Diary Rahasia Rina 4 - 5



Dua jam kemudian kami sudah tiba di puncak bukit yang dituju. Puncak bukit yang sangat indah pemandangan di sekitarnya.


“Wooow… pemandangannya indah sekali Boy. Apakah pemilik bukit ini takkan menegur karena kita masuk ke sini tanpa izin?” tanyaku sambil melingkarkan lengan kananku di pinggang Boyke.


“Bukit ini kan punya Papie,” sahut Boyke.


“Ohya?! Mmm… kita mau ngapain aja di sini takkan ada yang berani negor dong,” ucapku sambil mempererat lingakaran lengan kananku di pinggang Boyke, karena udara di puncak bukit ini terasa dingin sekali.


“Emangnya Mamie mau ngapain?”


“Maen catur kan. “ Boyke terperanjat, “Mam! Kotak caturnya lupa! Gak dibawa !” serunya.


“Haaa?! Tapi biarin deh. Kita duduk - duduk atau rebahan aja di sini sampai siang…” kataku sambil mengeluarkan selimut tebal dari ranselku. Lalu menggelarnya di atas rumput yang rata, tidak ada lekuk - lekuknya.


Boyke tampak girang, “Wow! Mamie bawa selimut tebal itu…?!” serunya sambil duduk menyelonjorkan kakinya di atas selimut yang sudah kuhamparkan di atas rumput.


Aku pun duduk merapat ke sisi kiri Boyke sambil berkata, “Kalau sudah berada di puncak bukit begini, hati mamie terasa damai sekali Boy.”


“Kok Mamie sama dengan aku seleranya ya?” Boy menatapku dengan sorot “jinak”. Tidak cuek lagi. Ini pun sudah membesarkan harapanku, agar dia bisa mengikuti apa yang Papie inginkan.


“Iya… hobby mamie mungkin banyak yang sama denganmu. Memelihara ikan di dalam aquarium juga mamie suka.”


“Ohya?! Ooooh Mamie… ternyata hobby Mamie sama dengan hobbyku. Aku sayang sama Mamie, “cetus Boyke diikuti dengan kecupan hangatnya di kedua belah pipiku.


Lalu entah kenapa… aku menanggapi kecupan - kecupan di pipiku dengan kecupan hangat di bibirnya… sambil melingkarkan lenganku di lehernya, lalu merebahkan diri, sehingga wajah Boyke berada di atas wajahku, dengan bibir yang masih melekat di bibirku. Bahkan entah disengaja entah tidak, perutnya menghimpit perutku, dadanya pun menghimpit sepasang toketku yang kebetulan sedang tidak mengenakan beha.


Aku pun berusaha untuk mengikuti “irama” yang Boy inginkan. Ketika bibirnya terasa lekat menyedot bibirku, aku pun mulai melumat bibirnya dengan penuh kehangatan.


Lalu… entah apa yang timbul di dalam benak Boy, ketika ia balas melumat bibirku, sementara tangannya menyelundup ke balik baju kaus biru peacock-ku. Lalu memegang payudara kananku dengan mata terpejam - pejam.


Kubiarkan semuanya itui sebentar. Lalu kukeluarkan tangan Boy dari balik baju kausku, sambil berkata dengan lembut, “Jangan lewat batas Sayaaang…!”


“Ooo… oooooh… Mamie… maafin aku Mam… barusan aku merasa seperti dengan mendiang ibuku. Maaaf… jangan marah ya Mam…” ucap Boy sambil menundukkan kepalanya.


Aku pun membelai rambutnya dengan lembut, “Memangnya bagaimana perasaanmu terhadap mamie sekarang?”


Boyke tidak menyahut. Cuma menundukkan kepala sambil membiarkan rambutnya kubelai terus dengan lembut.


“Ngomong aja terus terang. Mamie takkan marah, asalkan kamu jujur menjawabnya. Bagaimana perasaanmu terhadap mamie sekarang ini?” tanyaku sambil mengepit kedua belah pipinya dengan kedua telapak tanganku.


“Mungkin barusan ada setan lewat Mam. Tiba - tiba aja aku merasakan hal yang aneh ini. Aku… aku jadi punya perasaan ingin memiliki Mamie…” sahut Boy dengan sikap seperti merasa bersalah.


“Sebenarnya hal itu wajar Boy. Karena kamu sudah mulai dewasa. Yang gak wajar adalah… mamie ini kan punya Papie.”


“Iya Mam. Aku mohon Mamie memaafkanku…”


“Dengar Boy… kalau kamu mau mendaftarkan diri ke perguruan tinggi pilihanmu, mamie akan mengikuti apa pun yang kamu inginkan. Asalkan kamu bisa merahasiakannya.”


“Haaa?! “Boyke menatapku dengan sorot bersemangat, “Serius Mam?”


“Serius. Mamie akan menganggapmu sebagai anak tercinta sekaligus kekasih tercinta. Asalkan kamu melanjutkan pendidikan ke universitas dan fakultas pilihanmu sendiri.”


“Mau Mam… mau…! Besok juga aku akan mendaftar ke sebuah universitas swasta. Aku mau daftar ke fakultas ekonomi aja ya Mam.”


“Terserah. Yang penting kamu sudah siap belajar, siap mengikuti pendidikanmu dengan serius. Kalau sudah seperti itu, setiap Papie nggak ada, mamie akan kasih ini nih,” sahutku sambil menurunkan celana pendek biru tuaku yang pinggangnya elastis, sehingga kemaluanku terbuka di depan mata Boyke.


“Mamie… ooooh… Mamie… !” Boyke berlutut di depanku, dengan mata nyaris tak berkedip, memandang kemaluanku seperti kafilah dahaga menemukan oase di tengah gurun pasir…!


“Mamie takkan ngasih memek mamie sekarang. Mamie hanya akan ngasih kalau kamu sudah kuliah, dengan nilai bagus pula. Kalau IPKnya di bawah tiga, jangan harap bisa terus - terusan bisa menikmati memek mamie.”


Boy malah menekan - nekan bagian di bawah perutnyha sambil menyeringai.


“Kenapa?” tanyaku.


“Ini punyaku… jadi pegel dan sakit Mam… sakit sekali…” sahutnya.


“Coba buka celananya… sembulkan tititnya… biar mamie bantu supaya gak pegel lagi,” sahutku bernada perintah.


Aku pernah mendengar bahwa kalau cowok sedang sangat bernafsu, lalu nafsunya itu ditahan - tahan, maka penisnya akan pegal - pegal. Testisnya pun ikutan pegal dan sakit.


Dan Boyke menurut saja. Celana jeans sekaligus celana dalamnya dipelorotkan, maka tersembullah penisnya yang tampak ngaceng sekali itu. Penis yang… waaaw… penis Boyke itu ternyata lebih panjang dan lebih gede daripada penis papienya…!


Terus terang, aku horny juga melihat batang kemaluan segede dan sepanjang itu. Penis yang ngaceng dengan perfect pula. Hanya saja aku harus menahan diri, agar tujuan utamaku tercapai. Bahwa Boyke harus kuliah dulu, barulah aku akan memberikan kewanitaanku padanya. Itu pun kalau diijinkan oleh suamiku.


Dan kini penis ngaceng itu sudah berada di dalam genggamanku, setelah menyuruh Boy celentang di atas hamparan selimutku.


Kalau baswa lotion, mungkin aku bisa mengocok penis Boy sampai ejakulasi. Tapi karena aku tidak membawa lotion, maka sebagai gantinya kualirkan air liurku ke moncong ke leher dan ke badan penis Boy.


Kemudian kukocok - kocok penis panjang gede itu dengan telaten. Namun diam - diam aku menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana pendekku sendiri, lalu… ketika aku semakin gencar mengocok penis Boyke dengan tangan kananku, jemari tangan kiriku pun gencar mewngelus - elus kelentitku sendiri.


“Dududuuuuh Maaaam… dduududuuuuh Maaam… bo… boleh sambil megang toiket Mamie gak?” rengek Boy sambil menunjuk ke arah toketku yang tertutup oleh baju kaus biru peacock ini.


Aku pun membungkuk agar tangan Boy bisa mencapai toketku lewat bagian leher baju kaus elastisku. “Peganglah…” ucapku sambil menggencarkan kocokan di penis Boy dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku pun semakin gencar mengelus - elus kelentitku sendiri.


Lama kelamaan aku menganggap mulutku harus ikjut campur, agar penis Boy cepat ngecrot. Maka dengan binal kujilati moncong dan leher penis Boy, sementara tangan kananku tetap gencar mengocok badan penisnya.


Tangan Boy pun mulai giat meremas - remas toketku. Sehingga aku jadi merasa lengkap dengan “sesuatu” yang tengah kurasakan ini. Bahwa kelentitku sedang dielus - elus oleh jemariku sendiri, sementara toketku sedang diremas - remas oleh tangan Boy.


Akhirnya moncong penis Boy memuncratkan air mani berulang - ulang, sampai membuat wajahku berlepotan air mani anak tiriku.


Aku sendiri sudah berhasil mencapai orgasme beberapa detik sebelum penis Boy berejakulasi.


Kukeluarkan kertas tissue basah dari dalam ranselku, untuk menyeka wajahku yang berlepotan air mani Boy.


“Bagaimana? Masih pegel kontolnya?” tanyaku sambil mencolek colek ujung hidung Boy yang mancung seperti mancungnya cowok Arab.


“Nggak Mam. Langsung hilang setelah ngecrot barusan. Terima kasih ya Mam.”


“Iya. Tapi ingat… apa pun yang terjadi di antara kita berdua, harus dirahasiakan. Jangan ada seorang pun tau, termasuk saudara - saudaramu, apalagi Papie… jangan sampai tau ya.”


“Iya Mam. Percayalah, aku ini orang yang teguh janji. Takkan menjilat air ludahku sendiri.”


“Termasuk janjimu untuk mendaftarkan diri ke fakultas pilihanmu itu kan?”


“Iya Mam. Bukan sekadar daftar, tapi juga akan kuliah serajin mungkin, agar cepat jadi sarjana.”


“Bagus. Semua itu demi masa depanmu sendiri kan?”


“Iya Mam,” sahut Boy sambil memegang tanganku. Lalu meremasnya sambil melanjutkan, “Aku… aku sayang Mamie… sangat sayang sama Mamie.”


Sebagai jawaban kucium bibir Boy lalu berbisik di telinganya, “Perasaan mamie juga sayaaaaaaang sama kamu Boy. Makanya mulai saat ini kamu harus mengubah sikap dan perilakumu. Minimal kamu harus mau berkomunikasi sama mamie ya.”


“Iya Mam. Sejak Mama meninggal, aku tidak punya tempat untuk curhat lagi. Sedangkan Papie kan selalu sibuk mengurus bisnisnya di sana - sini. Tapi mulai saat ini, kalau ada sesuatu untuk dikemukakan, aku mau curhat sama Mamie aja ya.”


“Iya. Mamie siap mendengarkan curhatanmu. Kalau ada masalah mamie mau ikut mencari solusinya,” sahutku sambil mengelus - elus rambut Boy.


Keesokan harinya, Boy menepati janjinya. Ia pergi pagi - pagi sekali dan pulang di tengah hari, sambil memperlihatkan sehelai formulir yang harus diisinya. Formulir pendaftaran ke fakultas ekonomi di universitas swasta paling bergengsi di kotaku.


Formulir yang belum diisinya itu diperlihatkan padaku. Kubaca isi formjulir itu. Lalu berkata, “Mendaftar ke universitas itu tentu harus membayar uang sumbangan pembangunan kan.”


“Iya Mam.”


“Kalau ada kekurangan dananya, ngomong aja sama mamie. Nanti mamie bayarin.”


“Nggak Mam. Uang jajan pemberian Papie, masih banyak di rekening tabunganku. Kalau aku mau, beli mobil baru pun bisa.”


“Nah… itu kan lebih bagus. Naik motor itu besar resikonya Boy. Makanya mamie lebih senang kalau kamu pakai mobil. Jangan pakai motor terus. Sayangi badan dan nyawamu sendiri Boy.”


“Iya Mam. Nanti aku pikirkan lagi soal itu sih.”


“By the way, kamu gak punya cewek Boy?”


“Nggak, “Boy menggeleng, “aku sudah muak sama cewek - cewek yang mendekatiku, tapi tujuannya hanya ingin menguras dompetku doang. Soalnya mereka tau kalau aku ini anak orang kaya. Makanya sekarang sih aku mau fokus sama Mamie aja. Kalau aku ingin mencintai seseorang, aku akan mencintai Mamie aja seorang.


Sebagai jawaban, kurengkuh leher Boy ke dalam pelukanku, “Kalau kamu selalu menuruti saran mamie, sampai kapan pun mamie akan tetap menyangimu Boy…” ucapku yang disusul dengan ciuman hangat di bibir Boy.


Boy tampak sangat terhanyut oleh perlakuanku padanya. Lalu berkata perlahan, “Mam… entah kenapa… sekarang ini Mamie sudah ada di dalam hatiku. Ke mana pun aku pergi, bayang - bayang wajah Mamie selalu mengikutiku.”


“Memangnya apa kelebihan mamie sehingga kamu sampai segitunya memikirkan mamie?” tanyaku sambil mengajaknya duduk berdampingan di atas sofa kamarku.


“Mamie sangat cantik di mataku. Dan… Mamie sangat… sangat menggiurkan…”


“Kamu juga ganteng Boy. Nanti… kalau kamu sudah kuliah dan IPK-mu di atas tiga terus, kamu boleh tidur sama mamie pada saat Papie sedang gak ada.”


“Mmmm… sudah kebayang nyaman dan indahnya bobo sama Mamie… bisa melukin Mamie.. bisa melakukan apa pun bersma Mamie…! Aku akan membuktikan kepada Mamie dan Papie, bahwa aku ini bukan cowok bodoh. Lihat aja nanti ya Mam.”





Kemudian Boy mulai menjilati kemaluanku secara serampangan, pertanda dia memang sangat pemula. Belum pernah menyentuh kemaluan wanita seperti pengakuannya yang berkali - kali diiringi sumpah segala macam.


Maka kuberi petunjuk bagian mana saja yang harus dijilatinya.


Lalu kenapa aku seperti ngebet banget ingin agar vginaku dijilati oleh Boy? Masalahnya aku sudah tahu betapa gedenya batang kemaluan Boy itu. Lebih gede daripada penis papienya dan bahkan lebih gede daripada penis Ricky, mantan pacarku yang sudah kuputuskan itu.


Untungnya Boy cukup cerfdas. Dia cepat mengerti petunjukku. Maka mulailah ia menjilati mulut vginaku dengan lahapnya. Bahkan terkadang ia bergumam sendiri. “Hmmm… vgina Mamie harum sekali…”


Tentu saja harum. Karena sesaat sebelum dia turun dari motor gedenya, aku sudah menyemprot selangkanganku dengan parfum made in France. Sehingga harumnya tersiar sampai ke kemaluanku.


Tak cuma itu. Dia juga sudah mengerti yang mana bagian kecil mungil dan bernama kelentit alias itil itu. Bagian yang paling peka di atas mulut vaginaku itu. Dan ketika dengan lahapnya dia menjilati kelentitku, yang terkadang disedot - sedotnya… aku pun mulai merintih keenakan. “Iyaaaa… aaaaaaaah…


Setelah Boy menjilati kelentitku dengan lahapnya, terasa liang vginaku mulai basah. Makin lama makin basah. Sehingga akhirnya aku minta Boy menghentikan jilatannya. Lalu aku bangkit dari sofa dan mengajak Boy pindah ke bed, dengan nafsu birahi yang sudah memuncak.


Di atas bed aku yang sudah telanjang bulat ini menyuruh Boy telanjang juga.


Lalu aku cdelentang sambil merentangkan sepasang pahaku lebar - lebar. Sementara Boy merayap ke atas perutku sambil memegangi batang kemaluannya yang sudah ngaceng berat itu.


Karena takut salah sasaran, kupegangi leher penis Boy dan kuledtakkan pada tempat yang tepat. Kemudian aku berkata, “Ayo… doronglah…”


Boy menuruti perintahku. Ia mendorong penisnya kuat - kuat dan… blesssssssss… penis panjang gede itu pun membenam ke dalam liang kenikmatanku. Yang kusambut dengan pelukan di leher Boy, sambvil memberikan instruksi, “Ayo… entotin pnismu Boy… tapi jangan sampai lepas ya… nanti susah lagi masukinnya…


O, Boy yang ganteng dan cerdas…! Kini ia mulai mengayun penisnya, bermaju mundur di dalam liang vginaku. Awalnya pelan - pelan… kemudian ia mempercepat entotannya sesuai dengan instruksi dariku.


“Mamie… oooooo… oooooh Maaaam… vgina Mamie enak sekali Maaaaaam… impianku sudah menjadi kenyataan… impian untuk menyetubuhi Mamie seperti ini… dan aku jadi semakin mencintaimu Maaaam… “desis Boy pada waktu mulai lancar mengentotku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku.


“Iya Sayang… mamie juga makin sayang sama kamu Booooy… mungkin lebih sayang daripada seorang ibu kepada anak kandungnya… ayo ent terus vgina mamie Boooy… entooot teruisssss… entoooooootttt… Booooy… entooot terusssss… jangan mandeg - mandeg Boooy… entooooottttttttt…


rintihku berlontaran begitu saja dari mulutku, tanpa dapat kukendalikan lagi. karena sesungguhnyalah gesekan demi gesekan penis Boy yang panjang gede itu menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa. Nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata - kata belaka.


Saking enaknya, entotan Boy menimbulkan nikmat yang seolah mengalir dari ujung kaki sampai ke ubun - ubunku. Terkadang membuatku merinding. Merinding dalam syur, bukan merinding karena takut.


Semua nikmat yang kurasakan ini, akan membuatku semakin menyayangi Boy. Mungkin lebih dari sayangnya seorang ibu kepada anak kandungnya. Karena Boy seolah telah melengkapi kebahagiaanku setelah menjadi Nyonya Mathias ini.


Nikmat ini pun membuatku lupa daratan. Lupa sdegalanya. Sehingga rintihan - rintihan di luar kesadaranku berlontaran terus dari mulutku, seolah tak bisa dikendalikan lagi.


“Iya Booooy… entot terussss Boooy… entoooot teruuuussssssss… entooootttt… entooooottttttt… entoooootttt… pnismu enak sekali Boooooy… !”


Sementara Boy pun tampak seperti tenggelam dalam arus birahinya sendiri. Arus yang membuatnya berdengus - dengus terus, laksana dengus kerbau yang tengah disembelih…!


Boy pun mengikuti petunjukku. Bahwa ketika ia sedang gencar mengentotku, mulutnya terkadang nyungsep di pentil toketku yang masih kencang ini. Tanpa ragu lagi ia mengemut pentil toketku, membuatku semakin merinding - rinding dalam nikmat yang tiada bandingannya.


Keringat Boy pun mulai berjatuhan di atas dadaku, wajahku dan leherku. Bercampur aduk dengan keringatku sendiri.


Cukup lama Boy menyetubuhiku. Sampai pada suatu saat ia seperti panik. Ia mengayun penisnya dengan tergesa - gesa sambil merintih - rintih, “Oooooh Maaaam… Maaaaaam… aaku… mau lepas Maaaam…”


Aku pun menanggapinya dengan menggoyangkan pinggulku sedemikian rupa, sehingga terasa kelentitku bergesekan dengan kepala penis Boy terus - menerus.


“Ayo letuskan di dalam vgina mamie Boy… lepasin semuanyaaaa… mamie juga mau lepasssss… ayooooo lepasiiiiin semuanyaaaaa…”


Sesaat kemudian, aku sudah tiba di puncak nikmatku yang membuat batinkju serasa melesat ke langit tinggi… langit ketujuh, seperti yang sering dibilang oleh orang - orang tua dahulu. Inilah orgasmeku yang paling nikmat di antara orgasme - orgasme yang pernah kualami.


Boy pun berkelojotan sambil menancapkan penisnya di dalam liang sanggamaku.


Crooootttt… crettttt… crooooootttt… crettt… croooooottttttt… cret… croooooottttt…!


Wow… terasa banyak sekali air mani yang dimuntahkan oleh moncong zakar anak tiriku ini. Membuat liang vginaku seperti dilanda banjir lendir… namun sangat mengesankan bagiku.


Boy terkulai lemas di atas perutku. Dan aku merasa berterimakasih padanya, karena sudah diberikan kesempatan menikmati kejantanannya yang sangat memuaskan batinku ini.


Maka kucium bibir Boy, disusul dengan bisikan di dekat tewlinganya, “vgina mamie enak nggak Sayang?”


“Ughhh… luar biasa enaknya… terima kasih Mam… semua ini akan membuat semangat belajarku semakin kuat. Mamie memang luar biasa baiknya padaku. Sungguh aku tak menyangka kalau hari ini bisa merasakan nikmatnya menyhetubuhi Mamie… sebagai pengalaman pertamaku merasakan menyetubuhi wanita. Sangat mengesankan Mamie…

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)