Namun malam itu Ibu terasa sangat bergairah untuk dientot olehku. Berbagai macam posisi dia minta. Aku hanya manut saja. Mau posisi doggy boleh. Posisi WOT juga boleh. Namun pada posisi WOT itulah Ibu orgasme lagi, setelah kami sama - sama keringatan.
Sampai akhirnya kembali lagi ke posisi soft missionary. Dan aku mulai merasakan sesuatu. Bahwa menyetubuhi Ibu malah lebih enak daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Padahal Ibu sudah dua kali “turun mesin”, sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Harusnya Mbak Ninies lebih enak. Tapi kenyataan malah sebaliknya.
Apakah hal ini karena Ibu memberikan vginanya secara tulus ikhlas, sementara Mbak Ninies hanya ingin mengambil keperjakaanku semata? Entahlah.
Yang jelas, makin lama aku makin menyadari bahwa menyetubuhi Ibu ini terasa lebih nikmat daripada menyetubuhi Mbak Ninies. Karena Ibu seperti ingin memuaskanku dalam setiap gerakan fisik kami berdua. Meski sudah tiga kali orgasme, Ibu masih bisa menggoyangkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga batang kemaluanku serasa dibesot - besot oleh liang sanggamanya.
Rintihan demi rintihannya cuma perlahan saja. Berarti beliau tetap mengontrol diri pada saat aku sewdang gewncar - gencarnya mewngayun penisku. Namun meski cuma rintihan yang nyaris tak terdengart, aku masih bisa mendengarnya, karena mulutnya berada di dekat telingaku.
“Waaaan… ooooo… oooooohhhhh Waaaaaan… kamu memang perkasa Waaaan… gak nyangka… gak nyangka kalau kepuasan ibu akan dialami dari anak ibu sendiri… ayolah Waaan… entot terussssss… ini udah mulai enak lagi Waaaan… ayooooo… entot ibu segarang mungkin…”
Kali ini aku pun merasa sudah mulai berada di detik - detik krusial. Maka ketika Ibu mulai menggelepar - gelepar lagi, aku pun menggencarkan entotanku. Sampai akhirnya kubenamkan penisku sedalam mungkin, tepat pada saat Ibu sedang terkejang - kejang. Mungkin Ibu juga akan mencapai orgasme yang kesekian kalinya.
Benar saja… ketika kubenamkan penisku sedalam mungkin dan tidak kugerakkan lagi ini, liang kewanitaan Ibu terasa menggeliat dan mengejut - ngejut indah. Pada saat ini pula penisku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan air mani di dalam liang surgawi ibuku.
Crooooottt… crottt… crooootttttt… crooot… crot… crooootttt…!
Aku menggelepar di atas perut Ibu, kemudian terkulai lunglai di dalam pelukannya.
“Dibarengin lagi ya,” bisik Ibu sambil menciumi pipiku.
“Iya Bu… luar biasa enaknya.”
“Barusan ibu sampai lima kali lepas… kamu memang hebat Wan…”
Peristiwa indah ini terjadi dan terjadi terus pada hari - hari berikutnya. Kapan pun aku menginginkannya, Ibu selalui siap untuk meladeniku.
Namun aku tak sekadar ingin menjadikan Ibu sebagai pelampiasan nafsu birahiku. Aku pun ingin membahagiakannya dengan apa pun yang bisa kulakukan.
Bahkan aku sering melamun, seandainya aku sudah sukses, aku ingin merombak rumah tua itu menjadi rumah yang modern. Sedikitnya tiap kamar harus ada kamar mandinya masing - masing, lengkap dengan shower dan water heaternya. Tidak seperti saat itu, kamar mandinya cuma satu. Harus selalu mandi air dingin, dengan hanya memakai gayung plastik pula.
Padahal dalam kondisi Ibu yang tidak bisa melihat itu, sebaiknya ada kamar mandi yang bersatu dengan kamar Ibu. Supaya kalau Ibu mau mandi, tak usah keluar dulu dari kamarnya. Begitu pula kalau mau buang air, tak usah jauh - jauh pergi ke kamar mandi yang di luar kamarnya.
Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang bekerja, aku dipanggil oleh Bu Laila Qodrati, anak tunggal owner perusahaan tempatku bekerja. Tentu saja aku kaget sekali, karena mendadak dipanggil oleh orang nomor dua di perusahaan ini.
Lalu bergegas aku naik lift menuju lantai lima.
Setelah berada di lantai lima, aku mengetuk pintu kaca blur yang bertuliskan nama orang kedua di perusahaan ini.
Terdengar suara wanita dari dalam, “Masuk… !”
Dengan lutut agak gemetaran aku membuka pintu kaca itu, lalu membungkuk di depan meja kerja Bu Laila sambil berkata, “Selamat pagi, Bu Boss.”
“Pagi, “Bu Laila mengangguk sambil tersenyum, “Duduklah.”
Lalu aku duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Bu Laila.
Beliau memandang ke arah layar laptopnya sesaat, lalu menatapku sambil berkata, “Nama lengkapmu Wawan Darmawan ya?”
“Siap, betul Bu Boss.”
“Kamu sudah setahun bekerja di sini ya?”
“Siap, betul Bu Boss.”
“Dari catatan yang masuk ke meja kerjaku ini, prestasi kerjamu bagus, Wan.”
“Siap Bu Boss.”
“Kamu bisa nyetir mobil?”
“Siap, bisa Bu Boss.”
“Punya SIM?”
“Siap, punya Bu Boss.”
“Memangnya kamu punya mobil?”
“Tidak Bu Boss. Tapi sebelum saya bekerja di sini, saya pernah jadi sopir angkot, lalu jadi sopir taksi juga Bu Boss.”
“Sanggup nyetir ke luar kota?”
“Siap, sanggup Bu Boss.”
“Umurmu sekarang duapuluhsatu, berarti waktu jadi sopir angkot dan taksi itu masih di bawah duapuluh taun ya?”
“Siap, betul Bu Boss.”
“Di usia semuda itu kamu sudah jadi sopir taksi segala.”
“Siap, betul Bu Boss.”
“Sekarang masih suka jadi sopir di luar jam kerja?”
“Siap, tidak lagi Bu Boss. Saya ingin konsentrasi bekerja di sini.”
“Jadi sopir taksi kan lumayan banyak hasilnya.”
“Siap, tidak selalu begitu Bu Boss. Lagipula hidup saya jadi tidak teratur seperti sekarang.”
“Begitu ya. Mmm… kamu sanggup nyetir mobilku?”
“Siap, sanggup Bu Boss.”
“Aku takkan menjadikanmu sopirku. Tapi untuk menjadi pendampingku, karena banyak masalah perusahaan yang harus dirahasiakan. Sedangkan sopir pribadiku sudah terlalu tua. Kalau nyetir ke luar kota, pulangnya suka sakit, lalu lama tidak masuk kerja.”
“Siap Bu Boss.”
Kemudian Bu Laila mengeluarkan secarik kartu nama.
“Ini kartu namaku. Alamat rumahku tercantum di sini,” ujarnya sambil menyerahkan kartu nama itu padaku, “Hitung - hitung test, besok kamu harus nyetirin mobilku ke Jakarta aja. Kalau cara nyetirmu bagus, nanti kamu harus nyetirin aku ke kota yang lebih jauh dari Jakarta.”
“Siap Bu Boss,” sahutku sambil membaca kartu nama puteri tunggal owner perusahaan itu. Kemudian memasukkannya ke dalam dompetku.
“Tapi ingat… kamu jangan ngomong apa - apa ke karyawan lain nanti ya.”
“Siap Bu Boss.”
“Kalau ada yang nanyain, bilang aja cuma dikasih nasehat olehku.”
“Siap.”
“Jadi, besok sebelum jam tujuh kamu harus sudah tiba di rumahku. Dari rumahku, kita langsung berangkat ke Jakarta. Oke?”
“Siap Bu Boss.”
“Ingat… sama karyawan lain jangan bilang - bilang kamu akan nyetirin mobilku ya. Pokoknya bilang aja bahwa kamu hanya dikasih pengarahan olehku gitu.”
“Siap Bu Boss.”
“Ohya. besok pakaianmu casual aja. Jangan pakai seragam kantor.”
“Siap Bu Boss.”
Aku kembali ke ruang kerjaku dengan semangat yang mulai menggebu - gebu di dalam batinku. Karena seandainya aku nyetirin mobil Bu Laila, mungkin aku bisa dekat dengan seorang decision maker (pengambil keputusan) di dalam perusahaan. Maka dengan sendirinya aku hgarus bersikap sebaik mungkin padanya.
Keesokannya, jam enam pagi aku sudah mandi dan berdandan. Lalu aku pamitan kepada Ibu, bilang bahwa aku ditugaskan untuk ke Jakarta. Jadi mungkin saja aku mau nginap di Jakarta nanti. Tak lupa aku pun memberikan uang untuk makan selama aku tidak di rumah.
“Gak usah masak Bu. Beli saja nasi bungkus di warung nasi itu, supaya Ibu tidak repot,” kataku setelah mencium pipi kanan dan pipi kirinya.
Ibu hanya mengiyakan dan berkata, “Hati - hati di jalan Sayang.”
“Iya. Ibu juga jangan ngeluyur ya. Ibu hanya boleh ke warung nasi saja. Jangan ke mana - mana.”
“Iya, ibu mau selonjoran aja seharian di depan tivi,” sahut Ibu sambil menepuk - nepuk bahuku.
Setelah membuka pintu belakang kiri sedan mewah yang mesinnya sudah kupanaskan itu, Bu Laila pun masuk sambil berkata, “Terima kasih. “
Pintu belakang kiri kututupkan. Kemudian bergegas aku masuk ke belakang setir sedan itu. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku. Tentu saja bukan sembarang parfum yang dikenakan oleh wanita yang kutaksir sudah berumur kepala tiga itu.
Setelah sedan yang kukemudikan memasuki jalan tol, terdengar sauara Bu Laila dari belakangku, “Usiamu baru duapuluhsatu, tapi cara nyetirmu jauh lebih bagus daripada sopir lamaku. Berarti jam terbangmu sudah lumayan tinggi ya. “
“Siap Bu Boss. Lumayan lama saya nyetir, malah sejak saya baru limabelas tahun suka narik angkot. Tapi hanya berani nyetir malam. Kalau siang takut ditilang, karena belum punya SIM. “
“Ogitu ya. terus uangnya dipakai apa aja? Minum - minum?”
“Untuk biaya kuliah saya Bu Boss. Saya tidak pernah menyentuh minuman keras. “
“Merokok juga tidak pernah?”
“Kalau merokok sekali - sekali suka juga Bu Boss. “
“Kalau di perjalanan gini, gak usah nyebut - nyebut Boss padaku Wan. Panggil Bu atau Mbak aja, gak apa - apa. “
“Siap Bu Boss… eh Bu. “
“Nanti di rest area pertama kita makan pagi dulu ya. “
“Siap Bu. “
Dan memang sebelum belokan menuju rest area pertama, kukurangi kecepatan sedan Bu Laila ini, lalu dibelokkan ke kiri.
Setelah mobil diparkir, aku keluar dari mobil untuk membukakan pintu belakang kanan, kemudian Bu Laila turun. Sementara aku mau masuk ke dalam mobil lagi sambil berkata, “Saya mau nunggu di mobil aja Bu. “
“Jangan begitu,” sahut Bu Laila sambil memegang pergelangan tanganku. Ayo temani aku makan. Kalau makan sendirian suka gak enak. “
Akhirnya aku mengikuti langkah Bu Laila yang pagi itu mengenakan kemeja tangan panjang putih dengan rok berwarna merah (tapi tidak seperti seragam SD, karena bahannya beda). Bu Laila memilih foodcourt yang menjual bubur ayam. Aku pun ikut duduk di situ, meski aku sudah merasakan di situ bubur ayamnya kurang enak.
Kebetulan pada saat itu rest area masih sepi. Sehingga Bu Laila bebas berbicara denganku.
“Sebenarnya urusan bisnisku di Jakarta hari Senin pagi, “katanya.
“Iya Bu, “aku cuma menunduk sambil menyantap bubur ayamku. Padahal aku heran. Saat itu hari Sabtu pagi. Urusan Bu Laila hari Senin pagi. Lalu kenapa harus berangkat secepat ini?
“Kita nyantai aja dulu di Jakarta selama dua hari ya,” ucap Bu Laila sambil menepuk punggung tanganku yang terletak di atas meja.
“Siap Bu,” sahutku sambil mengangguk.
Selesai sarapan pagi, Bu Laila masuk ke minimart sambil bertanya, “Rokokmu apa?”
O, rupanya beliau mau membelikanku rokok. “Saya sih rokok apa juga jalan. Asal ngebul aja Bu. “
“Aku juga suka merokok Wan. Nanti matiin aja AC mobilnya, kalau kamu mau merokok. “
“Siap Bu. “
Setelah keluar dari minimart itu, Bu Laila menjinjing kantong plastik besar, yang kuambil alih untuk menjinjingnya dan meletakkan di jok belakang sebelah kiri. Tadinya kupikir Bu Laila akan duduk di belakang sebelah kanan lagi. Tapi ternyata tidak. Bu Laila memilih untuk duduk di depan, di sebelah kiriku.
Bu Laila berdiri sambil menghadap ke belakang. Ternyata beliau mau mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik besar tadi. Satu sloft rokok yang menurutku rokok mahal. “Nih cukupkan untuk sepuluh hari ya, “katanya sambil menyerahkan sesloft rokok mahal itu.
“Wah… terima kasih Bu. Saya hanya merokok sekali - sekali. Sebungkus bisa dua - tiga hari baru habis. Jadi sesloft ini cukup untuk sebulan Bu,” kataku sambil meletakkan sloft rokok itu di saku jaket kulitku.
“Itu lebih bagus. Merokok boleh - boleh saja, tapi jangan terlalu nyandu. “
“Siap Bu. “
“Wan… “
“Ya Bu?”
“Di CVmu tertulis kamu belum kawin. Itu betul?”
“Siap, betul Bu. “
“Tapi kalau pacar aja sih sudah punya kan?”
“Saya belum pernah pacaran secara serius Bu. “
“Kenapa? Kamu ganteng kok. Masa belum pernah pacaran?”
“Masa kecil dan masa remaja saya… sangat berat Bu. “
“Berat gimana?”
“Sejak masih di SD dan SMP, saya sampai harus jadi tukang semir sepatu untuk menghidupi saya sendiri, termasuk membiayai sekolah saya. Setelah di SMA, tiap malam saya jadi sopir angkot. Setelah jadi mahasiswa jadi sopir taksi. Untuk membiayai kuliah dan kehidupan sehari - hari saya. Jadi saya tidak berani pacaran seperti teman - teman seangkatan saya.
“Terharu juga aku mendengarnya Wan,” sahut Bu Laila sambil mengusap - usap rambutku.
Nah… ini membuat batinku bergetar. Karena aku punya lamunan agar Bu Laila dekat denganku. Supaya kehidupanku berubah sedikit demi sedikit.
“Tapi merasakan tubuh perempuan sih pernah kan?”
“Belum Bu,” sahutku berdusta. Karena aku langsung teringat pada Mbak Ninies yang begitu bernafsu mendapatkan keperjakaanku. Siapa tahu Bu Laila juga seperti itu.
Tapi apakah Bu Laila yang putri tunggal owner perusahaan dan berparas jelita itu bisa punya niat yang sama dengan Mbak Ninies?
Saat itu aku belum tahu status Bu Laila. Apakah beliau itu gadis madya atau punya suami atau janda, entahlah. Aku tidak berani menanyakannya. Yang aku tahu Bu Laila itu berwajah cantik, berperawakan tinggi langsing dan berkulit putih mulus. Tentu saja sekujur tubuhnya selalu mendapatkan perawatan lengkap, maklum orang tajir melilit.
Lalu terdengar suaranya, “Wan… “
“Ya Bu… “
“Nanti belokkan saja ke arah tol Jagorawi. “
“Siap Bu. “
Tiba - tiba Bu Laila memegang tangan kiriku yang nganggur, karena sedannya matic. Dan sambil meremas tanganku, Bu Laila bertanya dengan suara yang berbeda dari biasanya, “Kamu mau dijadikan pacar rahasiaku?”
Maaaaak… dugaanku tidak meleset. Maka spontan aku menjawab, “Siap Bu… !”
“Memangnya kamu suka padaku?” tanyanya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku. Harum parfumnya pun semakin tersiar ke penciumanku, menimbulkan suasana baru yang membuat batinku tergetar.
“Sa… sangat suka Bu. Tapi saya tidak berani mengucapkannya… karena saya tau siapa saya dan siapa Ibu. “
“Terus terang, aku ini punya suami Wan. Tapi suamiku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Suamiku masih hidup setelah dirawat berbulan - bulan dirawat di rumah sakit. Tapi ininya tidak berfungsi lagi,” ucap Bu Laila sambil memijat celana jeansku tepat di bagian yang menutupi penisku.
“Tidak berfungsi… maksudnya impoten Bu?”
“Betul. Ada jaringan syaraf menuju penisnya yang rusak dan takkan bisa diperbaiki lagi dengan cara apa pun. “
“Iya Bu… saya ikut prihatin mendengarnya. “
“Sudah lebih dari lima tahun aku seolah jadi linglung, tidak tau lagi apa yang harus kulakukan. Karena aku ini masih muda. Masih membutuhkan kepuasan birahi. Tapi suamiku sudah tidak mampu lagi melakukannya. Suamiku juga tau itu. Dia bahkan mengijinkanku untuk mencari lelaki lain untuk dijadikan kekasihku, tapi jangan sampai bercerai dengannya, karena dia sangat mencintaiku.
“Iya Bu. “
“Coba berhenti dulu di bahu jalan Wan. Sambil nyalakan lampu hazard. “
“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecepatan sedan atasanku. Lalu kuhentikan di bahu jalan sambil menyalakan lampu hazard.
“Kalau ngobrol sesuatu yang penting begini, jangan sambil nyetir di jalan tol. “
“Iya Bu. “
“Coba buka ritsleting celanamu Wan. Aku ingin melihat seperti apa punyamu. “
Tanpa ragu - ragu kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kusembulkan batang kemaluanku dari balik celana dalamku.
“Wooooowwww…! Ternyata punyamu sepanjang dan segede ini Wan?!” seru Bu Laila sambil menggenggam penisku yang masih lemas… dan mulai menegang setelah dipegang oleh bossku yang jelita itu…!
Aku diam saja. Membiarkan Bu Laila menggenggam penisku yang sudah mulai ngaceng ini.
“Supaya jangan seperti menjual kucing di dalam karung, sekarang peganglah punyaku, supaya kamu tau bahwa aku ingin punyamu dimainkan di dalam punyaku ini,” ucap Bu Laila sambil menarik roknya ke atas, sambil menarik tanganku ke balik celana dalamnya yang sudah dipelorotkan.
Tangan kiriku menyentuh kemaluan yang bersih dari jembut, yang hangat dan aaaaah… nafsuku spontan bergejolak…!
“Bu… ooooh… “hanya itu yang terlontar dari mulutku.
“Kamu mau punyamu dimasukkan dan dimainkan di dalam punyaku kan?”
“Sa… sangat mau Bu. “
“Ayolah… sekarang jalankan lagi mobilnya. Aku punya villa di Puncak. Nanti kita lakukan semuanya di villaku ya. “
“Siap Bu,” sahutku sambil mengeluarkan tangan kiriku dari balik celana dalam Bu Laila, “Tapi saya belum punya pengalaman. Jadi nanti tolong ajarin sama Ibu,” ucapku sesuai dengan skenarioku.
Bu Laila merapatkan pipinya lagi ke pipi kiriku. “Iya, nanti spermamu akan kutelan habis. Biar awet muda. Hmmm… kebayang… “
Kebetulan jalan tol saat itu agak lancar. Sehingga tak sampai dua jam aku sudah berhasil keluar dari pintu tol Jagorawi.
“Tapi ingat Wan… kamu harus merahasiakan apa pun yang terjadi di antara kita berdua nanti,” kata Bu Laila ketika mobilnya sudah mulai menginjak jalan menuju Puncak.
“Siap Bu. “
“Kalau sedang berduaan begini sih jangan pakai istilah siap - siap terus ah. Biar jangan kaku kedengarannya. “
“Iii… iya Bu. “
“Nanti kamu akan kuangkat menjadi asisten pribadiku. Dengan gaji dan fasilitas jauh lebih banyak kalau dibandingkan dengan jabatan sekarang. “
“Wah… terima kasih Bu. Baru mendengarnya aja saya sudah bahagia sekali. “
“Gajimu bahkan akan lebih tinggi daripada manager - manager. “
“Iya Bu… iyaaa… “
Tiba - tiba Bu Laila mengecup pipiku disusul dengan ucapan, “Sebenarnya sejak pertama kali melihatmu, aku langsung suka padamu. Tapi aku ingin tau dulu cara kerjamu seperti apa. Setahun aku mempertimbangkannya. Dan sekarang… aku ingin kamu menjadi milikmu… emwuaaaaah …” Bu Laila mengecup pipiku lagi.
“Iya Bu… “hanya itu yang terlontar dari mulutku, dalam perasaan yang bercampur aduk.
“Tapi aku ingin kamu benar - benar berprestasi di perusahaanku nanti. “
“Iya Bu… “
“Kalau perlu, kamu kuliah lagi sampai menggondol es - satu. “
“Itu cita - cita lama saya Bu. Tapi bagaimana mungkin saya kuliah sambil bekerja?”
“Setelah kamu kuangkat sebagai aspri, jam kerjamu bebas. Yang penting asal nongol aja di kantor tiap hari. Tugasmu bisa dikerjakan di kantor, bisa juga di rumah. Nanti deh tugasmu akan kujelaskan secara terperinci. Yang penting kamu punya tekad kuat untuk mengembangkan perusahaan. Lalu bekerjalah secara jujur dan ulet.
“Iya Bu. Terima kasih. “
“Kurangi kecepatannya Wan. Sebentar lagi harus belok ke kiri. “
“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecepatan mobil yang sedang kukemudikan ini.
“Nah sekarang belok ke kiri di depan itu,” kata Bu Laila sambil menunjuk ke mulut jalan yang agak kecil.
Sedan yang kukemudikan sudah memasuki jalan yang agak kecil, menuju villa Bu Laila yang letaknya agak tersembunyi, tapi dijaga oleh seorang lelaki berseragam security.
Villa Bu Laila itu kelihatan biasa - biasa saja kalau dilihat dari luar. Tapi setelah masuk ke dalamnya, wah, betapa megahnya villa bossku ini.
Namun aku tak sempat berlama - lama menyaksikan kemegahan villa itu, karena Bu Laila langsung menarik pergelangan tanganku. Lalu merengkuh leherku ke dalam pelukannya, disusul dengan ciumannya yang bertubi - tubi, yang akhirnya kusambut dengan lumatan bergairah sambil mendekap pinggangnya.
Ciuman sambil berdiri berhadapan ini jelas menaikkan tensi birahiku. Karena aku masih berdarah muda.
Dan tampaknya Bu Laila pun menikmatinya. Ia menanggalkan melepaskan behanya dari balik kemeja tangan panjangnya, lalu duduk di sofa dalam keadaan kemeja yang sudah terbuka kancingnya, sehingga sepasang toketnya tampak jelas di mataku.
“Buka juga dong pakaianmu,” kata Bu Laila ketika aku masih berdiri canggung di depan sofa yang diduduki oleh bossku itu.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Sambil melepaskan segala yang melekat ditubuhku, kecuali celana dalam yang kubiarkan tetap berada di tempatnya. Lalu aku menghampiri Bu Laila dan duduk di sampingnya.
“Coba kamu tebak berapa usiaku sekarang?” tanyanya.
Aku tahu bahwa wanita paling senang kalau dianggap lebih muda dari usia sebenarnya. Karena itu aku menjawab, “Masih di bawah duapuluhlima tahun, Bu. “
“Memangnya aku kelihatan semuda itu? Usiaku sudah tigapuluhdua tahun Wan. “
“Masa sih Bu? Kelihatannya seperti belum duapuluhlima. “
Sepasang mata Bu Laila menatapku dengan senum manis di bibirnya, sambil menyangga sepasang payudaranya yang masih tampak kencang dan… hmmm… ingin aku menjamahnya, tapi belum berani.
“Kalau melihat toketku ini memang gak kalah sama cewek duapuluhlima tahunan. Karena aku belum pernah melahirkan,” ucapnya sambil menyodorkan sepasang toketnya ke depanku, “Mau pegang? Peganglah… jangan canggung dan takut - takut gitu. Mulai sekarang kita kan saling memiliki. Kamu menjadi punyaku dan aku menjadi punyamu…
Tentu saja aku senang sekali diminta untuk menjamah toket bossku yang berukuran medium tapi tampak masih kencang. Bahkan dengan penuh semangat kuciumi pentil toket kirinya sambil memegang toket kanannya dan meremasnya perlahan - lahan.
Pada saat yang sama Bu Laila pun menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Lalu memegang batang kemaluanku yang sudah mulai tegang ini.
Lalu aku lupa segalanya. Tahu - tahu Bu Laila sudah telanjang bulat, sementara celana dalamku pun sudah dilepaskan oleh bossku yang cantik dan bertubuh sangat mulus ini.
Dan seperti tidak kuat lagi menahan kepenasaranannya pada penisku, Bu Laila langsung membenamkan wajahnya diantara sepasang pahaku, lalu mengulum penisku yang sudah tegang ini, sementara tanganku ditariknya agar memainkan kemaluannya. Tentu saja aku dengan senang hati melakukan keinginannya. Bahwa ketika ia sedang mengulum dan menyeloimoti penisku, tanganku pun mulai merambah kemaluannya.
Namun karena Bu Laila itu bossku, aku menunggu instruksinya dulu. Biarlah dia menyelomoti penisku sambil mengurut - urutnya dengan begitu binalnya. Meski aku harus menahan - nahan nafasku karena permainan oralnya memang enak sekali.
Cukup lama Bu Laila menyelomoti sambil mengurut - urut penisku, sampai akhirnya dia mengajakku pindah ke atas bed bertilamkan kain seprai putih bersih itu.
Aku menurut saja. Mengikuti langkah Bu Laila menuju bednya. Di situlah ia menelentang sambil mengusap - usap permukaan kemaluannya yang licin, tiada jembutnya sehelai pun.
Aku pun merangkak ke antara sepasang paha putih mulus yang sudah mengangkang itu.
“Mau jilatin vginaku?” tanyanya.
“Iya Bu. “
“Kamu sering nonton bokep kali ya?”
“Nonton bokep sih sering. Tapi menyentuh kemaluan wanita baru sekali ini Bu, “dustaku untuk kesekian kalinya terlontar dari mulutku.
Namun sepertinya Bu Laila tidak memperhatikan hal kecil itu. Ketika aku mulai menjilati bagian pink yang ternganga itu, dia mengelus - elus rambutku sambil berkata, “Jilatinlah sepuasmu. “
Lalu aku mulai menjilati vgina Bu Laila dengan lahapnya.
Bu Laila pun menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku. BVahkan pada suatu saat jarinya menyentuh kelentitnya sambil berkata, “Ini itilnya… jilatin juga Wan. “
Aku memang sedang pura - pura bodoh. Maka setelah mendengar instruksi, barulah kujilati kelentit Bu Laila dengan lahap sekali. Bahkan terkadang kusertai dengan isapan - isapan, sehingga Bu Laila terkejang - kejang dibuatnya.
Bahkan pada sjuatu saat terdengar suara Bu Laila agak serak, “Sudah Wan… masukkan aja pnismu. Aku udah pengen ngerasain enaknya dientot sama pnis sepanjang dan segede itu. “
Aku pun menjauhkan mulutku dari kemaluan Bu Laila. Lalu merayap ke atas perutnya sambil memegang penisku yang sudah ngaceng berat ini.
Bu Laila pun memegangi leher penisku sambil mencolek - colekkan moncongnya ke mulut vaginanya. Mungkin ia sedang mengarahkan agar arahnya ngepas.
Sampai akhirnya ia berkata, “Ayo… doronglah… “
Lalu kudorong penisku dengan sekuat tenaga. Blessssss… batang kemaluanku membenam separohnya ke dalam liang vgina Bu Laila. Disambut dengan rengkuhan Bu Laila di leherku, sehingga dadaku terhempas ke atas sepasang toket yhang masih terfasa kencang itu.
“Kamju nyangka bakal bisa beginian denganku?” tanyanya setengah berbisik.
“Bermimpi pun tidak kalau Ibu yang begini cantik dan mulusnya bakal bisa dibeginiin Bu. Mungkin malaikat sengaja mengirim Ibu sebagai bidadari saya di kemudian hari. “
Bu Laila mencium sepasang pipiku sambil berbisik, “Aku juga gak nyangka bakal mendapatkan dewa asmara bernama Wawan Darmawan ini… hmmm… aku memang sudah lama jatuh hati padamu… ayo entotin, jangan direndem terus… nanti keburu jadi ager. Hihihihiii… “
Sesuai dengan instruksi Bu Boss, aku mulai mengayun penisku di dalam liang vgina Bu Laila. Dan wanita 32 tahunan itu menanggapinya dengan bermacam - macam cara. terkadang kedua kakinya melingkari pinggangku, terkada mengangkang lebar, terkadang kedua kakiinya berada di atas sepasang bahuku, sehingga aku harus mengentotnya sambil menahan kedua tubuhku yang terangkat.
Namun yang jelas aku merasakan sesuatu yang berbeda pada waktu menyetubuhi Bu Laila ini. Bahwa menyetubuhi wanita cantik dan tajir melilit ini membuatku sangat bergairah. Membuatku terlupa segalanya. Aku pun berusaha memuasinya, agar dia sangat terkesan olehku.
Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Laila, diam - diam kucari di mana lekuk yang sangat sensitif di tubuhnya. Ternyata daun telinganya sensitif sekali. Ketika aku menjilatrinya, terasa pelukannya jadi makin erat. Maka semakin lama juga kujilati telinganya, yang membuat Bu Laila semakin klepek - klepek dalam entotanku.
Namun ternyata bukan cuma daun telinganya yang sensitif itu. Lehernya pun sensitif sekali. Terutama di bagian bawah telinganya itu. Maka kujilati pula lehernya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil seperti yang sering kubaca dari sebuah media internasional tentang titik - titik peka di tubuh wanita.
“Waaaaan… duuuuuuuh Waaaan… kamu pandai sekali membuatku enak Waaaan… ooooooh Waaaan… pnismu luar biasa enaknya Waaaan… belum pernah aku merasakan pnis seenak ini Waaaan… “rintih Bu Laila sambil memejamkan matanya, sementara lehernya mulai basah oleh keringat bercampur dengan air liurku.
Aku pun ingin melengkapinya dengan meremas - remas toketnya secara lembut. Membuat pinggul Bu Laila mulai menghempas - hempas ke kasur, sementara tangannya meremas - remas rambutku. Terkadang dia menjambak rambutku, bukan sekadar meremasnya. Namun aku bahkan semakin bergairah untuk menggencarkan entotanku.
Entah kenapa, aku ingin sekali jadi lelaki yang sangat memuaskan di hati wanita yang 11 tahun lebih tua dariku itu. Maka bukan hanya leher dan telinga Bu Laila yang kujadikan sasaran jilatanku. Ketika tangan wanita muda itu sedang meremas - remas rambutku, ketiaknya terbuka. Dan dengan sigap kujilati juga ketiak Bu Laila yang tercium harum parfum mahal itu.
Bu Laila pun menggelepar sambil melontarkan suara, “Hihihiiiii… geli Wan… tapi… ooooohh… geli - geli enak Waaan… iyaaaaaa… jilatin terus ketiakku Waaan… ooooh… aaaaaa… aku mau lepas Waaaan… entot terus Waaaan… entooot teruuuusssss… entoooootttthhhhh…”
Suaranya terputus sampai di situ. Tubuhnya pun mengejang tegang… tegang sekali. Sementara mulutnya ternganga dan matanya terpejam erat - erat. Nafasnya tertahan beberapa detik… lalu terdengar desahan, “Aaaaaaaaahhhhh… nikmat sekali Waaaaan…”
Aku pun menghentikan entotanku, karena ingin menghayati indahnya detik - detik orgasmenya wanita yang sedang kusetubuhi ini.
Memang benar kata para lelaki yang sudah berpengalaman, bahwa aura kecantikan seorang wanita akan terbit setelah mencapai orgasmenya. Bu Laila pun jadi tampak seperti bersinar… kecantikannya jadi semakin cemerlang… sehingga aku tak bisa menahan diri lagi. Kucium bibir sensual dan hangatnya, lalu berkata setengah berbisik, “Bu Laila semakin cantik di mata saya.
Bu Boss membuka kelopak matanya. Bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis. Manis sekali. Lalu ia berkata perlahan, “Terima kasih Wan. Aku merasakan getaran baru di dalam batinku sekarang. Getaran cintaku padamu, Sayang…”
Kubiarkan Bu Laila mengelus rambutku dengan lembut.
Lalu aku mengecup sepasang pipinya yang kemerahan, disusul dengan bisikan, “Saya pun merasakan hal yang sama Bu…”
Bu Laila mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangan hangatnya. Lalu mencium bibirku, yang kjusambut dengan lumatan, dibalas lagi dengan lumatannya. Bahkan ketika lidahku dijulurkan sedikit, ia menyedot lidahku dan menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Aku pun melakukan hal yang sama. Ketika lidahnya terjulur, kusedot ke dalam mulutku.
Dalam keadaan seperti itulah aku mulai menggerakkan penisku kembali, bermaju mundur kembali di dalam liang kewanitaan Bu Laila. Awalnya ayunan penisku perlahan - lahan dulu. Makin lama makin kupercepat, sampai pada kecepatan normal.
Bu Laila pun tampak bergairah kembali, untuk meladeni entotanku yang mulai gencar lagi ini. Ia mulai menggeol - geolkan pantatnya, memutar - mutar… meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Dengan sendirinya liang vgina Bu Laila terasa membesot - besot batang kemaluanku, yang membuat nafasku mendengus - dengus kembali.
Tapi Bu Laila justru tampak senang menjilati keringat yang membasahi leherku ini. Tanpa mempedulikan lagi statusnya sebagai bossku dan aku sebagai anak buahnya. Hal ini membuatku yakin bahwa Bu Laila sudah benar - benar mencintaiku. Dan kalau harus bicara sejujurnya, aku pun mulai mencintainya.
Kata para tokoh terkenal, hubungan seks yang dilakukan berdasarkan cinta, akan jauh lebih nikmat rasanya.
Itu kuakui sekarang, ketika aku sedang mengayun penisku di dalam liang kemaluan Bu Laila ini. Sekujur tubuhku laksana dialiri arus dari ujung kaki sampai ke ubun - ubunku. Arus birahi yang indah tiada tara.
Lalu bagaimana dengan perasaanku terhadap Ibu? Itu lain jalannya. Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi Ibu. Karena beliau yang mengandungku selama sekian bulan, beliau pula yang melahirkanku ke dunia ini. Dan yang pasti, kalau tidak ada Ibu takkan ada aku sampai kapan pun. Itulah bedanya perasaan sayangku kepada Ibu dan perasaan cintaku kepada Bu Laila ini.
Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Bu Laila padaku saat penisku mulai gencar mengentot liang vginanya yang agak becek karena habis orgasme ini. Namun yang jelas rintihan demi rintihan berlontaran terus dari mulutnya.
“Waaaaan… aaaaaah Waaaaan… ini luar biasa enaknya Waaaan… entot terus Waaaan… iyaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaaa… entot teruuuussss… entoooootttttt… entoooooootttt… gila… pnismu luar biasa enaknya Waaaaan… aku benar - benar merasa telah menjadi milikmu Waaaan…
Rintihan itu baru berhenti kalau aku sudah menyumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan hangatku. Dan Bu Laila semakin bergairah untuk menyambutnya dengan lumatan yang begitu hangatnya.
Bahkan pada suatu saat, ia berkata terengah, “Waaaan… aku mau lepas lagi… ayo entot terus yang kencang Waaan… usahakan agar kita lepasin bareng - bareng… biar nikmaaaat…”
Sebenarnya aku masih bisa mengulur detik - detik klimaks (ejakulasi). Tapi aku berusaha untuk mengikuti keinginan Bu Laila. Karena itu aku konsen ke arah kenikmatan yang sedang kurasakan, sehingga akhirnya aku bisa menancapkan batang kemaluanku tepat pada saat Bu Laila sedang terkejang - kejang di puncak orgasmenya.
Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram dan saling lumat. Sementara penisku seolah tengah dililit oleh seekor ular kecil, oleh dinding liang vgina Bu Laila yang bergerak seperti spiral… disusul dengan kedutan - kedutan kencangnya… dibalas oleh kejutan - kejutan penisku yang tengan memuntahkan lendir kenikmatanku…
“Ooooh… aku lupa… harusnya spermamu dilepaskan di dalam mulutku Wan… karena aku ingin menelan sperma bujangmu sampai habis… “keluh Bu Laila sambil menepuk - nepuk pantatku yang sedang dicengkramnya.
“Maaf… Ibu gak ngingetin tadi…” sahutku sambil menciumi pipi Bu Laila yang sudah basah oleh keringat.
“Gak apa - apa deh. Kita kan bakal dua hari dua malam berada di villa ini. Nanti kalau aku lupa lagi tolong ingetin ya Wan…”
“Iya Bu Laila Sayaaaang…”
“Emang beneran kamu sayang sama aku?” tanya Bu Laila sambil mengelus rambutku.
“Sangat… sangat sayang Bu.”
“Tapi kalau kita sudah punya anak nanti, aku juga harus manggil Ayah padamu Wan…”
“Sekarang juga dipanggil Ayah gak apa - apa.”
“Hihihi… ayah masih muda banget… harusnya sekarang sih aku manggil Dong aja padamu.”
“Kenapa harus manggil Dong?”
“Karena kamu jauh lebih muda dariku. Jadi kamu laksana brondong bagiku.”
“O.. Dong itu dari brondong?! Hehehehe… terserah Bu Laila aja deh.”
“Nggak. Aku akan manggil kamu Honey. Dan kamu harus manggil Cinta padaku ya. Jangan pakai ibu - ibuan lagi. Kamu pun jangan saya - sayaan lagi. Karena kitasejajar sekarang. Kamu sudah menjadi milikku dan aku pun sudah menjadi milikmu Honey.”
“Iya Cinta…” sahutku sambil menarik batang kemaluanku yang sudah lemas ini dari liang vgina Cinta alias Bu Laila. Terdengar bunyi unik waktu penisku dicabut dari liang vgina Cinta… plokkkh… membuat Bu Laila tersenyum dan berkata, “Kayak tutup botol gabus yang dicabut dari botolnya ya… hihihiiii…
Badan kita penuh keringat gini, mendingan mandi dulu yuk, “ajak wanita cantik yang sudah minta dipanggil Cinta itu.
Tapi aku menarik pergelangan tangannya. “Nanti saja. Setelah selesai main ronde kedua,” kataku sambil menunjuk ke arah batang kemaluanku yang sudah ngaceng lagi ini.
“Hihihiii… penismu sudah ngaceng lagi Honey?” cetusnya sambil memegang batang kemaluanku.
“Iya Amore…”
“Amore?” Bu Laila tercengang.
“Cinta di dalam bahasa Italia kan Amore.”
“Oooohhh… iya… kekasihku kan amore mio…”
“Iya… amore della mia vita…” sahutku sambil merengkuh leher Bu Delia ke dalam pelukanku.
“Anggap aja kita sedang berbulan madu ya. Kan pasangan yang sedang berbulan madu bisa tiga sampai empat kali bersetubuh. Bahkan ada yang sampai delapan kali bersetubuh di malam pertama mereka,” ucapnya disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Cinta ingin seperti itu?” tanyaku setelah ciumannya terlepas dari bibirku.
“Nggak usah seperti itu benar ah. Kita kan masih banyak waktgu untuk mengulanginya nanti. Bahkan setelah kita pulang pun bisa melakukannya di kantor atau di rumahku.”
“Di rumah? Nanti ketahuan sama suami Cinta kan gak enak.”
“Rumahku banyak Honey. Kita bisa melakukannya di salah satu rumahku nanti.”
Aku terhenyak. Putri tunggal owner perusahaan besar itu pasti punya rumah lebih dari satu.
Namun pikiran itu langsung hilang ketika Bu Laila sudah mendorong dadaku sampai celentang, lalu menangkap batang kemaluanku yang sudah ngaceng lagi ini. Dan memasukkan alat kejantananku ke dalam mulutnya.
Padahal penisku sudah ngaceng berat. Tapi Bu Laila mulai menyelomotinya sambil mengurut - urut bagian penisku yang tidak terkulum olehnya?
Namun hanya beberapa detik ia menyelomoti penisku yang lalu jadi berlepotan air liurnya. Lalu dengan sigap ia berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan kiri pinggulku. Ia memegang penisku yang lalu mengarahkan moncongnya ke arah mulut vaginanya.
Kemudian bokong indahnya itu diturunkan, sehingga penisku melesak masuk ke dalam liang tempiknya. Aaaah… rasanya indah sekali diperlakukan seperti ini oleh Bu Laila yang cantik itu. Terlebih setelah ia mengayun pinggulnya naik turun dan naik turun. Sehingga penisku keluar masuk di dalam liang kewanitaan Bu Laila yanbg membuatku terpejam - pejam saking nikmatnya ini.
Namun di tengah aksinya itu Bu Laila masih sempat berkata, “Kalau udah mau lepas kasihtau ya… aku ingin menelan spermamu…”
“Iya Cinta…” sahutku sambil terus - terusan memperhatikan kiemaluannya yang seolah menelan penisku lalu memuntahkannya lagi… menelannya lagi… memuntahkannya lagi…!
Pada suatu Saat Bu Laila bahkan menghempaskan dadanya ke atas dadaku sambil melenguh. Ternyata dia sudah orgasme. Dan meminta agar aku yang di atas lagi. Memang menurut orang - orang yang sudah berpengalaman, bersetubuh dalam posisi WOT itu membuat pihak wanita akan lebih cepat orgasme.
Maka kembalilah aku berftindak selaku “nakhoda” dalam persetubuhan ini. Setelah berhasil menggulingkan badan tanpa mencabut batang kemaluanku dari liang vginanya, aku berada di atas perut Bu Laila lagi.
Lalu kuayun penisku sambil mencium dan melumat bibir Bu Laila. Dan mulailah penisku bergerak seperti pompa manual. Maju mundur dan maju mundur terus, sementara Bu Laila mendekap pinggangku erat - erat. Dengan sepasang mata indahnya yang terkadang menatap langit - langit kamar villa, kadang - kadang terpejam erat - erat.
Desahan dan erangan erotisnya pun mulai berkumandang lagi di dalam kamar villa ini.
“Oooo… oooooh… dirimu sudah menjadi sosok yang lengkap bagiku Honey… ya ganteng ya masih sangat muda… memuaskan pula dalam hasrat birahiku Sayang… aku tak mau berjauhan lagi denganmu Honey… oooo… ooooohhhhhh… oooooohhhhh… oooo… ooooohhhhhh… oooooo… ooooohhhhh…
Sebenarnya aku masih bisa mengulur durasi entotanku. Tapi karena mendengar keinginan bossku yang cantik itu, aku pun memusatkan pikiranku pada nikmat dan nikmat terus… nikmatnya liang kewanitaan Bu Laila yang tengah kuentot habis - habisan ini.
Akibatnya… tak lama kemudian aku merasakan detik - detik krusialku datang. Detik - detik menjelang ejakulasi.
Maka dengan sigap kucabut batang kemaluanku dari liang vgina Bu Laila. Dan cepaty kuangsurkan penisku ke dekat mulut bossku yang jelita itu.
Bu Laila menangkap penisku dan langsung mengulumnya disertai dengan sedotan kuat… kuat sekali.
Pada saat itulah nafasku tertahan, karena penisku akan memuntahkan lendir kenikmatanku.
Lalu… croootttt… crooooooootttttt… crotttcroooootttt… crooooooottttttttt… croooottttt… crooootttt…!
Air maniku berlompatan di dalam mulut Bu Laila. Dan wanita cantik itu menelannya tanpa ragu… glllleeeeekkkkk…!
Tak disisakan setetes pun…!
Aku terharu diperlakukan sejauh ini oleh Bu Laila.
Tapi aku tak mau mengekspose terlalu jauh mengenai beliau. Karena takut salah kata dan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.
Yang jelas, setelah mandi bareng, kami mengenakan pakaian lengkap lagi. Karena beliau mengajakku mencari makan di salah satu restoran yang paling terkenal di Puncak.
Di restoran itulah Bu Laila sempat bertanya padaku, “Kamu tentu punya kebutuhan yang mendesak yang mungkin tidak terjangkau oleh kemampuanmu. Apa yang paling mendesak sekarang ini?”
“Tidak mengucapkannya. Karena dana yang dibutuhkan besar sekali,” sahutku sambil menunduk.
“Sebutkan aja. Kalau masuk di akal, aku akan membantumu. Yang penting prestasimu di perusahaan harus ditingkatkan nanti,” kata Bu Laila sambil memegang tanganku.
“Aku ingin merenovasi rumah. Tidak muluk - muluk sih, hanya ingin agar dua kamar yang ada di rumahku dibuat kamar mandi masing - masing. Itu saja,” sahutku.
“Sekarang kamar mandinya di luar kamar tidur?”
“Iya, “aku mengangguk sambil menunduk.
“Kalau kukasih rumah baru yang tinggal huni aja gimana?”
“Bukannya mau menolak. Tapi rumahku itu peninggalan almarhum ayahku. Jadi aku akan berusaha mati - matian untuk tidak meninggalkan rumah itu.”
Bu Laila hanya mengangguk - angguk sambil tersenyum.
Setelah makan siang selesai, Bu Laila bertanya lagi, “Memangnya kamu gak mau punya mobil, supaya kamu lebih bergengsi di kantor nanti? Kan kamu sudah kuangkat sebagai aspri, Honey.”
Aku cuma menjawabnya dengan senyum datar di belakang setir mobil bossku yang cantik itu.
Tapi setelah berada di dalam villa kembali, Bu Laila menyerahkan tiga helai cek padaku sambil berkata, “Ini untuk membeli pakaianmu, supaya kamu kelihatan lebih ganteng nanti. Ini untuk merenovasi rumahmu. Dan ini untuk membeli kendaraan roda empat, agar kamu lebih disegani di kantor nanti Honey.”
Aku terbelalak setelah melihat nominal yang tertera di ketiga helai cek itu. Kalau dijumlahkan semua… woooow… besar sekali… bahkan mungkin terlalu besar bagiku…!
“Cinta… ini besar sekali jumlahnya. Apa Cinta tidak salah tulis?”
“Tentu saja tidak salah tulis. Sebelum berangkat dari rumahku pun cek itu sudah kutulis dan sudah kupertimbangkan sebelumnya. Karena kamu sangat berharga bagiku, jauh lebih berharga daripada nominal yang tertulis di ketiga helai cek itu.”
Dengan tangan gemetaran kubolak - balik ketiga helai cek itu. Dan tganpa terasa, air mataku pun merembes dari kelopak mataku dan mengalir ke pipiku.
“Lho kok malah menangis?” tegur Bu Laila sambiul menyeka air mata yang mengalir ke pipiku.
“Aku terharu Cinta. Dirimu seolah bidadari yang diturunkan dari langit, hanya untuk membahagiakan hatiku. Terima kasih Cinta. Hadiah ini adalah kado yang terindah buat harfi ulang tahunku yang jatuh pada hari ini.”
“Ohya?! Jadi kamu pas duapuluhsatu tahun pada hari ini?” Bu Laila memelukku sambilmerapatkan pipinya ke pipiku.
“Iya Cinta. Silakan aja lihat di biodataku kalau sudah di kantor nanti.”
Begitulah. Ketika hari mulai malam, kami makan malam di restoran yang berbeda. Karena Bu Laila ingin makan chinese food yang halal, katanya. Kebetulan restoran yang diinginkannya ada, meski agak jauh untuk mencapainya.
Sepulangnya dari restoran itu, aku menyetubuhinya lagi untguk ketiga kalinya.
Tapi keesokan harinya kami habiskan waktu untuk jalan - jalan di kebun teh yang tak jauh dari villa itu.
Hari itu pun kami tidak melakukan hubungan sex. Keesokan harinya lagi, hari Senin, aku mengantarkan Bu Laila ke Jakarta. Untuk mengurus bisnisnya.
Dan kami pulang dari Jakarta ketika hari mulai sore. Langsung menuju kotaku.
“Cek itu bertanggal besok semua. Jadi besok gak usah masuk kerja dulu. Cairkan saja cek - cek itu dulu. Mau diambil cash atau mau ditmasukkan ke buku tabunganmu?” tanya Bu Laila ketika sedannya sudah meninggalkan daerah Puncak.
“Supaya aman, mungkin akan kumasukkan ke rekening tabunganku aja,” sahutku.
“Itu lebih baik,” kata Bu Laila.
Dan sedan mewah yang kukemudikan meluncur terus di jalan aspal. Dengan keceriaan menyelimuti batinku…
Aku pulang dengan batin penuh semangat. Karena aku telah memetik kemenangan pertama dalam perjuanganku untuk membahagiakan Ibu.
Seperti biasa, ketika aku pulang di hari yang sudah malam begini, aku selalu membuka pintu depan dengan kunci cadangan yang selalu kusimpan di dalam dompetku. Lalu aku masuk ke dalam rumah dan langsung menuju pintu kamar ibuku. Tapi malam itu pintu kamar Ibu dikunci. Mungkin karena aku tidak ada, sengaja ia mengunci kamarnya supaya aman.
Tapi apa yang kulihat? Ibu sedang celentang dengan daster yang disingkapkan sampai perutnya. Sementara tangannya tampak sedang bermasturbasi…!
Ah… Ibu… Ibu…! Baru ditinggal dua malam saja sudah tak kuasa menahan nafsu, lalu bermasturbasi lagi seperti tempo hari sebelum aku menyetubuhinya.
Tapi aku tersenyum sendiri, karena teringat benda yang berada di kantong oleh - olehku ini. Bahwa salah satu oleh - olehku buat ibu adalah sebuah dildo…!
Ya, aku sengaja membelikan dildo buat Ibu. Karena aku sudah membayangkan bakal sibuk dalam mengemban tugas sebagai aspri Bu Laila kelak. Terlebih lagi kalau aku ditugaskan untuk melanjutkan kuliahku sampai S1 kelak. Dan juga aku harus menggauli Bu Laila secara rutin seperti yang diharapkan oleh bossku yang cantik dan murah hati itu.
Bukan cuma itu. Aku pun membeli parfum mahal yang biasa dipakai oleh Bu Laila, supaya kalau parfum Bu Laila “terbawa pulang” olehku, Ibu takkan merasa aneh lagi kelak.
Seperti malam itu juga. Pasti pakaianku beraroma harum parfumnya Bu Laila. Dengan adanya parfum yang sama dengan parfum Bu Laila, ibuku takkan menanyakan harum parfum siapa nanti.
Lalu kuketuk pintu kamar Ibu.
Terdengar suara Ibu dari dalam kamarnya, “Siapa??”
“Wawan Bu!” sahutku.
“Owh… tunggu sebentar… !”
Tak lama kemudian pintu dibuka oleh Ibu, yang kelihatan seperti salah tingkah. Mungkin karena merasa sedang melakukan “kesalahan” pada waktu pintu kamarnya masih terkunci tadi.
Aku pun langsung memeluk ibuku dan menciumi bibirnya berkali - kali. Sampai terdengar pertanyaannya, “Kamu kok harum sekali. Pakai minyak wangi siapa sih?”
Spontan akumenyahut, “Ini aku beliin parfum impor buat Ibu. Tadi dicobain dulu di jalan.”
“Owh.. mana parfumnya?” tanya Ibu sambil meraba - raba tanganku.
Kukeluarkan botol parfum itu dari kantong plastik, sekalian kukeluarkan juga dildo yang akan kuhadiahkan kepada Ibu itu.
“Ini parfumnya dan ini juga buat Ibu.”
“Yang ini apaan?” tanyanya sambil menunjuk ke kotak dildo yang belum dibukanya.
“Ayo sini deh,” kataku sambil menuntun Ibu agar duduk di atas bednya. Lalu kukeluarkan dildo itu dari kotaknya.
“Nih… pegang deh sama Ibu… apaan coba?” kataku sambil menyerahkan dildo itu ke tangan ibuku.
Ibu meraba - raba dildo itu seperti sedang menyelidik benda apa yang sedang dipegangnya itu. “Iiih… kok kayak pnis Wan?!”
“Iya… kalau mau dimasukin ke dalam vgina Ibu, harus dikasih lotion dulu, supaya licin dan tidak ada kumannya. Sebentar pinjam dulu,” kataku.
Ibu menyerahkan dildo itu padaku. Kemudian kulumuri dildo itu dengan lotion yang kubeli toko penjualnya.
Ibu menurut saja ketika kuminta celentang sambil menyingkapkan dasternya.
Lalu kucolokkan dildo itu ke dalam liang vgina Ibu. “Aaaaaaaah… dimasukkan ke vgina ibu Wan?”
“Iya Bu. Sekarang nyalakan vibratornya,” sahutku sambil memijat on untuk vibratornya. Drrrr… dildo itu bergetar. Dan Ibu malah vginaik tertahan, “Waaaaan… ooooohhhh… kok rasanya seperti dibor gini Waaaan…?!”
“Tapi enak kan Bu?! Tahan gelinya ya… vibrator ini justru akan membuat Ibu keenakan…” sahutku sambil menggerak - gerakkan dildo yang sedang bergetar itu, dengan gerakan penis sedang mengentot. Maju mundur di dalam liang vgina Ibu.
“Adududuuuuuh… Waaaan… memang enak… tapi… adududuuuuuh… bergetar - getar gini… oooo… ooo… ooooh… Waaaan… Wawaaaan… memang enak Waaan… enak sekali… Waaaaan… aaaa… aaaaaaaah… tapi… ooooooh… ibu jadi cepat lepas Waaaaaan…”
Ibu mengejang tegang, lalu terkulai lunglai.
“Malah bagus kan? Biar cepat selesai., Hihihihi…”
Tiba - tiba terdengar bunyi pintu diketuk berkali - kali.
“Haaa?! Siapa itu?” gumamku sambil meninggalkan Ibu dan bergegas menuju pintu depan.
Setelah pintu kubuka, aku terkejut karena yang mengetuk pintu itu ternyata dua orang polisi…!