Ibuku Tuna Netra 2 - 5



Setelah tubuh Ibu terbalut handuk, aku langsung membopongnya keluar dari kamar mandi.


“Daster ibu ketinggalan di kamar mandi Wan,” kata Ibu waktu baru keluar dari pintu kamar mandi.


“Biar aja Bu. Kan sekarang Ibu harus telanjang bersamaku yang akan telanjang juga.”


“Iya ya. Mmm… tadi dapet apa? Kondom apa pil anti hamil? “tanya Ibu.


“Pil anti hamil Bu. Kalau pake kondom sih takut kurang enak.”


“Memang kurang enak pake kondom sih. Yang enak kan kulit ketemu kulit… hihihihi… Wawan… Wawan… gak nyangka kamu bakal punya niat begituan sama ibu ya?” ucap Ibu setelah kurebahkan di atas ranjangnya.


Pada saat itu pula aku melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Dan setelah telanjang, aku naik ke atas ranjang sambil melepaskan belitan handuk dari tubuh ibuku.


Ibu malah meraba - raba dadaku, lalu perutku.


“Nyari apa Bu?” tanyaku.


Tiba - tiba Ibu menangkap penisku yang sudah ngaceng berat ini. “Ini yang ibu cari. Udah segede apa pnismu ini Wan? Adududuuuuh… gede banget pnismu Wan… jauh lebih gede daripada pnis ayahmu… !”


“Masa sih Bu?”


“Iya. pnis bapakmu biasa - biasa aja. Gak sepanjang dan segede pnismu ini. Nurun dari siapa ya?”


“Hihihiii… gak tgaulah Bu. Harusnya Ibu lebih tau nurun dari siapa ayooo…?”


“Mmm… mungkin nurun dari kakek ibu. Almarhum kakek ibu kan orang Arab,” sahut Ibu sambil menelentang dan merenggangkan kedua belah pahanya, “Ayo Wan… masukin aja langsung pnismu. Ibu pengen ngerasain enaknya dimasukin pnis gede begitu. Jangan pake jilat - jilatan dulu segala. Nanti malah terasa longgar karena beceknya.


Memang aku sendiri pun ingin secepatnya memasukkan penis ngacengku ke dalam kemaluan Ibu. Karena takut kalau Ibu keburu berubah pikiran. Maka setelah mendengar permintaan dari Ibu, aku pun cepat meletakkan kepala penisku di mulut vagina Ibu yang tampak sudah menganga dan kemerahan itu.


Ibu pun membantuku. Memegangi leher penisku, lalu mencolek - colekkan moncongnya ke mulut vginanya. Sampai akhirnya Ibu berkata, “Iya… sekarang doronglah Wan…”


Aku pun mendesakkan penisku sekuat tenaga.


“Iyaaaa… sudah masuk sedikit Wan… ayo dorong lagi yang lebih kuat…”


Kudorong lagi batang kemaluanku sesuai dengan permintaan Ibu. Dan… tongkat kejantananku melesak masuk sedikit demi sedikit… membuat mulut Ibu ternganga.


“Ma… maasuuuk Waaaaan… duuuuh… pnismu memang gede banget Waaaan… terasa sekali… sangat terasa enaknya Waaaaan… “rintih Ibu sambil menarik leherku ke dalam pelukannya. Dan merapatkan pipi hangatnya ke pipiku.


Bayangan wajah Bu Laila pun terlintas di dalam benakku. Namun ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, bayangan wajah wanita cantik itu pun menjauh dan akhirnya hilang dari terawanganku. Kini aku hanya merasakan betapa legitnya liang tempik Ibu ini, meski lama kelamaan terasa mulai seperti mendorong penisku ke luar, lalu menyedotnya kembali …


“Ibu… vgina Ibu enak sekali Bu… uuuughhh… uuuuughhhhh…” bisikku terengah ketika penisku mulai memompa liang keewanitaan ibuku.


“pnismu juga… luar biasa enaknya Waaan… ooo… ooooooohhhhh… enak sekali Waaaan…” sahut Ibu perlahan dan nyaris tak terdengar… dengan pinggul mulai bergoyang - goyang seperti layang - layang tertiup angin kencang. Membuatku semakin bergairah mengentotnya.


Entah setan atau jin mana yang membantuku waktu batang kemaluanku makin gencar mengentot liang vgina Ibu yang sudah bertahun - tahun tak merasakan genjotan zakar lelaki ini. Yang jelas aku semakin mengagumi keindahan bentuk tubuh putih mulus ibuku, mengagumi kecantikan wajahnya yang sepintas lalu tak kelihatan bahwa ibuku ini seorang tunanetra.


Ya, ibuku nyaris sempurna sebagai wanita yang awet muda. Seolah hanya 1 - 2 tahun lebih tua dariku. Hanya sepasang matanya yang tidak sempurna, yang lainnya benar - benar penuh dengan daya pesona. Tubuh yang tinggi montok, dengan bokong gede dan payudara yang montok, dengan pinggang yang ramping dan kulit yang putih mulus.


Maka semakin lupalah aku kalau yang tengah kusetubuhi ini ibu kandungku sendiri. Aku hanya merasakan setiap lekuk tubuh Ibu yang tersentuh olehku ini penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Bahkan ketika aku menicum bibirnya dengan penuh gairah birahi, Ibu pun menyambutnya dengan lumatan hangat, dengan nafas yang terengah - engah…


Terkadang leher jenjangnya kujilati disertai dengan sedotan - sedotan kuat, sehingga mulut Ibu ternganga - nganga, dengan dekapannya di pinggangku yang semakin erat. Seolah takut kalau kutinggalkan dari surga dunia yang sedang kami nikmati bersama ini.


Maka perasaan nikmat yang sedang kurasakan ini berbaur dengan perasaan haru. Dan membuatku smekin yakin bahwa Ibu masih berhak menikmati semuanya ini. Bahkan pada suatu saat aku membisiki telinganya, “Aku makin sayang kepada Ibu…”


Spontan Ibu menyahut, “Iii… ibu juga… makin sayang kepadamu Wan… ta… tapi… ibu su… sudah mau lepas Wan… ayo percepat entotannya… entooooot yang cepeeeet… iyaaaaaa… iyaaaaa… Waaaaaan… Waaaaan… Wawaaaaaaan…”


Ibu berkelojotan. Gedebak gedebuk sambil memeluk leherku erat - erat, membuatku sulit bernafas. Namun kuikuti permintaannya. Entotanku dipercepat… makin lama makin cepat… sampai akhirnya terdengar suara erangan ibuku tercinta, “Aaaaaaa… aaaahhhh… ibu lepas Waaaannn…”


Lalu Ibu terkulai lunglai. Dengan keringat yang membasahi wajah dan lehernya, bercampur baur dengan keringatku.


Lalu Ibu membelai rambutku dengan lembut sambil berkata perlahan, “Terima kasih Wan… sejak ditinggal oleh ayahmu, baru sekali inilah ibu merasakan nikmatnya disetubuhi… ibu sayang sekali padamu Wan… kamu memang anak yang sangat mengerti pada kebutuhan batin ibu…”


Aku terdiam sambil menikmati indahnya kedutan - kedutan liang vgina Ibu yang baru saja mencapai orgasmenya.


Namun aku belum ejakulasi. Aku berusaha mengatur pernafasanku agar bisa berlama - lama mengentot liang vgina Ibu.


Maka setelah Ibu tampak pulih lagi dari kelunglaiannya, aku pun melanjutkannya kembali. Mengayun penisku lagi, yang bergerak - gerak maju mundur di dalam liang vgina ibuku yang sudah becek ini.


Aku merasa kenikmatanku tidak terganggu oleh kebecekan liang kewanitaan ibuku. Bahkan aku semakin pede, bahwa aku sudah berhasil membuat Ibu puas. Lalu aku ingin mengejar kepuasan untuk diriku sendiri. Dengan mempergencar entotanku.


Ranjang Ibu pun berderit - derit lagi secara berirama. Sesuai dengan gerakan pnisku yang sedang memompa liang vgina ibuku.


Ibu pun mulai menanggapi aksiku dengan goyangan pinggulnya yang mulai memutar - mutar, meliuk - liuk dan menukik lalu menghempas di atas kasur. Dengan sendirinya kelentit Ibu pun njadi sering bergesekan dengan batang kemaluanku. Maka erangan - erangan Ibu pun terdengar lagi perlahan tapi jelas di telingaku.


“Waaaan… ooooo… oooooh… Waaaan… ini udah enak lagi Waaaan… entot terus Waaaan… entoooottttttt… entoooootttttt Waaaaaaan… enak sekali Waaaaan… entot teruuuussss… entoooottttttttt… entooooootttttt… ooooo… ooooooh… enaaaaak Waaaan… enaaaaaakkkhh… entoooooootttttttt …


Cukup lama aku mengentot ibuku. Sehingga keringatku sudah semakin bercucuran. Sampai pada suatu saat Ibu berkata terengah, “Ibu udah mau lepas lagi Waaan… ayo barengin biar nikmat Waaaan…”


Memang aku pun sudah berada di detik - detik krusial. Maka setelah mendengar permintaan Ibu itu, aku tak mau menahan - nahan lagi. Kupercepat entotanku… maju mundur maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya.


Lalu… ketika sekujur tubuh Ibu sedang terkejang - kejang, ketika liang vginanya terasa sedang menggeliat dan berkejut - kejut, batang kemaluanku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan auir mani… croooooottttt… crooooooottttt… crotttt… croooottttt… crooootttttttt… croooottttt…


Kami sama - sama menggelepar, lalu sama - sama terkulai dan terdampar di pantai kepuasan. Dengan tubuh bermandikan keringat.


O, betapa indah dan nikmatnya semua yang telah kualami ini.




Dan sekarang Ibu sudah memberikan sesuatu yang paling berharga di badannya, untuk kumiliki dan kunikmati.


Karena itu aku harus memperlakukannya lebih dari biasanya. Ketika Ibu mau bersih - bersih di kamar mandi, aku membopong tubuh telanjangnya ke kamar mandi. Lalu kami mandi bersama. Untuk membuang keringat dari tubuh kami.


Lalu aku menyabuni sekujur tubuh ibu, dari leher sampai ke telapak kakinya.


Namun ketika aku sedang menyabuni kemaluannya yang sudah dua kali orgasme itu, diam - diam penisku ngaceng lagi. Maka kuangkat tubuh Ibu ke bibir bak kamar mandi. Dan kududukkan Ibu di pinggir bak yang bibirnya cukup lebar, yang biasanya digunakan untuk menaruh peralatan mandi. “Mau ngapain mendudukkan ibu di sini Wan?


“Iya Bu. Aku nafsu lagi nih. Gak apa - apa ya,” sahutku sambil berdiri menghadap ke arah ibuku, dengan moncong penis diletakkan di mulut vagina Ibu yang masih berlepotan air dan busa sabun.


“Iya gak apa - apa Sayang,” sahut Ibu sambil memegang sepasang bahuku.


Dan dengan mudahnya aku bisa memasukkan penisku yang sudah ngaceng lagi ini ke dalam liang vgina Ibu… blessssssssskkkkkkk…


Dan sambil berdiri, mulailah penisku “memompa” liang kemaluan ibuku.


“Oooooohhhhh… pnismu memang enak sekali Wan… nanti istrimu pasti bakal ingin dientot terus sama pnis gede dan panjangmu ini… ooooohhhhh… enak sekali Waaaan… “erang Ibu sambil memeluk leherku agar tidak terjatuh ke lantai, sekaligus ingin menciumi pipi dan bibirku.


“Me… vgina ibu enak nggak Wan?” tanya Ibu ketika ayunan penisku masih berjalan lambat.


“Enak sekali Bu…” sahutku sambil mendekap pinggang ibu, sementara penisku mulai kugenjot secara berirama.


“Sayangnya kita gak boleh kawin ya Wan. Kalau boleh sih, ibu mau juga dihamili olehmu.”


“Kalau hidupku sudah mapan, tiada salahnya ibu mengandung anakku.”


“Kenapa harus sudah mapan?”


“Kalau sudah mapan, aku bisa menyembunyikan Ibu di suatu tempat yang jauh dari mulut usil.”


“Iya… makanya cepatlah sukses ya Sayang. Biar ibu bisa hamil, bisa mengandung benihmu. Oooo… ooooohhhh… ini… makin lama makin enak Waaaan… tapi jangan terlalu lama kayak tadi yaaaa… kalau ibu sudah mau lepas, kamu juga harus ngecrot… biar bareng lagi lepasinnya seperti tadi… nikmat sekali…


“Iya Bu… lagian ngentot di dalam kamar mandi gini gak boleh lama - lama ya. Takut diganggu hantu air…”


“Ah… kata ayahmu sih kata hantu itu hanya plesetan dari kata Tuhan… jadinya Tuhantuhantuhantuuuu… bener kan?”


“Iyaaaa… dududuuuuuhhhh… vgina Ibu makin lama makin enak Buuuu…”


“pnismu juga makin lama makin enaaaaaak… ayo cepetin entotannya Waaaan… biar cepat selesai…”


“Iya Bu,” sahutku sambil mempercepat entotanku seperti yang Ibu inginkan.


Bokong Ibu makin lama makin maju. Tapi aku tidak takut beliau jatuh, karena selalu berpegangan ke bahuku atau memeluk leherku erat - erat.


Dan akhirnya Ibu berkata terengah, “Ayo Wan… barfengin lagi… ibu udah mau lepas nih Waaaaan… entooooot teruuuusssss… lepasin bareng lagiiiii…”


Aku memang sudah ingin ngecrot secepatnya di kamar mandi ini. Maka setelah mendengar permintaan Ibu, kupergencar entotanku, tanpa mempedulikan apa - apa lagi.


Dan… oooo… aku berhasil…!


Ketika liang vgina Ibu mengedut - ngedut kencang, aku pun tengah “menanamkan” penisku di dalam liang surgawi yang sedang berkejuit - kejut erotis itu… disusul dengan kejutan - kejutan di penisku sendiri… penis yang moncongnya tengah memuntahkan lahar lendir ini. Crooootttttt… crotcrottttt…


Ibu masih memeluk leherku, tapi kedua lengannya sudah terasa lemas. Maka setelah mencabut batang kemaluanku dari liang vgina Ibu, kuturunkan ibuku dengan hati - hati.


“Duuuuhhhh… ini untuk pertama kalinya ibu disetubuhi di dalam kamar mandi Wan,” kata Ibu sambil meraba - raba bibir bak, sampai menemukan gayung plastik. Lalu diambilnya air dengan gayung plastik itu untuk menyirami vginanya.


Aku pun mengambil gayung plastik itu dari tangan ibuku. Lalu kusiram air dari atas kepala Ibu, agar beliau mandi sekalian berkeramas.


Setelah Ibu selesai berkeramas dan kubilas dengan air dari gayung plastik, barulah aku sendiri mandi sebersih mungkin, sekalian mandi junub.


Setelah mandi, kami kenakan pakaian masing - masing. Dan bersama - sama rebahan di atas ranjang Ibu.


Ibu mendekapku dengan kehangatan seorang ibu, sekaligus sebagai seorang wanita yang baru berbagi kenikmatan denganku.


Sementara terawanganku mulai melayang - layang lagi. Menerawang segala yang pernah kualami dan kemungkinan - kemungkinan yang akan kualami.




Walau pun aku tak pernah pacaran dengan cewek sebayaku, sebenarnya Ibu bukanlah wanita pertama yang kugauli. Ya… aku akan tetap ingat peristiwa demi peristiwa, khususnya tentang masalah seksual.


Baru seminggu aku bekerja di kantor perusahaan swasta itu, seorang karyawati menghampiriku ketika aku sedang nongkrong di kantin pada jam makan siang. Karyawati itu seorang wanita setengah baya yang menjabat tanganku sambil menyebutkan namanya, “Ninies.”


Aku pun menyebutkan namaku. Kemudian karyawati yang bernama Ninies itu duduk di depanku, dibatasi oleh meja kantin.


“Gimana? Seneng kerja di sini?” tanyanya setelah memesan jus guava ke ibu kantin.


“Lumayan… seneng Mbak.”


“Kamu karyawan termuda di sini.”


“Kok Mbak tau?”


“Aku kan staf personalia.”


“O gitu…”


“Kamu punya WA?”


“Punya. Mau tukaran nomor Mbak?”


“Iya.”


Lalu aku tukaran nomor hape yang ada WAnya dengan Mbak Ninies, yang usianya kira - kira tigapuluh tahun lebih.


“Nanti malam kita chat ya,” ucapnya.


“Boleh Mbak.”


“Pacarnya gak marah kalau kamu chat denganku?”


“Aku gak punya pacar Mbak.”


“Ohya? Cowok seganteng kamu gak punya pacar? Masa sih?!”


“Belum punya Mbak. Cariin dong sama Mbak. Heheheee…”


Tiba - tiba dia memegang tanganku yang berada di atas meja sambil berkata perlahan, “Aku aja jadiin pacar ya. Hihihiiii…”


“Memangnya Mbak gak punya suami?”


“Punya, tapi boleh aja aku suka kamu kan?”


Aku terhenyak. Masa perempuan yang jauh lebih tua dariku mau jadi pacarku? Tapi aku lantas teringat sesuatu… tentang wanita bersuami yang seneng melahap brondong. Apa salahnya kalau aku dijadiin brondongnya? Bukankah aku ingin tau bagaimana rasanya bersetubuh itu?


(saat itu aku belum pernah menggauli siapa pun).


Aku menengok ke kanan kiriku. Saat itu kantin memang sedang sepi. Hanya aku dan Mbak Nies yang sedang nongkrong di kantin. Maka lalu aku menjawab, “Boleh Mbak. Boleh banget.”


Mbak Nies yang berperawakan tinggi montok berkulit putih mulus itu menghabiskan jus guavanya. Lalu berdiri sambil berkata, “Nanti malam kita chatting ya.”


“Oke,” sahutku sambil tersenyum.


Dugaanku tidak meleset. Malamnya Mbak Ninies mengirim WA, berawal dengan basa - basi, udah tidur belum… sekarang lagi ngapain dan sebagainya. Sampai akhirnya melangkah ke chat yang lebih serius :


Aku: Suami Mbak kerja di mana?


Ninies: Jauh. Di Hongkong


Aku: Jadi TKI? Ninies: Iya. Aku: Mbak sering kesepian dong. Ninies: Iya. Makanya pengen jadi pacar gelap kamu. Aku: Kebetulan dong. Aku lagi butuh guru. Ninies: Guru apa? Aku: Guru begituan Mbak. Ninies: Sex maksudnya? Aku: Iya Ninies: Memangnya kamu belum pernah? Aku: Belum Mbak. Ninies: Bohong ah.


Tanpa pikir panjang lebar lagi kufoto penuisku yang kebetulan sedang ngaceng ini, lalu kukirimkan. Dan :


Ninies: Wow! Punyamu panjang gede gini yah? Aku jadi horny neh.


Aku: Mana punya Mbak?


**


Ninies: Sebentar ya. Kamarku gelap, mau nyalain lampu dulu.


**


Tak lama kemudian aku menerima kiriman foto kemaluan Mbak Ninies. Maka giliranku untuk berkomentar :


Aku: Waduh Mbak… vginanya bersih gini. Jadi pengen jilatin deh.


Ninies: Kok udah tau jilat vgina segala? Berarti udah pengalaman dong.


Aku: Pengalaman masih nol besar. Tapi nonton bokep sih sering. Ninies: Iya ya. Cowok zaman sekarang kan sering nonton bokep. Aku: Terus kapan aku mau sekolahnya Mbak? Ninies: Terserah kamu. Sekarang juga bisa. Asal mau aja kamu yang ke sini. Aku: Ke rumah Mbak? Ninies: Iya. Kalau mau, aku akan kirim alamatnya.


Beberapa saat kemudian aku sudah berada di atas motorku yang kularikan menuju alamat rumah Mbak Ninies.


Kepada Ibu aku bilang mau kerja lembur. Terpaksa aku berbohong supaya tidak ada pertanyaan yang susah jawabnya.




Rumah Mbak Ninies lumayan jauh dari rumahku. Mbak Ninies di ujung timur, sementara aku di ujung utara. Namun tak sampai sejam aku pun tiba di depan rumah Mbak Ninies ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam.


Mbak Ninies membuka pintu depan dengan mengenakan daster putih bersih, dengan rambut yang diurai lepas pula.


“Motornya masukin aja ke dalam, biar aman, “katanya sambil membuka pintunya lebar - lebar.


Aku ikuti saja petunjuk teman sekantorku yang berperawakan tinggi montok dan berkulit putih mulus itu. Kumasukkan motorku ke dalam rumahnya yang lebih kecil dari rumahku, tapi penataannya rapi dan serba masa kini.


Setelah menutup dan menguncikan pintu depan, Mbak Ninies langsung mengajakku masuk ke dalam kamarnya yang rapi dan harum penyegar ruangan.


Setelah aku berada di dalam kamarnya, Mbak Ninies menutup dan menguncikan pintu kamarnya yang serba bersih dan mengikuti trend bedroom masa kini itu. Sebagai pemula dalam masalah perempuan, aku mulai degdegan. Dan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Tapi Mbak Nies tahu apa yang harus dilakukannya.


Lalu ia berkata setengah berbisik, “Sekarang nginap di sini aja ya. Besok kan kita libur.”


“Iya Mbak…” sahutku sambil mengamati Mbak Ninies yang sedang menanggalkan daster putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba pink yang masih melekat di tubuhnya.


Dalam keadaan nyaris telanjang kitulah Mbak Ninies meraihku ke dalam pelukannya. “Kita gak usah munafik,” bisiknya, “Saat ini kita saling membutuhkan Wan. Aku kesepian, kamu juga ingin merasakan enaknya vgina kan?”


“Iya Mbak…” sahutku yang lalu terputus, karena bibirku dipagutnya. Lalu dicium dan dilumatnya, sementara aku semakin jauh tenggelam di dalam arus nafsu.


“Tanggalkan dulu dong pakaianmu, biar lebih leluasa,” ucap Mbak Ninies setelah ciumannya dilepaskan.


Aku pun melepaskan baju kaus dan celana jeansku. Tinggal celana pendek yang masih melekat di tubuhku.


“Coba liat pnismu… tadi baru liat fotonya. Sekarang ingin liat aslinya,” kata Mbak Ninies sambil melepaskan kancing celana pendekku. Lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana pendekku. Dan menyembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini.


“Wow… pnismu ini istimewa Wan. Bukan cuma gede tapi juga panjang sekali… hihihihiiii… seneng aku liatnya,” ucap Mbak Ninies sambil menciumi puncak penisku.


Pada saat itulah aku pun tak sabar lagi. Ingin menjamah kemaluan Mbak Ninies yang masih tertutup celana dalam berwarna pink itu.


“Kamu ingin jilatin vginaku kan?”


“Iya Mbak.”


“Ya udah, jilatin deh, “kayta Mbak Ninies sambil merenggangkan kedua belah pahanya. Aku agak kebingungan awalnya, karena Mbak Ninies masih mengenakan celana dalam. Tapi lalu aku membungkuk dan menelungkup di antara sepasang paha putih mulusnya.


Lalu kutarik celana dalamnya ke arah kiri, sehingge kemaluannya terbuka. Yang berwarna pinknya pun kelihatan sudah menganga, seolah menantangku untuk segera menjilatinya. “Aku belum punya pengalaman. Kalau salah, tolong betulin ya Mbak,” kataku yang diiyakan oleh Mbak Ninies sambil tersenyum - senyum.


Aku pun menjilati kemaluan Mbak Ninies yang jembutnya hanya di bagian atas, juga pendek - pendek, kayak kumis Hitler.


Lalu Mbak Ninies memberi pengarahan tentang kemaluan bagian mana saja yang harus dijilati itu. Bagian dalamnya yang berwarna pink, bibir kecil (labia minora) dan terutama clitorisnya.


Setelah diberi petunjuk, aku pun mulai mengerti. Dalam tempo singkat aku sudah bisa menjilati vgina Mbak Ninies, tanpa harus dibimbing lagi. Namun nafsuku sudah bergejolak, ingin segera melakukan persetubuhan yang sebenarnya.


Ya… aku masih ingat benar semuanya itu. Bahwa untuk pertama kalinya aku merasakan nikmatnya menyetubuhi perempuan, adalah dengan Mbak Ninies itu.


Bahkan Mbak Ninies pula yang mengajariku tentang posisi - posisi sex yang bermacam - macam itu. Sehingga malam itu aku sampai tiga kali ngecrot di dalam liang vgina Mbak Ninies.


Sebelum berpisah, kami janjian untuk ketemuan lagi tiga malam berikutnya.


Tapi apa yang terjadi?


Keesokan harinya Mbak Ninies mengirim WA ketika aku sedang sibuk di ruang kerjaku.


Isinya :Wan… aku dimutasikan ke Medan dan harus berangkat sekarang juga. Selamat tinggal ya Wan. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu. Peluk cium untukmu seorang.


Aku ingin sekali turun ke bawah, ke ruang kerja Mbak Ninies yang berada di lantai satu (sementara tempatku bekerja di lantai tiga). Tapi aku teringat ucapan Mbak Ninies tempo hari, agar hubunganku dengannya dirahasiakan. Jangan sampai ada orang kantor yang tahu.


Karena itu aku hanya bisa membalas lewat WA lagi. Yang isinya panjang lebar. Mengungkapkan perasaan kagetku, karena harus berpisah dengan wanita yang sudah membuatku dewasa itu.


Tentu saja aku merasa kehilangan juga setelah Mbak Ninies dimutasikan ke Medan. Tapi mau diapain lagi? Aku tak punya hak dan wewenang untuk menahannya agar tetap bertugas di kantor ini.


Padahal baru saja aku merasakan nikmatnya hubungan sex dengan wanita yang lebih tua dariku itu. Tadinya aku bertekad untuk sering - sering “menengok” ke rumah Mbak Ninies itu. Tapi apa daya… takdir berkata lain.


Ya… semuanya itu akan tetap kuingat sebagai pengalaman awalku tentang nikmatnya menyetubuhi lawan jenisku.


Tentu saja aku merasa kecewa dan sedih karena harus berpisah dengan Mbak Ninies yang tadinya kuanggap bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.


Begitulah… aku masih ingat semuanya itu. Semua yang telah terjadi dengan Mbak Ninies beberapa bulan yang lalu itu. Peristiwa indah di rumah Mbak Ninies itu, akhirnya hanya bisa kukenang, karena aku tak mungkin jauh - jauh ke Medan hanya untuk menjumpai wanita yang telah mengambil keperjakaanku itu.


Beberapa bulan aku dibuat kehilangan, sampai akhirnya aku menemukan sosok yang bisa dijadikan tempat untuk penyaluran nafsu birahiku. Sosok itu adalah ibu kandungku sendiri.


Dan ternyata bersetubuh dengan Ibu tak kalah nikmatnya dengan menyetubuhi Mbak Ninies. Bahkan dalam beberapa hal aku merasa bahwa liang kewanitaan Ibu lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.


Padahal ibuku sudah dua kali melahirkan. Sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Logikanya, kemaluan Mbak Ninies harus lebih enak daripada kemaluan Ibu. Tapi ternyata sebaliknya, liang kewanitaan Ibu jauh lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.


Dan yang sangat menyenangkan, ibuku siap meladeniku kapan saja aku mau.


Bahkan dua malam setelah peristiwa pertama itu, Ibu mendatangi kamarku. Ibu memang sudah hafal liku - liku rumah ini. Sehingga tanpa tongkat pun beliau bisa mencapai tempat yang ingin dicapainya.


Pada saat itu aku sedang duduk di atas sofa tua dalam kamarku. Maka kujemput Ibu dan kutuntun ke arah sofa, lalu kududukkan di atas pangkuanku.


“Kamu gak kepengen lagi Wan?” tanya Ibu sambil merapatkan pipinya ke pipiku.


“Tentu aja kepengen Bu,” sahutku, “kemaren kan gak begituan sama Ibu. Tapi aku mau mandi dulu, lalu makan malam dulu. Setelah isi perut kita turun, barulah aku mau tidur di kamar Ibu… setelah puas meniduri Ibu. Heheheee…”


“Iya… ibu juga lagi horny Wan.”


“Cailaaa… Ibu tau horny segala ya…”


“Kan ibu suka baca di buku - buku berhurup braille Wan.”


“Iya, aku lupa itu. Mmm… nanti kucarikan deh buku - buku pengetahuan berhurup braille, biar Ibu tidak ketinggalan zaman. Aku mau mandi dulu ya Bu,” kataku sambil mendudukkan Ibu di atas sofa.


“Iya,” sahut Ibu, “ibu sih waktu kamu baru pulang tadi pas lagi mandi.”


“Setelah mandi, nanti aku beli nasi bungkus. Ibu mau nasi campur apa?”


“Nasinya baru matang di magicom Wan. Beli lauk pauknya aja.”


“Oke,” sahutku sambil melangkah ke luar, meninggalkan ibu di dalam kamarku.




Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)