapa juga Tante membeli sahamnya, terserah Tante. Bahkan mau beli satu persen juga boleh. Tapi hasilnya, tentu sedikit.”


“Satu persen sih sama juga bohong. Aku beli sahamnya empatpuluhlima persen deh. Tapi aku ingin lihat dulu pabriknya. Gimana?”


“Tentu aja boleh. Supaya jangan seperti jual kucing di dalam karung. Tapi kalau besok mungkin belum bisa. Kan Tante mau beli mobil dan perabotan rumah. Beli mobil sih gampang, Dalam setengah jam aja bisa selesai. Tapi perabotan rumah itu yang bertele - tele nanti. Jenisnya kan banyak. Belum tentu pula tersedia lengkap di satu toko.


“Perabotan rumah sih utamakan furniturenya aja dulu. Yang penting dahulukan beli tempat tidur, lemari - lemari dan sofa. Biar aku jangan nginep di hotel terus gini.”


“Siap Tante Cantik,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke paha putih mulus yang tersembul lewat belahan kimononya.


Tante Ros cuma tersenyum. Bahkan ketika tanganku merayapi kehangatan pahanya sampai pangkalnya, dia masih tersenyum. Justru aku yang agak kaget, karena menyentuh jembut yang lebat di balik kimono orange itu.


“Banyak jembutnya ya…” ucap Tante Ros dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipiku, “seneng vgina berjembut apa seneng yang gundul?”


“Sama aja Tante,” sahutku, “Yang gondrong dan yang gundul, punya kelebihan masing - masing.”


“Almarhum suamiku tidak suka sama vgina yang dicukur gundul. Dia ingin agar aku memelihara jembut, hanya perlu dirapikan saja. Karena menurut almarhum, vgina berjembut itu seolah mengandung misteri. Seperti lukjisan wanita telanjang pelukis -pelukis terkenal di dunia, selalu menggambarkan wanita dengan kemaluan berjembut.


Kalau tanpa jembut, vgina itu jadi jelek bentuknya dia bilang. Jadi kayak padang pasir gersang tanpa tumbuh - tumbuhan. Bahkan dia bilang kayak tofu kebanting dan pecah berantakan di lantai. Hihihiiii,” ucap Tante Ros sambil berdiri di lantai dan menanggalkan kimono orangenya. Dia memang tidak mengenakan bra mau pun celana dalam di balik kimono itu.


Sehingga ketika kimono itu dilepaskan, dia langsung menjadi telanjang bulat. Telanjang yang membuatku terlongong. Karena aku menyaksikan tubuh yang putih mulus tanpa cela setitik pun. Semua serba proporsional bagiku. Kurus tidak.. montok pun tidak. Mungkin bentuk tubuh seperti inilah yang dikehendaki untuk seorang wanita model.


“Kenapa bengong?” tanya Tante Ros sambil tersenyum manis.


“Tante laksana patung Dewi Venus yang bernyawa… dan seolah diciptakan untukku. Untuk kunikmati,” sahutku sambil menciumi pentil toketnya, pusar perutnya dan bahkan juga jembutnya yang tercukur rapi.


Tante Ros tersenyum. Lalu menanggalkan pakaianku sehel;ai demi sehelai, sampai telanjang seperti dia. Kemudian dia meraihku ke arah bed.


Dan ketika aku sudah celentang di atas bed berseprai putih bersih itu, Tante Ros melakukan apa yang diinginkannya di dalam mobil tadi. Mulutnya menyergap batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini. Lalu ia mengoralnya dengan trampil sekali.


Mungkin semasa suaminya masih hidup, ia harus selalu melakukan hal ini. Karena suaminya sudah tua, sehingga harus selalu dibangkitkan gairahnya, agar penisnya ereksi.


Dan tampaknya orang bule harus selalu main oral secara bergantian sebelum penetrasi. Konon lelaki bule tidak selalu sempurna ereksinya. Sehingga pada saat bersetubuh pun harus diselingi dengan permainan oral lagi, agar penisnya yang melemas itu ngaceng lagi. Dan sekalinya ngaceng pun tidak keras seperti bangsa kita.


Dan lucunya, mereka begitu banyak melakukan foreplay. Tapi setelah eksekusi, hanya sebentar… lalu crooooottttt… seperti ayam. Hihihihiiii…!


Mulut dan tangan Tante Ros sudah sangat terlatih. Bibir dan lidahnya begitu trampil menggeluti puncak dan leher pnisku, sementara jemarinya pun sangat trampil untuk mengurut - urut badan pnisku yang sudah berlepotan air liurnya. Padahal aku tidak membutuhkan ini semua. pnisku sudah ereksi total sejak tadi.




Setelah Tante Ros melepaskan pnisku dari dalam mulutnya, maka giliranku kini untuk menggasak vgina berjembutnya itu.


Kalau dipikir kata- kata Tante Ros itu memang benar. Dengan adanya jembut, kemaluan perempuan seperti menyimpan misteri yang membuat penasaran. Dan juga meninggalkan kesan subur, tidak gersang seperti padang pasir.


Sementara kalau vgina dibuat plontos, langsung kelihatan bentuk aslinya. Tidak membangkitkan penasaran lagi.


Jadi buatku, baik vgina gondrong atau botak, punya kelebihan masing - masing. Kelebihan yang bisa kunikmati kini. Bahwa ketika wajahku sudah berhadapan dengan vgina berjembut tapi tergunting rapi itu, dengan penuh gairah kuciumi jembutnya yang ternyata memancarkan harum wewangian khas. Mungkin semacam wewangian aroma therapi.


“Harum seklai vginanya Tante,” ucapku sambil menyibakkan jembut Tante RTos ke kanan kirinya, sehingga belahannya mulai tampak di mataku. Lalu kungangakan belahan itu, sehingga tampak bagian dalamnya yang berwarna pink.


Bagian dalam yang berwarna pink itulah sasaran lidah dan bibirku. Tante Ros pun mulai menggelinjang sambil mengusap - usap rambutku.


Entah kenapa, bentuk dan gaya Tante Ros ini membuatku jadi sangat bergairah untuk melakukan semuanya ini. Menjilati bibir dalam dan setiap lekuk yang ada di bagian yang berwarna pink itu. Lalu menyasar kelentitnya yang nyempil sebesar kacang kedelai. Yang nyempil ini kujilati habis - habisan disertai dengan isapan isapan kuat.


Tante Ros tak cuma menggeliat dan mengejang. Dia juga mendesah dan merintih erotis, “Oooooh… Waaawaaaaaan… ooooohhhh… Waaaaan… ini… enaknya setengah matiiiiiiiii… jilatin teruuuuussss sampai orgasme Waaaaaaan… itilnya jilatin teruuuuusssss… itilnyaaaaa… oooooohhhhh …


Tapi aku tidak mengikuti keinginan Tante Ros sepenuhnya. Aku tdak mau menjilatinya sampai orgasme, karena nanti aku cuma bakal kebagian beceknya doang.


Maka setelah aku merasa cukup banyak mengalirkan air liurku ke dalam liang vgina Tante Ros, langsung saja aku jauhkan mulutku dari liang vginanya. Cepat kuletakkan moncong pnisku di ambang mulut vgina wanita setengah baya itu.


Sebelum itu Tante Ros sudah mengangakan vginanya. Mungkin untuk mempermudahkanku melakukan penetrasi ke dalam vgina berjembut itu. Sehingga jelas benar bagian dalam vgina Tante Ros yang sudah basah kuyup oleh air liurku itu.


Dan dengan sewkali dorong… blesssssss… batang kemaluanku langsung membenam ke dalam liang vgina adik kandung ibuku itu.


pnisku membenam lebih dari separuhnya. Disambut dengan pelukan hangat Tante Ros, “Ooooohhhh… semangat hidupku jadi bangkit lagi Wan… ayo setubuhi aku seperkasa mungkin…” ucapnya setengah berbisik.


Disusul dengan ayunan pnisku yang mulai bermaju mundur di dalam liang vgina Tante Ros. Memang vgina berjembut ini menimbulkan sesasi tersendiri, yang tak kutemukan pada vgina plontos tanpa jembut.


Sehingga dengan penuh semangat aku makin menggencarkan entotanku, sampai pada kecepatan standard.


Mengingat Tante Ros calon investor bagiku, seharusnyalah aku membuat kepuasan baginya. Terlebih lagi mengingat putih mulusnya sekujur tubuh tanteku yang satu ini. Sehingga mirip patung Dewi Venus yang terbuat dari batu pualam itu.


Desahan dan rintihan histerisnya pun mulai berkumandang di dalam kamar hotel bintang lima ini. “Waaaa… waaaaan… aaaaah… aaaaaahhhhh… ini… luar biasa enaknya Waaaaaaan… ooooh… ooooohhhhh… pnismu pakai apa sih? Selain panjang gede kok rasanya enak sekali Waaaan…”


“pnisku cuma pakai perasaan Tante. Ini memang kejutan bagiku. Karena tak menyangka aku bisa ngentot bibiku sendiri… dan ternyata… vgina Tante luar biasa sedapnya… gurih dan legit Tanteee…” sahutku terengah.


“Syukurlah kalau enak Wan… entotlah aku sepuasmu… ewean sama kamu sih sehari sepuluh kali juga aku mauuuuu…”


“Hihihi… Tante masih ingat sama istilah ewean segala…”


“Kita memang lagi ewean kan?” ucap Tante Ros sambil memijat hidungku.


Entah kenapa. Aku ingin memperlihatkan keperkasaanku kali ini, karena sudah “ditantang” oleh Tante Ros tadi.


Karena itu aku mulai meremas toket kanannya dengan tangan kiriku, sambil mencelucupi puting toket kirinya. Sementara entotanku justru kugencarkan.


Gila… memang licin liang vgina tanteku ini. Tapi gurih dan legitnya… minta ampun…! Kenyataan itu membuatku semakin bergairah untuk menggenjot pnisku yang bergerak seperti pompa manual, maju mundur dan maju mundur terus di dalam jepitan liang vgina Tante Ros.


Tak cuma itu. Aku ingin tahu apakah titik terpeka di badan Tante Ros sama dengan titik terpeka di badan Tante Martini atau tidak. Maka ketika aku sedang gencar - gencarnya mengentot liang vgina legit nitu, mulutku mulai nyungsep di ketiaknya yang bersih dari bulu. Lalu di situ aku tak cuma menjilatinya, tapi juga menggigit - gigit dan menyedot - nyedot.


Haaa… ternyata sama dengan Tante Martini…!


Tubuh Tante Ros terasa bergetar - getar dan mengejang - ngejang. Rintihannya pun berlontaran terus, “Oooo… ooooo… oooooh… Wawaaaaaan ini smekain enak Waaaan… gila… ini pertama kalinya ketekku dijil;atin… memang geli tapi enak Waaan… ooooh… entot terus Waaaaan… enak sekaliiii…


Tante Ros merintih dan merintih terus. Tapi karena dia sangat lama bermukim di Nederland, pinggulnya tak sedikit pun bergoyang seperti goyangan pinggul Tante Martini. Mungkin karena di negara bule, goyang pinggul tidak terlalu penting. Tidak ada goyang karawang di negaraku.


Dan aku tak peduli hal itu.


Yang jelas, sekitar duapuluh menit aku mengentotnya, Tante Ros mulai gedebak - gedebuk. Lalu terdengar suara, “Aku mau datang… ini udah mau datang… aaaaa…”


Lalu ia mengejang dengan mulut ternganga.


Aku pun mempercepat entotanku. Sampai ketika ia tiba di titik klimaks, kubenamkan pnisku sedalam mungkin. Moncong pnisku pun mentok di dasar liang vginanya. Pada saat itu pula terjadi sesuatu yang teramat indah dan paling kusenangi.


bahwa liang vgina Tante Ros mengejut - ngejut, disusul dengan gerakan sekujur liang sanggamanya yang seperti spiral dan seolah mau mendorong pnisku ke luar. Tapi tentu saja takkan kubiarkan pniskui “termuntahkan”. Karena aku belum apa - apa. Masih jauh dari tanda - tanda mau ejakulasi…!


Tante Ros klepek - klepek. Lalu terkulai di bawah himpitan dan pelukanku.


Kutunggu sampai Tante Ros pulih lagi fisiknya. Beberapa menit kemudian matanya terbuka dan menatapku dengan sorot puasnya seorang wanita yang baru mencapai orgasme.


Pada saat itrulah kuayun lagi pnisku di dalam liang vgina Tante Ros yang sudah semakin licin, tapi tidak becek. Bahkan masih tetap legit. Membuatku semakin bergairah untuk mengentotnya lebih massive dari sebelumnya.


Tante Ros tampak senang. Ia bahkan menawarkan untuk berganti posisi, jadi posisi doggy.


Aku setuju. Tante Ros pun segera merangkak dan menungging.


Sambil berlutut kubenamkan pnisku ke dalam liang vgina Tante Ros yang berada di bawah mulut anusnya. Dengan mudah pnisku bisa langsung melesak amblas ke dalam liang vgina yang masih basah oleh lendir libido Tante Ros. Blessssss …




Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)